"Kau sudah pulang kak," tanya Thomas yang kebetulan berpasangan dengan Bram saat berada di tangga.
"Ada apa dengan wajahmu? apa kau baik-baik saja?"Begitulah Bram, di balik wajah datar dan sikap pendiamnya, sebenarnya pria itu memiliki kepedulian tinggi pada orang-orang terdekatnya."Apa kamu sudah melihat berita hari ini?" Thomas justru balik tertanya."Tidak, aku belum sempat membuka berita apapun hari ini.""Ck, memang begitu, kalau sudah berurusan dengan ranjang, tidak ada hal lain lagi yang ingin dilakukan," sindir Thomas.Tidak ingin menanggapi sindiran Thomas, Bram langsung merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dan dalam hitungan menit, pria itu-pun langsung membuka berita trending hari itu."Cih, sudah aku katakan, dia bukan wanita yang pantas bersanding denganmu, dan sekarang. Dia sendiri yang membuktikan siapa dia sebenarnya," cibir Bram.Pria itu seringai,Tangan mungil Nana terus menggenggam erat jari telunjuk Bram. Keduanya berjalan beriringan saat memasuki pusat perbelanjaan. Ternyata, Bram memutuskan mengajak Nana ke tempat itu, daripada ke taman bermain seperti yang ia ucapkan sore tadi. Setelah makan malam, Bram langsung mengajar Nana keluar, agar gadis itu tidak lagi murung mengingat ibunya."Wah .. tempat ini besar sekali, paman. Apa kita nanti akan naik kesana?" tanya Nana seraya menunjuk eskalator."Iya, kita kesana sekarang."Mengenakan pakaian santai lengkap dengan kacamata hitam, Bram berjalan penuh percaya diri. Seolah, genggaman erat Nana di jarinya tidak membuat pria tiga puluh satu tahun itu risih sedikitpun. Bahkan, tatapan kagum para kaum hawa yang menyebutnya 'hot daddy' tidak Bram pedulikan. Pria itu tetap acuh, saat sesekali membenahi poni Nana yang menghalangi matanya.Sungguh, pemandangan manis layaknya seorang ayah dan anak perempuan pada umumnya. Walaupun sebenarnya, mamang itu-lah ikatan yang terjadi diantara
Begitu mobil berhenti, Bram keluar lebih dulu, lalu kembali membuka pintu depan, samping kemudi untuk menggendong Nana yang tertidur. Terlalu semangat bermain, bocah itu sampai kelelahan, dan akhirnya tertidur ketika mobil Bram baru beberapa meter meninggalkan pusat perbelanjaan.Bram, tampak begitu hati-hati saat mengeluarkan Nana dari dalam mobilnya. Seolah khawatir, bocah itu akan terbentur pintu ataupun yang lain."Biar saya saja, tuan," ucap Sari yang sigap mendekat begitu mendengar mobil Bram kembali."Tidak usah, biar aku saja," jawab Bram tanpa suara."Buka saja bagasi, ada beberapa mainannya di sana," jelas Bram yang kini bersuara pelan."Baik tuan."Tanpa menoleh kebelakang lagi, Bram langsung bergegas memasuki rumah melewati pintu penghubung yang terdapat di garansi."Ya ampun, aku lupa bertanya, bagaimana buka bagasinya," gumam Sari kebingungan.Gadis itu sibuk
"Iya," jawab Bram singkat."Sebegitunya kau menyukai anak tirimu itu, kak?" Bram acuh melihat Thomas menahan senyum, sebelum akhirnya ia menjawab, "Kau tahu jawabannya, kenapa masih bertanya""Iya, dan aku hanya ingin memberimu saran, lebih baik kau siapkan kamar sendiri untuk Nana. Agar, saat kamu memasuki kamarnya tidak ada wanita lain," cetus Thomas.Itulah alasannya, kenapa Bram membawa Nana ke kamarnya, karena di paviliun Nana masih tidur bersama Sari. Sementara Bram, setelah apa yang ia lakukan dengan Tiara dan juga Mawar dulu. Membuatnya merasa tidak nyaman berada di kamar wanita dewasa, meskipun hal itu mustahil terjadi, tapi Bram tetap tidak bisa melakukannya."Akan aku pikirkan nanti," jawab Bram, "Pergilah, aku juga ingin istirahat sekarang," sambungnya."Baiklah, selamat malam," ucap Thomas yang langsung berbalik badan dan melenggang pergi.Melihat Thomas sudah berlalu, Bram menutup pintu dengan pelan, khawatir akan mengusik tidur Nana. Setelah berada di kamarnya, Bram mem
Akhirnya, Bram mengakui kekalahannya, ia tidak bisa lagi melawan, pengaruh alkohol telah berhasil melemahkan sebagian besar fungsi saraf dalam tubuhnya. Bahkan, Bram nyaris kehilangan kesadaran. Namun, ia masih coba tahan dengan sedikit tenaga yang tersisa.Sebenarnya, Bram bukan seorang peminum handal, ia juga jarang mengunjungi klub malam jika bukan karena mendapat undangan dari rekan bisnis, maupun sahabatnya yang sedang mengadakan pesta. Sama halnya malam itu. Bram sengaja membawa Tiara, karena memang atas permintaan pemilik acara untuk membawa pasangan masing-masing. Dan, karena terlalu bersemangat bisa berkumpul, tanpa sadar Bram dan yang lain telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol tinggi. Bahkan Ziyan, sampai di papah beberapa pria saat keluar dari klub, begitu juga yang lain. Hanya Bram yang terlihat benar-benar sadar, mengingat ada Tiara bersamanya. Tapi ternyata, semua itu hanya tampilan luar, karena kenyataannya kini, pria itu ti
"Dia sudah menghianatiku dengan menikahi sahabatmu sendiri," lirih Bram."Maka dari itu, jika kamu tidak bisa mempercayai dia lagi, apa salahnya kamu cari tau sendiri. Kamu memiliki banyak orang kepercayaan yang bisa kamu andalkan, aku rasa hanya untuk mencari tahu kebenaran itu, bukan hal sulit. Dengar Bram, mempertahankan ego tidak akan memperbaiki keadaan, tapi justru sebaliknya."Bram bergeming, bahkan pria itu menatap Daniel tak berkedip sekalipun. Membuat Daniel merasa gemas. Pasalnya, Bram memang sulit menerima saran orang lain, pria itu terlalu teguh dengan keyakinannya sendiri. Dan, sikapnya itu semakin menjadi, ketika Bram merasa dikhianati serta di permainan oleh anak-anak Wisnu.'Aku hanya berharap, kamu tidak akan menyesal dengan sikapmu ini di kemudian hari Bram. Semoga dia benar-benar anakmu,' batin Daniel."Jika kamu ingin melakukan tes DNA, aku membutuhkan sampel darahmu dan juga bocah itu, tapi jika kamu tidak tega melakukannya, cukup bawa rambut atau potongan kukuny
Bram menatap pasangan yang tengah sibuk di dapurnya, dari meja makan. Terlihat seorang wanita dengan cekatan menggerakan spatula. Sementara, si pria yang tak lain suami wanita itu, juga tak kalah gesit, membantu apapun bahan yang istrinya butuhkan.Walaupun tadi sempat dibuat kesal, karena orang suruhannya itu tidak langsung menjawab. Namun ternyata, tidak lama pasangan itu datang juga, dan kini tengah mengerjakan perintah Bram membuatkan makanan untuk Tiara."Apa masih lama," tanya si pria pada istrinya, saat menyadari Bram sudah mulai jenuh menunggu."Tidak pak, sebentar lagi," jawab istrinya.Benar saja, tidak lama dari itu, si wanita mengambil mangkuk, dan mengisinya dengan bubur yang sudah matang. Tidak lupa dialasi nampan, lalu disajikan kehadapan Bram"Silahkan di coba dulu, tuan. Apakah rasanya sudah sesuai keinginan anda," ucap wanita itu.Tanpa menjawab Bram langsung melakukannya, mengambil
"Astaga! mobil itu lagi," gumam Sari sedikit terkejut.Gadis itu sampai menghentikan langkahnya, begitu melihat mobil berkaca gelap yang beberapa waktu lalu tidak lagi ia jumpai, kini kembali terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah Nana.'Siapa sebenarnya pemilik mobil itu, apa dia tidak bisa membaca, kalau di situ dilarang parkir,' gerutu Sari dalam hati.Terlalu serius memperhatikan mobil di depannya, tanpa sadar, Sari sampai meremas tangan mungil Nana. Hingga membuat bocah itu mengaduh kesakitan."Aduh! mbak Sari, tangan Nana sakit."Spontan, Sari-pun langsung melepas tangannya, lalu menundukkan pandangan."Maaf sayang, mbak Sari gak sengaja, beneran," ucapnya penuh sesal, seraya mengusap lembut tangan Nana yang tadi ia remas. "Apa masih sakit?""Sekarang udah nggak, kan, udah mbak lepas," jawab Nana.Melihat gadis kecil itu bisa kembali tersenyum manis, Sari ikut ter
"Istirahatlah, kita bicarakan lagi ini nanti," terang Bram yang langsung berdiri.Sadar dengan keadaan Tiara yang tidak baik-baik saja, Bram memilih menahan diri dengan menghindar sementara waktu. Pria itu-pun memilih pergi, meninggalkan Tiara yang sedang menyandarkan lemah kepalanya di sandaran ranjang."Aku harus bagaimana, tuhan. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku takut, Bram akan berbuat sesuatu pada putrinya sendiri," ucap Tiara setelah yakin Bram sudah pergi meninggalkan kamar.Namun ternyata, pria itu masih berdiri di ambang pintu, dan mendengar cukup jelas kalimat yang baru saja Tiara ucapkan.'Jadi ini alasannya, kamu tidak mau jujur padaku. Picik sekali penilaianmu, Tiara!' batin Bram menggeram kesal.Dengan kedua tangan terkepal erat, Bram memejamkan mata sesaat. Mencoba meredam amarah yang sebenarnya ingin sekali ia ledakan."Ternyata hukuman ini tidak berarti apapun untukmu, yang ada kamu semakin menguji kesabaranku. Sekarang, jangan salahkan aku, jika aku benar-ben