Ruangan itu mendadak berubah menjadi panas. Kemarahan Safira dan tamparannya pada Kai membuat Danis ternganga tak percaya. Anak perempuan Januar itu ternyata sangat berani. Danis sampai tak bisa berkata-kata. Sementara Kai jelas merasa geram dengan apa yang dia terima dari Safira. Tamparan mendadak itu nyatanya meninggalkan rasa panas yang teramat di pipi Kai, dan mungkin saat ini sudah berbekas telapak tangan."Elu kenapa, sih, Fir? Dateng-dateng main nampar gue. Elu kesambet, iya? Sialan, lu!" Pipi yang terasa memanas itu, Kai usap-usap sambil memicing tajam ke Safira. Andai saja, yang memukulnya seorang laki-laki, Kai pasti sudah membalas sejak tadi. ck! "Kamu, ya! Bisa-bisanya punya pikiran licik kayak gitu?" Telunjuk Safira menuding ujung hidung Kai. Amarahnya belum memudar, bahkan semakin bertambah berkali-kali lipat ketika melihat Kai yang sama sekali tak merasa bersalah. "Kamu emang brengsek!" Tangan Safira sudah terangkat lagi. Melayan
Tadinya, setelah pekerjaannya di Bar selesai, Safira ingin langsung pulang ke rumahnya saja. Kembali ke rumah meski harus bertemu dengan Januar. Sampai detik ini kemarahan dan kekecewaannya pada sang ayah tak kunjung memudar. Entah bagaimana keadaan Januar saat ini, karena Safira tak pernah melihatnya datang lagi ke Bar. Mungkin ayahnya itu masih bersenang-senang dengan sisa uang dari Kai, dan mencari tempat judi lain. Ck! Mengingat nama Kai, perut Safira tetiba merasa mual."Kalo gak inget masih ada barang-barangku, sebenernya aku males ke sini. Ck!" Safira menatap gedung apartment yang menjulang tinggi setelah turun dari ojek. Termangu sesaat, dan mengatur napas supaya tidak kembali emosi. "Semoga aja orangnya belum pulang. Jadi aku gak harus liat mukanya." Dengan gontai, kaki Safira melangkah memasuki gedung bertingkat itu dengan perasaan campur aduk. Sejak tadi dia berpikir, bagaimana caranya supaya dia bisa terbebas dari manusia licik macam Kai. Mulutnya pun tak berhenti mera
Bagi Safira keputusannya pergi dari apartemen Kai merupakan keputusan yang sudah sangat tepat. Untuk apa dirinya masih bertahan di sana jika hanya dijadikan sebagai sarana balas dendam? Untuk apa?Safira bukan orang bodoh yang hanya akan diam jika ada yang menginjak-injak harga dirinya. Termaksud Kai, yang sudah dengan liciknya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan yang Safira alami. Namun, ketika tiba di rumah, yang Safira pikir akan menjadi tempatnya pulang. Sebuah kejutan lebih besar menyambut kedatangannya. Rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama bertahun-tahun ternyata sudah disegel. "Rumah ini sudah jadi milik Bank." Lutut Safira seketika itu juga terasa sangat lemas, tubuhnya luruh ke tanah dengan tatapan nyalang dan berkabut. "A-apa ini? Ini ...." Mulut Safira nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Dia merasa sangat syok dengan kejutan tak terduga itu. "Rumah ibu ...." Dalam seperkian detik tangisan Safira pun pecah. Dia meraung keras hingga tak peduli dengan keada
"Sekarang aku tanya. Apa yang kamu tau soal Bapak?" Safira melontarkan pertanyaan tersebut setelah mobil Kai keluar dari perkampungan rumahnya. Mengesampingkan keingintahuannya; 'Kenapa Kai bisa tiba-tiba muncul di rumahnya'. Saat ini dia sudah merasa sedikit lebih tenang, dan menguasai akalnya agar tak berpikiran buruk tentang Kai. Meski sisa isakan masih terdengar. Salah satu alasan Safira mau ikut ke apartemen Kai lagi ialah; perihal sesuatu yang diketahui oleh pemuda itu mengenai ayahnya. Untuk urusan yang lain, dia tidak ingin memikirkannya lebih dulu. Kai yang fokus mengemudi lantas mengembuskan napas sangat panjang. Dari air mukanya terlihat jelas jika apa yang diketahuinya mengenai Januar merupakan kabar yang kurang mengenakkan."Nunggu sampe apartemen dulu. Baru gue cerita." Pemuda itu menoleh sekilas ke Safira yang langsung memberi tatapan tajam. Dia pun berkata lagi, "Tenang aja. Gue gak bakal bohong lagi kali ini." Seakan-akan dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Safir
"Itu sertifikat rumahku." Safira sontak bangkit dari duduknya, dan hampir menyambar sertifikat rumahnya dari tangan Kai. Tetapi, dia gagal mengambilnya karena Kai lebih dulu berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Mau ngapain lu?" Sepasang manik Kai memicing tajam sambil memegang tangan Safira dengan tangannya yang lain. Menahan perempuan itu yang ingin merebut sertifikat di tangannya. "Aku mau ambil sertifikat rumahku." Rahang Safira mengetat dan gigi-giginya saling bergemelutuk. Kesal karena tak berhasil merebut miliknya dari tangan Kai. Kai masih menggenggam tangan Safira, meski calon kakak iparnya itu sedang berusaha melepaskannya. Dia berdecak kemudian berkata, "Gak segampang itu, Nona. Ada harga yang mesti lu bayar kalo mau ngambil ini." Map yang masih dia angkat tinggi itu dikibas-kibaskan seolah tengah memprovokasi Safira. Bola mata Safira melebar, dan setelah susah payah melepas genggaman tangan Kai, akhirnya dia berhasil. Menarik, lalu memutar pergelangan tangan
Kesepakatan malam itu rupanya sangat mempengaruhi konsentrasi Safira. Setiap harinya perempuan bermanik cokelat dan berkulit putih itu selalu dirundung gelisah dan cemas. Setiap detiknya, dia bahkan merasa tidak nyaman serta takut. Takut, apabila sewaktu-waktu ulahnya terendus oleh Arkana.Safira mungkin bisa bernapas untuk saat ini sebab calon adik iparnya yang brengsek dan licik sedang berada di luar kota hampir dua pekan ini. Sehingga kesepakatan yang telah dia sepakati dengan Kai belum terlaksana. Entah apa yang dikerjakan oleh Kai di luaran sana. Safira tak pernah ingin tahu apalagi ikut campur urusan pemuda itu. Hanya saja yang membuat Safira heran, kenapa Kai memiliki banyak uang. Padahal adik tiri Arkana itu tak pernah sudi memakai atau menggunakan fasilitas dari Barack—papinya. Bahkan, saham perusahaan yang menjadi bagiannya saja tak sedikit pun Kai ambil. Akan tetapi, ditilik dari gaya hidup seorang Arthur Barack Kai, putra kedua dari Barack tersebut sangatlah berkecukupan
Entah sudah ke berapa kalinya Safira menggerutu hari ini. Semenjak Kai menemuinya di Kafe, sampai detik ini di apartemen lelaki itu. Harusnya, dia kini sudah berada di Bar untuk bekerja. Namun, Kai melarangnya pergi dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal."Padahal dia lagi seneng-seneng sama cewek lain. Bisa-bisanya gak ngebolehin aku berangkat kerja. Ck! Apa, sih, maunya dia?" Mulut Safira mengerucut sambil berguling-guling di atas kasur—mencoba mengusir rasa bosan yang melanda. Sejak tiba, dia sama sekali tidak keluar kamar— dikarenakan malas jika harus menyaksikan kemesraan dua sejoli di ruang tamu. "Ngapain juga, Kai ngajak itu cewek! Seenggaknya dia bisa mikir kalo ada manusia di apartemennya ini." Safira bangkit dan duduk bersila sambil mengembuskan kasar napasnya. Meraup wajahnya berulang kali, lalu menyambar ponsel di atas nakas samping tempat tidur.Ternyata, ada banyak sekali pesan dari Lolita yang menanyakan perihal Safira yang tidak berangkat malam ini. Safira pu
Efek dari peringatan yang dilontarkan Kai sebelum pemuda itu masuk ke kamar, membuat Safira jadi tak bisa tidur semalaman. Perempuan cantik itu pastinya terus kepikiran dengan semua poin-poin yang dibuat Kai tanpa persetujuannya sama sekali. Dengan kata lain—'suka tidak suka, dan mau tidak mau', Safira harus menurut tanpa diperbolehkan protes mau pun bernegosiasi. Seperti pagi ini. Safira yang sudah terbiasa bangun pagi, sudah terlihat berkutat dengan seabrek pekerjaan. Dari mencuci baju bekas pakai Kai, membersihkan seluruh unit apartment serta memasak untuk sarapan. Dia harus menyelesaikan semua itu sebelum pukul delapan karena hari ini dia masih masuk shift pagi. "Bikinin nasi goreng aja, deh. Masih ada sisa nasi semalem." Lekas membuat bumbu untuk nasi goreng, dan menyiapkan berbagai macam pelengkapnya; bakso, sosis dan telur. Tak lupa sedikit sayuran instan Safira tambahkan sebagai serat. "Fir, bikinin gue kopi dong." Kai muncul ke dapur dengan malas serta wajah bangun tidur.