Aku masih menyangsikan keputusan ibu yang tiba-tiba ingin pulang. Saat membujuknya dulu, ibu sepakat akan tinggal di Jakarta bersama kami. Tapi, setelah kepindahan kami ke rumah Teo, ibu justru pamit."Sudah lah, Mir. Kau turuti saja. Namanya juga orang tua. Mana ada yang mau merepotkan anaknya.""Sama sekali tidak merepotkan, Martia. Sudah tanggung jawabku mengurusnya.""Tapi ibumu merasa masih bisa mengurus dirinya sendiri. Beliau lebih senang menghabiskan masa tuanya di sana. Kamu pahami itu, lah.""Mar," desisku kesal. Mengapa Martia malah menyetujui pendapat ibu.Martia mendekat. Dia raih jemariku seraya menggenggam erat. "Kamu bisa nengokin kalau pas ada waktu. Mumpung aku juga masih di sini, ibu biar pulang sama aku nantinya. Kamu tetap berangkatlah honeymoon ke belanda atau mana. Akila biar kami yang jaga.""Cutiku juga cuma satu minggu, Mar. Tiga hari lagi kelar.""Ya sudah dimanfaatkan itu. Jangan sampai tidak." Aku menggeleng. Mana bisa aku dan Teo bersenang-senang sementa
“Kamu tidak akan menemui papamu?” Ragu-ragu kulontarkan pertanyaan itu. Takut juga jika Teo tersinggung karenanya. “Maksudku, Pak Aditama. Setidaknya untuk meluruskan semua kesalahpahaman.”Teo menggeleng. Dia konsisten dengan sikap bencinya pada Aditama. “Aku nggak ma.”“Teo ...”“Maaf, Amira aku nggak bisa. Maaf pernikahan keduamu hampir seperti pernikahan pertama. Bedanya ayah mertuamu yang tak mau menerima kita. Aku sungguh menyesal atas itu.”Aku membuang muka. Sedikit banyak peristiwa hari ini memang mengorek luka lama. Takdirku menjadi menantu yang tak diinginkan terulang lagi. Namun, aku tak mau ambil pusing. Aku hanya perlu mengabaikan semua perasaan itu.“Nggak papa,” ucapku datar. Dari awal perkenalan Pak Aditama juga sudah tak menyukaiku ditambah saat beliau tahu aku ibu dari menantunya sekarang.Kalian semua gila! Kalian mempermainkanku?Kilat kemarahan terlihat jelas di wajah beliau saat kami meminta restu. Lebih tepatnya karena bujukan Tante Ajeng yang ingin bertemu dan
Aku berlari menghampiri Teo yang keluar begitu saja. Aku harus menemukannya segera."Bang, liat Bos Teo?" tanyaku pada bagian kasir. "Tidak, Bu. Bos tidak mampir.""Serius, Bang?""Serius, Bu. Coba ibu tanya satpam saja."Aku pun mengangguk seraya pergi meninggalkan area resto. "Makasih, Bang."Sesampainya di depan aku langsung bertanya pada pak satpam dengan pertanyaan yang sama. Dan beliau menjawab Bos Teo keluar mengendarai mobil. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi nomornya namun tidak aktif."Duh, kemana sih?" gerutuku sambil terus memerhatikan ponsel.Hingga akhirnya aku memikirkan satu tempat yang sangat mungkin akan dikunjungi oleh Bos Teo. "Bu, Amira pergi dulu," ucapku begitu kembali ke rumah untuk mengambil dompet."Kemana, Mir?""Urusan sebentar. Nitip Akila, Bu.""Ya.""Mar! Aku nitip Akila!" seruku saat melihat Martia turun dari lantai dua."Oke, Mir. Kejar terus cintamu!" kelakarnya.Aku tersenyum kecil. Seisi rumah ini pasti paham atas apa yang kualami. Maka mereka
“Kita mau kemana?” tanyaku setelah sadar mobil Teo sudah meninggalkan wilayah Jakarta.“Puncak.”Seketika mataku membelalak. “Puncak?”Teo mengangguk kecil seraya menoleh ke arahku sebentar. “Betul.”“Aku gak bawa ganti? Kita balik jam berapa dari sana?” tanyaku panik mengingat tidak mempersiapkan apa-apa.“Tinggal ngikut aja gak usah banyak protes.”“Tapi .....”“Ssstttttt ... please ilangin sikap ngeyelnya,” tegas Teo seraya mengembalikan fokusnya untuk mengemudi.Aku pun kembali melihat ke arah lain. Berusaha meyakinkan diri kalau memang ini jalan menuju puncak. Mengabaikan beberapa pertanyaan juga kegelisahan yang sejak semalam bersarang. Mengapa aku? Mengapa kembali terulang kisah yang nyaris sama? Namun, buru-buru kutepis itu semua. Tak baik berprasangka buruk pada sang penentu takdir.“Pegangan,” ujar Teo yang rupanya sudah bisa memprediksi seperti apa kepadatan area puncak. Banyak mobil berusaha melewati tanjakan yang juga berkelok itu. Tak ayal menyebabkan para pengemudi haru
Aku menggeliat saat mendengar dering ponsel yang cukup kencang. Entah berapa lama aku terlelap setelah apa yang terjadi di antara kami. “Ponsel siapa?” gumamku seraya membuka mata. Badan terasa sakit semua. Sudah cukup lama tak melakukannya dan seperti mengulang saat awal dulu. Aku pun meringis. Kembali ponsel itu berdering, membuatku tak bisa mengabaikannya. “Angkat dulu,” ujarku sambil berusaha menyingkirkan lengan Teo yang mendekapku. “Hmmmm.” “Ponsel kamu bunyi terus. Cek dulu siapa tau penting,” ucapku berhasil melepaskan diri. Teo akhirnya mengikuti saranku. Dia mengambil ponsel yang terletak di meja sofa dengan malas. Sejenak Teo berhenti sambil menatap layar ponselnya. “Siapa?” tanyaku. Aku juga penasaran siapa yang menghubungi selarut ini. “Mama Ajeng.” “Mama?” Teo mengangguk. Dia mengambil napas sejenak lalu mengembuskannya. Dia seperti mengumpulkan keberanian tersendi
Monitor di depan raung operasi berubah menjadi Sedang Pemulihan. Pertanda bahwa operasi yang dilakukan Tim Dokter akan segera selesai. Aku masih bersama Mama Ajeng menemaninya dengan sesekali merapal doa sedangkan Teo masih belum kembali. “Maafkan papanya Teo ya, Amira. Maafkan Tante juga yang tidak bisa berbuat banyak untuk kalian.” Di sela tangisnya, Mama Ajeng kembali berbicra.“Tidak ada yang salah, Tante. Amira tidak perlu memaafkan siapa-siapa.”Mama Ajeng menggelang. “Itu salah kami. Kami yang memboikot acara kalian. Kami yang membuat semuanya berantakan.”Demi apa pun itu mendengar penuturan Mama Ajeng tentang malam resepsi pernikahan kami berdua tetaplah menyanyat hati. Bagaimana bisa semua dilakukan dengan begitu mudahnya? Namun, aku tidak harus menanggapi semua itu langsung di tempat ini di saat kondisi Pak Aditama sedang tidak baik-baik saja.“Tidak, Tante. Tante tidak perlu meminta maaf. Amira memahami kenapa Pak Aditama harus melakukannya. Jadi, Tante tidak perlu minta
Teo menepikan mobilnya. Ia berjalan keluar memutari mobil bagian depan kemudian berdiri di tepian jembatan fly over yang kami lewati. Wajahnya tampak gusar. Ia jelas gelisah perihal takdir yang baru saja terjadi di depan mata.Aku melangkah turun. Turut serta merasakan kekacauan yang terjadi meski yang sebenarnya ia rasakan apa aku tak tahu pasti. Kuusap pelan lengannya lagi. Kubiarkan ia menumpahkan semuanya di sini, tanpa menyela sama sekali.“Aku nggak sanggup kalau harus balik urus perusahaan,” ucap Teo setelah merasa jauh lebih tenang.Aku menoleh. Melihat lurus ke arah mata birunya yang kini justru menatap langit yang sama birunya. “Kenapa begitu?”“Pak Rama sudah bilang semua. Beberapa perusahaan penting milik Papa sengaja tidak diberikan aksesnya untuk Raline dan Baja.”Ah, mereka berdua. Lagi-lagi aku harus mendengar dua nama yang tak henti ada di kehidupanku. Sebuah fakta pilu yang tak bisa kubantah keabsahannya. “Lalu?”“Pak Rama bilang Papa menunjukku. Praktis aku harus ke
Suasana malam ini cukup berbeda. Di tengah ketidaknyamanan yang ada aku dan Teo menyempatkan diri untuk makan malam di rumah. Penat dan kantuk kami abaikan demi kebersamaan bersama orang-orang tersayang."Ibu yakin gak mau nambah hari?" tanya Teo di sela menghabiskan makanan di piringnya. Ia tahu bahwa membujuk ibu tidaklah mudah tapi ia tetap mencoba."Ndak, Teo. Ibu mau pulang sama Martia saja. Kalian tidak perlu repot-repot mengantar sampai desa.""Mana ada repot, Bu. Teo tiap hari nyantai kok. Cuma ibu ndak jadi nemenin Akila di sini dulu?" tanya Teo lagi. Ia menikmati obrolan ringan yang tercipta. Sambil berusaha meyakinkan ibu untuk menunda kepulangan."Ada kalian berdua, jadi ndak perlu lah ibu di sini. Ibu biar di kampung saja. Toh, Akila sekolah, kamu kerja, Amira juga sama. Sendirian nanti ibu," kelakar ibu. "Maksudnya biar lebih ramai, Bu.""Kalau mau nambah rame ibu doakan segera datang adiknya Akila. Usahanya dimaksimalkan," pungkas ibu dengan senyum yang dikulum. Tampak