"Masih punya muka kamu, hah?!" seru Pak Aditama begitu Teo melewatinya."Malam, Om. Maaf saya da----""Ayo, Amira!" tarikan Teo membuatku tak bisa melanjutkan kata-kata. Dia tak mau berkompromi sedikit pun untuk urusan ini."Kabur saja ke Belanda!" teriak Pak Aditama yang membuat kami semua tersentak."Sudah, Pa. Sudah. Malu sama anak cucu," ujar Tante Ajeng yang langsung mengusap lengan suaminya. "Kalian pergi saja tidak apa-apa," pintanya pada kami. Aku hanya mengangguk. Seraya berjalan menyusul Teo yang sudah lebih dulu menghentakkan kaki untuk pergi dari rumah ini. Sekilas aku melihat Raline yang menatap kami dengan sinis. Ya Tuhan semanis apa pun lamaran Teo untukku dan seindah apa pun persiapan pernikahan kami, realita yang ada seperti ini."Buruan!" pinta Teo tampak kesal."Iya, iya," jawabku sambil membawa Akila ke kursi penumpang. "Kalau ngantuk bobo aja, ya. Nggak usah dipikirkan ucapan-ucapan yang Akila dengar barusan." Akila menyunggingkan sedikit senyum. Meski nampak sy
"Nggak salah?" tanyanya keheranan. Kali ini Aku memilih tidak menunggu Teo menjemputku di kantor. Melainkan menyambanginya langsung di restoran."Kenapa? Nggak boleh?""Aneh.""Hemmm."Teo menggeleng kecil. Dia melanjutkan aktivitasnya sebentar untuk kemudian melepas approne yang dikenakan. Kadang aku bertanya-tanya mengapa Teo lebih memilih mendalami kegiatannya mengurus resti dibandingkan mengurus pabrik."Belum makan, kan?" tanyanya sambil meletakkan menu yang tadi ia masak sendiri."Bukan buat pelanggan?""Aku tau kamu bakal datang.""Punya indra keenam emangnya?" kelakarku. Nampak jelas dia sedang kalut. Dan aku memang harus menghiburnya. "Waoowww.""Enak?""Sangat!" Kuacungkan dua jempol tanganku sekaligus. Teo tersenyum. Dia nampak puas dengan hasil kerjanya."Akan kumasukan ke daftar menu," ujarnya seraya meninggalkanku.Menu? Menu baru di resto kah?Belum juga kuungkapkan tanya itu di sudah sibuk dengan ponselnya. Menelepon sana sini seperti kebiasaannya yang sudah-sudah. Ter
Ini memang bukan yang pertama bagiku. Mendengarkan seseorang mengucap janji setia yang disaksikan keluarga adalah yang kedua kalinya. Namun, perasaan haru, berdebar sekaligus kelegaan tetap mengiringi pernikahan ini. Senyum Teo yang begitu tulus, uluran tangannya yang hangat dan bisikan kata I Love You yang dia ulang berkali-kali membuatku tak bisa menafikkan kedalaman cinta kami. Ucapan selamat satu per satu datang mulai dari Ibu, Tante Ajeng maksudku Mama Ajeng, Martia, Ajiz, Arga dan rekan kerja yang menyempatkan hadir di ijab qabul. Semua ini tak pelak membuatku semakin bersyukur berada di titik ini. Ya, aku kembali menjadi seorang istri. "Alhamdulillah, Mir. Ibu senang melihat kamu," ucap Ibu seraya membantuku menuju kamar ganti."Makasih, Bu. Maafkan Amira masih terus merepotkan ibu bahkan di pernikahan kedua Amira.""Pernikahan terakhir. Bismillah langgeng sampe janah ya."Aku mengangguk. Rasanya tak bisa kusembunyikan titik air yang sejak tadi mengumpul di sudut mata. Ia han
Aku masih menyangsikan keputusan ibu yang tiba-tiba ingin pulang. Saat membujuknya dulu, ibu sepakat akan tinggal di Jakarta bersama kami. Tapi, setelah kepindahan kami ke rumah Teo, ibu justru pamit."Sudah lah, Mir. Kau turuti saja. Namanya juga orang tua. Mana ada yang mau merepotkan anaknya.""Sama sekali tidak merepotkan, Martia. Sudah tanggung jawabku mengurusnya.""Tapi ibumu merasa masih bisa mengurus dirinya sendiri. Beliau lebih senang menghabiskan masa tuanya di sana. Kamu pahami itu, lah.""Mar," desisku kesal. Mengapa Martia malah menyetujui pendapat ibu.Martia mendekat. Dia raih jemariku seraya menggenggam erat. "Kamu bisa nengokin kalau pas ada waktu. Mumpung aku juga masih di sini, ibu biar pulang sama aku nantinya. Kamu tetap berangkatlah honeymoon ke belanda atau mana. Akila biar kami yang jaga.""Cutiku juga cuma satu minggu, Mar. Tiga hari lagi kelar.""Ya sudah dimanfaatkan itu. Jangan sampai tidak." Aku menggeleng. Mana bisa aku dan Teo bersenang-senang sementa
“Kamu tidak akan menemui papamu?” Ragu-ragu kulontarkan pertanyaan itu. Takut juga jika Teo tersinggung karenanya. “Maksudku, Pak Aditama. Setidaknya untuk meluruskan semua kesalahpahaman.”Teo menggeleng. Dia konsisten dengan sikap bencinya pada Aditama. “Aku nggak ma.”“Teo ...”“Maaf, Amira aku nggak bisa. Maaf pernikahan keduamu hampir seperti pernikahan pertama. Bedanya ayah mertuamu yang tak mau menerima kita. Aku sungguh menyesal atas itu.”Aku membuang muka. Sedikit banyak peristiwa hari ini memang mengorek luka lama. Takdirku menjadi menantu yang tak diinginkan terulang lagi. Namun, aku tak mau ambil pusing. Aku hanya perlu mengabaikan semua perasaan itu.“Nggak papa,” ucapku datar. Dari awal perkenalan Pak Aditama juga sudah tak menyukaiku ditambah saat beliau tahu aku ibu dari menantunya sekarang.Kalian semua gila! Kalian mempermainkanku?Kilat kemarahan terlihat jelas di wajah beliau saat kami meminta restu. Lebih tepatnya karena bujukan Tante Ajeng yang ingin bertemu dan
Aku berlari menghampiri Teo yang keluar begitu saja. Aku harus menemukannya segera."Bang, liat Bos Teo?" tanyaku pada bagian kasir. "Tidak, Bu. Bos tidak mampir.""Serius, Bang?""Serius, Bu. Coba ibu tanya satpam saja."Aku pun mengangguk seraya pergi meninggalkan area resto. "Makasih, Bang."Sesampainya di depan aku langsung bertanya pada pak satpam dengan pertanyaan yang sama. Dan beliau menjawab Bos Teo keluar mengendarai mobil. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi nomornya namun tidak aktif."Duh, kemana sih?" gerutuku sambil terus memerhatikan ponsel.Hingga akhirnya aku memikirkan satu tempat yang sangat mungkin akan dikunjungi oleh Bos Teo. "Bu, Amira pergi dulu," ucapku begitu kembali ke rumah untuk mengambil dompet."Kemana, Mir?""Urusan sebentar. Nitip Akila, Bu.""Ya.""Mar! Aku nitip Akila!" seruku saat melihat Martia turun dari lantai dua."Oke, Mir. Kejar terus cintamu!" kelakarnya.Aku tersenyum kecil. Seisi rumah ini pasti paham atas apa yang kualami. Maka mereka
“Kita mau kemana?” tanyaku setelah sadar mobil Teo sudah meninggalkan wilayah Jakarta.“Puncak.”Seketika mataku membelalak. “Puncak?”Teo mengangguk kecil seraya menoleh ke arahku sebentar. “Betul.”“Aku gak bawa ganti? Kita balik jam berapa dari sana?” tanyaku panik mengingat tidak mempersiapkan apa-apa.“Tinggal ngikut aja gak usah banyak protes.”“Tapi .....”“Ssstttttt ... please ilangin sikap ngeyelnya,” tegas Teo seraya mengembalikan fokusnya untuk mengemudi.Aku pun kembali melihat ke arah lain. Berusaha meyakinkan diri kalau memang ini jalan menuju puncak. Mengabaikan beberapa pertanyaan juga kegelisahan yang sejak semalam bersarang. Mengapa aku? Mengapa kembali terulang kisah yang nyaris sama? Namun, buru-buru kutepis itu semua. Tak baik berprasangka buruk pada sang penentu takdir.“Pegangan,” ujar Teo yang rupanya sudah bisa memprediksi seperti apa kepadatan area puncak. Banyak mobil berusaha melewati tanjakan yang juga berkelok itu. Tak ayal menyebabkan para pengemudi haru
Aku menggeliat saat mendengar dering ponsel yang cukup kencang. Entah berapa lama aku terlelap setelah apa yang terjadi di antara kami. “Ponsel siapa?” gumamku seraya membuka mata. Badan terasa sakit semua. Sudah cukup lama tak melakukannya dan seperti mengulang saat awal dulu. Aku pun meringis. Kembali ponsel itu berdering, membuatku tak bisa mengabaikannya. “Angkat dulu,” ujarku sambil berusaha menyingkirkan lengan Teo yang mendekapku. “Hmmmm.” “Ponsel kamu bunyi terus. Cek dulu siapa tau penting,” ucapku berhasil melepaskan diri. Teo akhirnya mengikuti saranku. Dia mengambil ponsel yang terletak di meja sofa dengan malas. Sejenak Teo berhenti sambil menatap layar ponselnya. “Siapa?” tanyaku. Aku juga penasaran siapa yang menghubungi selarut ini. “Mama Ajeng.” “Mama?” Teo mengangguk. Dia mengambil napas sejenak lalu mengembuskannya. Dia seperti mengumpulkan keberanian tersendi