"Nduk, bagaimana? Apakah sudah bisa menjawab lamaran Nak Bagas?" tanya Bu Rohman pelan, tangannya mengusap pelan punggung tangan Riris. Sedangkan Riris masih menunduk sejak Bagas menyampaikan lamarannya. Embun kini telah memenuhi kelopak mata Riris.Riris jadi nampak gugup ketika ibunya memintanya untuk memberikan jawaban. Wanita yang anggun dan bersahaja itu, kini merasa semua mata memandang ke arahnya. Rasa malu membuatnya tidak berani menegakkan kepalanya apalagi menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya.Riris masih terdiam, dan semua orang masih dengan sabar menunggu jawaban yang keluar dari bibir Riris yang tipis berbalut lipstik berwarna peach itu. Riris merasa waktu seakan berhenti sesaat, tidak ada suara apapun yang terdengar di ruangan itu, kecuali suara detak jantungnya yang semakin berdebar kencang. Riris merasa detak jantungnya di dengar oleh orang-orang yang ada di dekatnya saat ini. Padahal itu tidak mungkin terdengar kecuali orang itu menempelkan telinganya di dada
Mereka berjalan beriringan menuju pelaminan yang terbuat dari panggung yang tidak tinggi itu, hanya setinggi dua anak tangga saja. Panggung pelaminan yang dibalut dengan karpet berwarna merah, latarnya dihiasi oleh aneka macam bunga segar yang didominasi oleh bunga rose berwarna merah dan putih. Tidak ada kursi pengantin di sana. Karena pesta ini hanya pesta kecil yang tidak formal. Suasananya di buat sesantai mungkin. Keluarga dan para tamu bebas bergerak kemana saja, begitu pula dengan pengantinnya yang bebas ke mana saja untuk menyapa tamu-tamunya.Kursi-kursi tamu di susun melingkari meja-meja makan yang berbentuk bulat yang tertutup taplak putih yang menjuntai.Di sudut pendopo terdapat meja prasmanan berbentuk letter L. Sedangkan gubug-gubug kecil yang berisi menu hidangan pelengkap berjejer rapi di kedua sisi meja prasmanan. Para pelayan katering yang berseragam hitam putih nampak sibuk melayani para tamu dan membereskan piring dan gelas kotor yang bekas dipakai oleh para tam
Menjelang Maghrib, pesta kecil perayaan pernikahan Reza dan Nelly telah usai. Semua tamu undangan telah pulang ke rumah masing-masing. Keluarga besar Nelly yang didatangkan khusus dari Jakarta menginap di resort tempat dilangsungkannya pernikahan Nelly dan Reza.Reza memesan tiga pondok-atau biasa di sebut cottage- yang ada di resort yang bernuansa Bali itu. Dua pondok untuk mamanya Nelly dan keluarganya, sedangkan satu pondok khusus untuk pengantin baru. Pondok-pondok di sana tempatnya terpisah-pisah meski masih berada di area lokasi yang sama. Sehingga sang pengantin baru pun tetap memiliki privacy saat menginap di sana, menjalani malam pertama mereka tanpa ada gangguan dari siapapun.Dua pondok untuk keluarga Nelly letaknya di sekitar area kolam renang. Sedangkan pondok khusus untuk Reza dan Nelly posisinya agak menjorok ke laut, sehingga bisa langsung melihat pemandangan laut biru yang membentang luas ketika membuka jendela kamar pengantin ataupun berada di teras pondok.Reza meng
Hembusan angin pantai membelai lembut wajah Reza yang masih duduk santai di kursi malas di teras pondoknya. Secangkir kopi hitam tinggal tersisa ampasnya saja. Lelaki yang tengah berbahagia setelah mendapatkan istri pilihannya itu, nampak sibuk berselancar di internet mencari info lowongan pekerjaan.Seorang pelayan resort berjalan mendekat ke arah pondok Reza dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan minuman."Selamat pagi, Pak. Ini saya mengantarkan sarapan pagi," sapa pelayan wanita yang mengenakan setelan celana panjang hitam dan atasan bermotif batik itu."Pagi, oh terima kasih, ditaruh di meja sini aja, Mbak," jawab Reza sembari menunjuk meja yang ada di sampingnya.Mbak pelayan itu meletakkan dua piring nasi goreng spesial dengan telur ceplok di atasnya, kemudian satu piring yang berisi empat potong sandwich dan dua gelas lemon tea hangat."Kok dianter ke sini, Mbak, sarapannya? Biasanya kita yang datangin ke ruang makan resort untuk breakfast," tanya Reza penasaran.
Reza dan Nelly betul-betul menikmati manisnya bercinta dari pagi hingga menjelang siang. Mereka terus bergumul di dalam pondok. Dunia serasa hanya dihuni oleh mereka berdua, hingga melupakan bahwa di resort itu masih ada mamanya Nelly dan juga saudara-saudara lainnya. Beruntung mamanya Nelly dan yang lainnya paham akan hal itu dan tidak mengganggu aktifitas pengantin baru itu di dalam pondoknya. Siangnya, selepas Dhuhur, mamanya Nelly dan keluarga besarnya sudah bersiap untuk ke bandara. Mereka mengejar penerbangan sore untuk kembali pulang ke Jakarta.Nelly dan Reza hanya melepas mereka di gerbang resort. Mereka masih ingin menikmati bulan madu di resort itu. Reza dan Nelly sudah mengambil cuti nikah selama tiga hari dan mereka berniat akan menghabiskan cutinya di pantai itu."Reza, Nellly! mama tunggu kedatangan kalian di Jakarta tiga bulan lagi ya! Resepsi mewah kalian nanti akan mama persiapkan sebaik mungkin," ucap Bu Ira setelah memeluk dan mencium putrinya sesaat sebelum mema
(PoV Riris)Sepulang dari acara pesta pernikahan Mas Reza, mantan suami sehariku itu, hatiku malah berbunga-bunga. Aku sudah tidak perduli lagi dengan Mas Reza dan kehidupannya.Aku melihat dia bisa berbahagia mendapatkan istri pilihannya, istri impiannya itu saja aku sudah ikut merasa senang. Tidak ada luka dan air mata. Semoga saja mereka selalu berbahagia, dapat mengarungi rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.Apakah aku sudah bisa memaafkannya? Entahlah. Namun jika aku mengingat kepergian bapak, lelaki cinta pertamaku yang telah meninggalkanku sesaat setelah Mas Reza dan bundanya menengok bapak di rumah sakit, hatiku langsung terasa sesak. Aku masih terluka oleh kepergian bapak yang tak akan mungkin bisa kembali lagi ke dunia ini.Kepergian pahlawan hidupku yang selalu menyisakan rindu yang semakin dalam, rindu yang teramat panjang, sepanjang hayatku. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah, agar kelak bisa dipertemukan lagi dengan bapak di Syurga-Nya. Penantian yang teramat pa
Aku masih duduk di sisi kasur Mas Dimas. Sibuk mengompres dahinya dengan perasaan yang campur aduk. Jika saputanganku sudah kembali dingin, maka segera kuangkat dari dahinya, lalu kurendam lagi dalam air hangat. Setelah kuperas lagi sedikit, saputangan itu kembali aku tempelkan ke dahinya. Begitu seterusnya kulakukan berulang kali hingga Mas Dimas akhirnya nampak lebih baik. Sudah tidak meracau lagi. Dan dapat tidur dengan tenang.Setengah jam kemudian Mas Gilang datang kembali membawa obat penurun panas."Mas, saya mau pulang dulu ke kontrakan, mau buatkan bubur untuk Mas Dimas. Saya nitip tolong jagain Mas Dimas ya," pintaku kepada Mas Gilang."Iya, Ris. Biar aku tungguin masmu ini. Nanti jangan lupa bawain buburnya dua porsi ya, sekalian buat aku juga, hehehe," jawab Gilang sembari terkekeh."Oke, Mas Gilang," jawabku sambil menyunggingkan senyum.Bergegas aku meninggalkan kamar Mas Dimas menuju rumah kontrakan dengan langkah tergopoh-gopoh."Assalaamu'alaikum, Bu .... " Kubuka pin
Riris masih terhenyak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari ibunya Bagas. Dia bingung harus menjawab apa. Sedangkan Bu Bimo masih memandang lekat gadis itu seolah sedang menanti sesuatu yang amat diharapkannya.Momen seperti itu membuat gadis kelahiran Solo itu tersipu malu. Bu Bimo memegang punggung tangan Riris yang diletakkan di atas meja, di usap-usapnya pelan, masih terus menunggu jawaban dari Riris."Mmm, saya ... tidak berani menjawab pertanyaan Ibu, saya takut, Bu," jawab Riris dengan suara pelan."Loh, memangnya kenapa? Kok takut? Sama ibu jangan merasa takut dan sungkan ya, anggap ibu ini juga seperti ibumu sendiri," pinta Bu Bimo."Saya ... saya takut memiliki rasa itu sebelum adanya sebuah ikatan yang telah menghalalkannya, Bu. Saya tidak berani memaknai apa yang saya rasakan, Bu. Mohon maaf." jawab gadis berjilbab biru itu sembari menunduk, kedua pipinya merona karena malu.Bu Bimo tersenyum melihat jawaban dan ekspresi wajah Riris. Wanita paruh ba