Pamela menyusuri bibir pantai. Di antara sisa ombak yang menyentuh kakinya dan semilir angin yang membelai raganya. Sesekali ia menoleh dengan kecemasan yang sangat besar.Matanya mencari-cari kedatangan Ace yang menghubunginya di tempat persembunyiannya.Oh, Pamela bersyukur karenanya, karena dia sepenuhnya lupa dengan perintah Asih sebab isi kepalanya hanya di penuhi oleh Damian.Pamela bergeming, memilih menunggunya di dekat batu karang sambil mengamati pantulan cahaya matahari di permukaan laut dengan kapal pesiar kecil sebagai penghias luasnya samudra.“Damian ternyata gak ngelupain aku. Aneh! Harusnya dia pergi sejauh-jauhnya dari api, memangnya dia siap terbakar?” Pamela mengambil batu pantai dan melemparnya ke pantai. “Andai aku bisa menolak pertemuan-pertemuan sinting yang Papa dan mama lampir lakukan, aku pasti masih baik-baik saja sebagai jomblo sejati!” Pamela menggeram frustasi.Ia tidak mengerti jalan pikiran laki-laki. Ibarat batu yang tenggelam ke dasar laut yang memil
Sambil mencengkeram pundak Ace, Pamela turun dari ATV sesampainya mereka di belakang villa.Pamela menyunggingkan senyum. Rasanya senang bisa bersama pria yang tepat sekarang, pria patah hati yang membangun benteng pertahanan untuk menjalani monogami setelah kematian sang istri. Pamela menyayangkan keputusan Ace untuk tidak menikah lagi. Ace terlalu keren untuk hanya memiliki seorang anak dan duda seumur hidup. Ace masih pantas memiliki bayi-bayi lucu yang akan terlahir dari istri barunya. Tapi apapun alasan Ace tidak menikah lagi, Pamela senang. Ia bersyukur karena rasa aman yang tercipta karena reaksi patah hatinya.‘Aku bisa aman berada di rumahnya, aman dari kenakalan duda itu dan kesempatan bertemu Ace adalah anugerah!’Sambil tetap tersenyum, Pamela mengedipkan sebelah matanya.“Makasih, Pak. Hari ini pasti hanya permulaan, besok-besok jangan patah semangat nolongin aku.”Ace nyaris tersedak ludahnya sendiri melihat gadis itu bertingkah seperti kebanyakan wanita yang menemuinya.
“Aku harus membersihkan diri dulu, Pak. Sebentar!” Izin Pamela sewaktu Ace memintanya menemani Berlian ke kamar untuk mengurusi Karmen Fernandes seorang diri.Pamela beranjak dari kursi dengan air muka mengkerut. Lagi-lagi, tatapan Ace tertuju padanya. Tajam dan penuh isyarat hingga mengubah makan malam menjadi acara rapat dan ‘silent treatment’ yang menegangkan.Sepotong wagyu dan buncis berulangkali nyaris membuatnya tersedak karena terintimidasi matanya yang menggelisahkan. Harusnya...Pertarungan Berlian dan Karmen yang membangun prahara baru di villa itu tidak mengikutsertakannya. Harusnya! Pamela tidak tahu permasalahan mereka. Tidak ada yang menjelaskan, orang-orang di sana cenderung bungkam di setiap detik dan menit yang melaju dengan lamban di meja makan.‘Berlian vs Karmen. Oh sial... Haruskah aku menjadi wasit atau terdakwa?’Pamela mengangguk sebagai pamitan kepada tuan dan nona yang masih berdiam di ruang makan.“Biarkan aku ikut!” Ace berdiri, mengabaikan ekspresi jenaka
“Banyak pria yang galau setelah kepergian istri tercinta itu belalainya ikut galau, Bi. Aku pikir pak es juga begitu, letoyy... Taunya... Aku takut banget waktu dia kurung aku di kamarnya! Aku takut Berlian bakal punya adik.”Pamela menggeleng kuat-kuat setelah mengeluhkan kejadian yang menimpanya.Asih tergelak dengan apa yang diceritakan Pamela setelah menidurkan Berlian di kamarnya.Asih menyeka sudut matanya yang berair. Bukan, bukan karena dia tertawa sampai menangis, tapi dia ngantuk banget dan menangisi pemikiran polos Pamela. ‘Kalau ejakulasi dini mungkin iya, Mbak. Tapi kalau letoy aku tidak seyakin itu. Pak Ace masih berstamina kuat, gendong bibi saja pasti kuat. Tapi apa mungkin?’ Tawa Asih semakin menjadi-jadi, dan ia menarik Pamela menjauhi ranjang Berlian agar tidak mengganggu nona muda itu.“Terus-terus Pak Ace gimana tadi waktu Mbak Pamela suruh bukain resleting gaun? Dia mau melakukannya?” Air muka Asih tambah penasaran setelah Pamela tiba-tiba menyemburkan pernyata
Pamela sedang memandang keluar dari sebuah jendela yang berada di bagian loteng villa. Bukit-bukit yang mengelilingi nun jauh dari villa tampak memahkotai sinar matahari terbit di antara kabut yang masih menyelimuti pepohonan.Pamela menyandarkan kepalanya di kusen jendela. Sepi menemani kesendiriannya sewaktu ia memikirkan Ace yang berniat mengekangnya dengan hutang-hutang yang tidak ia harapkan dalam hidupnya.Total ada tiga puluh lima juta dari total biaya rumah sakit dan perintilannya serta uang tebusan barang pribadinya. Jika ia bisa membayar empat juta setiap bulan dari uang gajinya yang sebesar enam juta—lebih satu juta dari perjanjian sebelumnya—kurang dari satu tahun ia bisa melunasinya. “Satu tahun? Apa aku siap jadi pengasuh anak sepenuhnya?” Setelah sekian menit yang terbuang dalam lamunan panjang, Pamela menyunggingkan senyum lepas.“Hp bisa beli lagi, isi dompet dan paspor nggak penting-penting banget sekarang. Isi flashdisk biarin ajalah jadi simpanan pak es. Jadi... A
Pamela menjauh dari ruang kerja Ace. Sudut bibirnya terangkat melihat betapa gencar Ace berusaha menyingkirkan jejak-jejak sentuhannya. “Aku cuma sengaja. Tapi aslinya itu duda gampang tergoda. Gayanya aja cinta mati sama Bu Natasha.” Pamela ngedumel. “Padahal, Pak Ace hanya perlu tambahan endorfin biar bahagia!” Pamela melongok ke ruangan yang terletak di sebelah dapur kotor. Asih sedang mengeluarkan pakaian setengah kering dari dalam tabung mesin cuci.“Bibi nggak marah sama aku?” Pamela menghampirinya dengan perasaan khawatir karena mendepak Asih dari pengasuh kesayangan Berlian.Asih menggeleng, malah dia nyengir seakan-akan menunjukkan adanya kebahagiaan yang diterimanya atas sikap berani Pamela. “Aku nggak bisa cuti kalo Bapak nggak tahu isi hatiku, Mbak. Lumayan empat bulan di rumah. Kangen sama Bapak Ibuku terobati. Mereka sudah sepuh!” Asih tersenyum hangat. “Kemungkinan besok pagi aku pulang, Mbak. Bareng Pak Armando dan Mbak Karmen. Udah nggak sabar aku ketemu mereka. Na
“Pagi... Tante putri duyung... Aaa... calon mama...,” Berlian membalas sapaan Pamela seraya menghambur ke arahnya untuk menyambut Pamela yang belum selesai menuruni anak tangga.Senyum geli di wajah setengah pengar itu menerima ciuman selamat pagi dari Berlian.“Hai... Nona manis. Maaf... Tante baru bangun...” Pamela memelas sambil mengusap rambutnya yang sudah wangi. Penampilan Berlian juga sudah rapi jali. Bocah itu menggunakan stocking pink untuk melengkapi pakaian santainya yang serupa pakaian balerina. “Berlian tidak marah?” tanya Pamela “Gak masalah...” Berlian meringis lebar. “Hari ini kita mau ke bandara, Tante siap?”“Siap untuk?” Pamela menyipitkan mata. Ia kan tidak boleh keluar villa. Bahaya, nanti ada yang lihat, lalu terjadi hal tak terduga. Ia tidak mau itu terjadi. Lebih dari itu, ia agak curiga dengan gelagat Berlian yang menggandeng tangannya ke arah Ace. Pria berpakaian seperti warna putrinya. Perpaduan antara warna putih dan merah muda.‘Ada apa pemirsa? Apa aku
“Kelingking kita berjanji... Jari manis jadi saksi.Bahagia... hingga sang bumi enggan berputar lagi. Yeyy...”Pamela, Berlian, Asih dan Karmen bertepuk tangan ketika mereka berhasil mengakhiri karaoke bersama setibanya di lahan parkir bandara Ngurah Rai Bali. Ace menurunkan kedua tangannya yang spontan menutupi kedua telinganya saat Karmen Fernandes mengajak antek-anteknya bernyanyi sepanjang perjalanan menuju bandara. “Kalian bernyanyi seperti ceret bunyi. Berisik dan tidak enak di dengar!” maki Ace dengan nada sarkasme. Karmen menjentikkan jarinya di kuping Ace. “Kamu sudah lama tidak berkumpul dengan rekan-rekan gilamu rupanya!”“Hentikan!” Ace mendorong pintu mobil. Tatapannya beralih ke Pamela yang tidak merasa bersalah sedikitpun memakai gaun kesayangan Natasha. “Kamu tetap di mobil. Kami hanya sebentar!” Pamela memeluk Asih kemudian, “Pokoknya kami tunggu undangan pernikahan dari bibi. Aku dan Berlian pasti datang!” janjinya dengan sungguh-sungguh.Asih mengelus punggung P