Aku berlalu tanpa menanggapi ucapan dari Mas Arhab. Selain aku tidak bisa menjawab apa-apa, rasanya terlalu tiba-tiba dia datang lagi ke duniaku. Sesuatu yang tak bisa kupikir dengan benar untuk sekarang.Begitu sampai di ruang kerja aku sibuk membenahi draft latihan soal yang akan digunakan para mentor. Kurva-kurva juga angka-angka yang tiga tahun ini menjadi teman setia kuotak atik kembali. Ada rasa senang yang menjalar saat aku bisa mencoba mengerjakan ulang soal-soal itu."Draftnya udah jadi, Amira?" tanya Mas Haris yang mendekat ke meja kerjaku."Bentar lagi, Mas. Kalau sudah langsung saya prin.""Oke. Buat yg bahasa inggris gimana, Rin?" Mas Haris juga menanyakan pada Rini yang duduknya di seberang kami."Beres. Udah nitip Amira buat ngeprin.""Loh!" protesku. Aku bertugas khusus mata pelajaran matematika. Sesuai kesepakatan seperti itu kenapa jadi berubah?"Udah sih. Lagian dari awal kamu di sini kan tukang ngeprin. Toh soal khusus matik udah ditangani Arun.""Iya beres, Mbak.
"Why?" tanya Teo sedikit berbisik. Ia tidak melepaskan pelukanku malah merengkuh lebih erat."Kamu sibuk banget. Kamu gak sempat bales chat aku. Aku khawatir kamu kenapa-napa," ungkapku tanpa menyembunyikan apa pun. Aku butuh melepaskannya."Kangen?" Aku mengangguk-angguk di peluknya. Kini kutemukan nama yang tepat untuk perasaan aneh ini. Kangen, ya aku kangen, aku rindu. Terlebih dengan kehadiran seseorang di masa lalu. Aku semakin ingin bersama Teo.Teo mengurai pelukannya. Ia tatap mataku lekat. "Ada masalah?"Aku menggeleng. Belum siap rasanya menceritakan semuanya sekarang. "Aku cuma rindu."Teo terkekeh. Ia pun mengusap kepalaku. "Me too.""Bagaimana kabar Papa? Sudah membaikkah?""Masih koma. Dokter masih terus mengawasinya.""Mama Ajeng?""Masih sedih. Sebenarnya aku ingin meminta waktumu untuk menjenguk mereka. Tapi aku tahu kamu sedang sibuk dengan proyek di kantor."Teo menjelaskan sambil mengajakku masuk ke ruang tengah. Memintaku duduk di sofa. Merilekskan diri, begitu
Aku, Teo dan Akila adalah orang yang tengah berusaha membangun keluarga. Kami dengan latar belakang yang cukup berbeda mencoba menyeimbangkan diri agar satu harmoni. Aktivitas pagi kami pun kembali. Aku dengan persiapan kerja, Teo mengurus resto dan Akila bersiap untuk sekolah. Namun, pagi ini Teo menyempatkan diri untuk mengantarku dan Akila."Ingat, Nak. Tidak boleh ketemu sama orang lain. Yang bisa jemput kamu hanya Ibu dan Om Teo atau Om Arga," jelasku pada Akila. Aku tidak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Baik, Bu.""Ya sudah, salim dulu sama Om baru masuk."Akila beralih melihat Teo. "Selamat pagi, Om. Makasih sudah antar Akila."Teo pun tersenyum. Ia senanh menerima salam dari Akila. "Sama-sama Tuan Putri."Setelah mengantar Akila, Teo mengantarku menuju kantor untuk pertama kalinya. Meski sudah kularang, dia tetap memaksa."Kalau sibuk nanti biar aku sama Akila naik taxi online aja. Kamu gak perlu bolak balik ke sini," ucapku sebelum kami berpisah."Agendaku hari i
Aku dikejutkan dengan kehadiran Teo dan Akila yang tengah menunggu di depan kantor. Aku pikir Teo akan menjemputku dulu lalu bersama-sama menjemput Akila. Bukan sebaliknya."Lets Go!" ujar Teo setelah membuka pintu mobil untukku.Pada saat seperti ini aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia. Sungguh apa yang dia lakukan untukku sangat istimewa. Gumaman kecil kuberikan sebagai bentuk rasa terima kasih."Mampir resto dulu gimana?" tanya Teo saat mobilnya meninggalkan area kantor.Aku langsung menoleh ke belakang. "Gimana, Nak?" "Akila pengennya gak makan berat.""Camilan?" tanya Teo sambil melirik ke kaca dashboard tengah. Akila menggeleng. "Chocolate?" Akila mengangguk. "Oke. Om punya tempat terenak untuk aneka coklat."Mata Akila berbinar. Ia tampak senang keinginan kecilnya bisa diwujudkan. Teo nampak enteng saja melakukan hal itu.Gelato DishNama cafe yang kami kunjungi cukup unik. Sudah mencerminkan apa yang ditawarkan di sana. Kami melangkah masuk setelah sebelumnya melihat-li
"Aku ke kamar Akila dulu. Bilang kalau mau mandi.""Oke. Aku tunggu di bathub."Dan seringai nakal dari Teo benar-benar tak bisa lepas dari pikiranku. Bahkan aku sampai melupakan pertanyaan inti tentang Akuntan Borneo. "Wo! Dipanggil dari tadi nggak denger!" seru Rini yang rupanya memanggilku."Ya, Mbak?" "Lo prik banget, sih. Ngelamunin apa?"Aku segera meraup wajah. Bagaimana mungkin aktivitasku dan Teo masih terekam di sini. Padahal sudah melewati malam dan pagi. Benar-benar berlebihan."Lagi nggak fokus.""Itu si Arun butuh tanda tangan Pak Arhab.""Terus, Mbak?" tanyaku polos. Menghadapi orang seperti Rini memang harus extra hati-hati."Ya kamu yang mintakan. Tugasmu itu.""Kenapa aku?""Masa aku? Jamannya sama Bu Hana juga kamu kan yang bolak balik. Lupa?" Rini dengan gaya sengaknya menyentakku. Lagi dan lagi.Akhirnya aku mengambil berkas yang diberikan Rini padaku. Kubawa ke ruang pimpinan."Ya, masuk!" seru Mas Arhab dari dalam. Meski berusaha tak gugup, nyatanya tetap suli
Setelah pertemuan di cafe dengan Mama Ajeng, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan resah. Beberapa hal yang Mama Ajeng sampaikan malah membuatku tertekan."Teo Pewaris utama, Amira. Kita tidak boleh mengabaikanya. Kamu akan senang saat dia naik jabatan nanti."Aku tidak tahu hal-hal yang terjadi di keluarga orang kaya. Aku juga tak mengerti jika kelangsungan perusahaan sangat dipengaruhi dengan keturunan."Raline anak perempuan. Maka yang akan memegang kekuasaan tertinggi itu Baja. Mama gak mau, Amira. Mama gak ikhlas. Meski Teo bukan anak kandung kami, Teo jauh lebih layak."Aku menggeleng. Kata-kata Mama Ajeng lebih baik tidak kupikirkan. Terlebih saat aku sedang berada di kantor. Kuayunkan langkah dengan terburu-buru karena sudah melewati jam istirahat."Dari mana?" Suara seseorang mencegahku."Ya?""Jam makan siang sudah lewat. Kamu dari mana saja?""Saya ada urusan.""Pantas dicari-cari ndak ada.""Anda nyari saya?""Baca grup WA."Seketika aku mengecek ponsel. "Pantas kamu gak
Sayup sayup kudengar derap langkah seseorang menaiki lantai dua. Tawa kecil beserta obrolan juga tak ketinggalan. Segera kuperbaiki posisi duduk. Tak lupa menyisir rambut dengan jari tangan untuk merapikan."Semoga deal, ya, Bos. Nanti kita bisa luaskan cabang yang di Bali.""Semoga Bu Cantika. Jadi saya bisa segera pindah dai Jakarta.""Mari ….""Loh!""Selamat Sore …. Apa saya mengganggu waktunya?" tanyaku begitu mendapati mereka santai di lantai dua."Sepertinya saya harus pulang lebih awal, Bos. Ada nyonya besar di sini.""Sepertinya, Bu. Akhirnya hari yang saya nanti-nanti tiba.""Selamat bersenang-senang, Bos. Untuk berkas penandatanganan hari ini, saya kirimkan salinannya saja.""Baik, Bu Cantika. Terima kasih banyak sudah menemani saya hari ini.""Sudah menjadi tugas saya." Perempuan dengan pakaian casual tapi tetap elegan itu tersenyum. Lalu ia melihat ke arahku. "Salam kenal Bu Amira. Saya Cantika, manajer restoran." Bu Cantika mengulurkan tangan."Amira," jawabku seraya men
Setelah Ajiz datang, kami langsung bersiap menuju rumah sakit. Beberapa pesan terlebih dahulu kusampaikan pada Akila untuk mematuhi arahan Om dan Tantenya.“Nitip Akila, ya, San,” ujarku pada Santi—istri Ajiz.“Iya, Mbak. Aman sama kita.”“Kita cabut ya, Jiz,” imbuh Teo sambil menepuk lengan Ajiz.“Siap, Bro. Kasih kabar kalau ada apa-apa. Semoga Papa lo sehat segera.”“Thanks.”“Akila, ibu berangkat, ya,” ucapku sebelum meninggalkan Akila.“Iya, Ibu. Hati-hati,” kata Akila sambil mengajakku bersalaman.“Kami berangkat dulu,” pungkas Teo mengakhiri sesi pamitan.Di luar, Arga sudah menunggu dengan mobil kantor. Tadi sore kami memilih berkendara dengan sepeda motor, sehingga mobil Teo masih ada di cabang. Sedikit pun tak pernah terpikir akan ada kabar mendadak semacam ini.“Bisa ngebut nggak, Ga?” tanya Teo tampak khawatir. Dia sesekali menilik jam tangannya.“Saya usahakan, Bos.”“Ya, coba ya. Karena kami sudah ditunggu.”“Baik, Bos.”Setelahnya, Arga membawa mobil kantor dengan kecep