Astaga, aku sudah memastikan semua ini akan terjadi. Penolakan dari Naufal, bocah yang lebih kritis menanggapi sesuatu yang tidak beres disini.Aku mengangguk, merasa tidak perlu mendebatnya dan melakukan pembelaan. Biar Naufal menjadi pemenangnya kali ini, namun tidak di waktu yang akan mendatang. Naufal harus aku taklukkan dengan cara dan perhatian."Oke, Tante ngalah cuma ingat ya. Jagung manis pakai susu kental manis coklat nikmat rasanya." uraiku seraya menyunggingkan senyum. Naufal bodo amat, namun tidak dengan calon jakunnya. Bocah itu meneguk ludahnya sendiri membayangkan jasuke yang kerap kita beli setelah habis jalan-jalan. "Nanti Oma buatkan, kiddos. Tapi sekarang kita makan malam dulu." kata mama Rita."Lagian kenapa Oma harus undang Tante Anna! Kenapa bukan Oma yang ke kantor? Aku gak suka papa dekat-dekat Tante Anna karena papa itu mantan playboy kata mama! Papa suka perempuan." seru Naufal sambil melototi ayahnya.Mata pak Ardi terbelalak, tertohok dengan ucapan Naufa
"Kamu gila mas!" aku menusuk dadanya sewaktu gudang kembali tertutup rapat. "Suka banget bikin keputusan yang terus-menerus bikin aku gak tenang. Kenapa sih gak kita bicarakan dulu untuk tahap ini mas, kenapa slalu sesuka hatimu sendiri." Aku mengerang, ku tatap ia dengan mata nyaris meloncat keluar jika saja pak Ardi tidak tersenyum lebar dan membuatku menusuk dadanya lagi."Lihat, bisa-bisanya masih senyum! Ah, ya, aku lupa siapa yang aku hadapi. Bapak dari dua anak yang satu galak, yang satu easy going. Aku lupa kamu punya campuran genetik itu hingga semua kamu anggap biasa saja. Bu Menyebalkan." desisku mengakhiri perdebatan ini. "Sudah marah-marahnya Anna?" Pak Ardi membelai pipiku, "kamu tegang sepertinya." "Tegang?" gumamku, "ya aku tegang, bukan karena aku ingin terus berada di fase aman pernikahan ini tapi aku tidak mau menyakiti banyak orang lagi. Mengertilah mas. Anakmu, istrimu, keluarganya dan aku sendiri."Aku mencari tempat duduk, lelah pikir membuatku lelah juga han
Pak Ardi menatapku dengan tatapan aneh sewaktu menarik resleting celana. Aku bertanya kenapa, ia menaruh jari telunjuk di bibir sembari mendekatiku dan mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telingaku."Keluarlah lewat jendela dan sembunyi sebentar di taman belakang." bisiknya yang berbarengan dengan gagang pintu yang bergerak. "PAPA! PAPA!" Aku membuang napas, "Anak itu sama menyebalkannya seperti kamu mas, sama sekali dan aku yakin, kamu sepaham denganku sekarang."Pak Ardi mencium bibirku, ia meringis dan menyuruhku bergegas dengan gerakan kepalanya. Aku membawa diriku yang terasa lemas menuju jendela yang memang sanggup untuk keluar masuk. Aku berdiam di batas terakhir sudut rumah ini. Aku menyandarkan tubuhku di tembok, yang menghadap pagar dan tanaman hias yang lebat terawat.Di dalam teriakan Naufal memekik keras. "Papa ngapain di gudang? Papa ngapain disini dan keringetan? Jawab!"Astaga, anak itu masih saja belum percaya dengan pernyataan kami tadi."Papa cari berkas yan
Sekuat hati aku melepas kepergian suamiku pulang ke rumahnya dengan pengawalan ketat Naufal yang mengancamku untuk tidak mendekati ayahnya sampai ia benar-benar menerima kehadiranku sebagai ibu tiri. Kalau tidak semua rahasia kami akan sampai ke telinga ibunya dan seluruh orang. Aku dan pak Ardi tadi, di tengahi papa dan mama di hadapan Naufal, akhirnya sepakat untuk setuju dengan permintaannya.Aku menatap ibu dan tersenyum sedih "Satu-satu aku dan mas Ardi pasti bisa menyelesaikan ini semua, Bu." kataku menyemangati dirimu sendiri. Begitu keras kepalanya aku kali ini padahal jikalau berpisah aku yakin suamiku tidak membiarkan aku nelengsa atau kekurangan uang. "Naufal pasti akan menerima kamu, Anna. Hanya saja dia seperti Ardi, jangan mengingkari janjimu sendiri jika mau semuanya masih ingin terkendali." kata mama menyentuh bahuku sembari tersenyum, "tidak perlu khawatir kalau kamu memang benar-benar yakin dengan Ardi. Ayo kamasuk ke dalam. Pulang besok saja. Rumah ini terlalu sep
"Jadi ini maksud mas Ardi nyuruh aku pulang kesini, ma?" tukas Bian yang terus memandangku sebal setelah mama menceritakan kejadian semalam. "Sori, Ma. Bukannya Bian gak mau nolong mas Ardi. Cuma kan, anak itu emang jadi keponakan ku, tapi bukan berarti aku harus pura-pura jadi suaminya Anna. Urusannya pasti ribet banget dan asumsi publik pasti langsung pecah." Bian mengangkat kedua tangannya. "Pasti ada cara lain."Mama memasang wajah masam. "Mama paham ada cara lain, dan Anna sebenarnya lebih suka status pernikahannya di sembunyikan. Tapi, karirnya baru naik, Bian. Ada peluang yang besar." "Untuk apa peluang demi uang kalau mas Ardi bisa memberi lebih banyak, Ma!" sahut Bian cepat."Bukan seperti itu cara perempuan berpikir, Bi. Perempuan menggunakan peluang untuk menghasilkan uang dan pengakuan. Singkatnya harga diri. Sedangkan laki-laki menggunakan peluang untuk kesempatan seperti kakakmu itu. Biang kerok!" Mama mendesah. Aku mengulum senyum, memilih diam sembari mengamati kel
Di antara banyaknya pilihan, itulah yang pada akhirnya keluarga pak Ardi setujui, begitupun suamiku meski dengan ancaman. Aku akan sekuat tenaga menjaga privasi ini karena aku menyukainya. Sangat! Dan perasaan ini dengan bahagia aku jalani. Suamiku datang ke rumah kala malam hari sebulan setelah perjumpaan terakhir kami di rumah Mama Rita. Di kantor pun aku tidak bertemu dengannya karena aku memilih untuk setia pada pendirianku karena diapun juga tidak ada. Sendiri, aku mengaku menjadi istri kedua dari seseorang konglomerat yang tak mau di ketahui identitasnya. Banyak selentingan yang aku dengar dari para orang yang curiga dengan aku. Tak apa, terluka, dan aku menerimanya. Memang begitu apa adanya, dan tidak separah cacian pelakor yang begitu aku jauhi."Hai...," sapaku sembari tersenyum, semua terasa baik. Begitulah adanya disini. Karena aku benar-benar mendapat apa yang harus aku terima."Katakan kamu merindukan saya, Anna!" Pak Ardi menarik pinggangku mendekat ke tubuhnya. Peluk
Semuanya sudah ku coba menjadikan semua ini kenangan dan jeda ekstrem yang mengisi perjalanan hidupku. Walau kenyataan yang aku rasakan disembunyikan terus-menerus adalah jarak yang mulai terasa lebar antara aku dan suamiku. Dia pergi pagi-pagi sekali sewaktu subuh sebelum Naufal bangun dan menyaksikan dia tak ada di rumah.Aku mengembuskan napas. Kehamilanku yang sudah sangat besar akan terekspose oleh media ketika akhirnya waktu premiere film semakin dekat.Aku masuk ke ruang meeting kantor Jaff Film. Ku sapa satu persatu rekan kerja yang sudah duduk disana. Coki yang masih menjadi brainstroming dansudah lama tidak melihatku ber-wow-wow sambil menunjuk perutku."Siapa tersangkanya, Anne?" Aku menarik kursi dan mengelus perutku. "Kemana aja kamu, Cok?" "Anna jadi istri kedua woyy, udah gak usah di bahas. Dari kemarin dia sedih mulu, sementara banyak skedul yang udah di siapin produser, jadi mood ibu hamil harus kita jaga." sergah asisten manager yang benar-benar selama aku kembal
Aku menatap suamiku yang menyampirkan jas hitamnya di pergelangan tangan pergi. Sejenak dia menatapku tajam-tajam. Aku menjulurkan lidah panjang-panjang sebelum dia di bawa benda itu ke atas.Rasain, rasain. Aku akan cuek bebek dan membakarnya dengan cemburu. Lihat saja, kekasihku. Sejauh mana kamu bertahan dengan ini semua, sejauh mana aku bertahan dengan ini semua. Toh jika pada akhirnya semua hal-hal yang kita sepakati, janjikan, akan berakhir dengan pilihan baru, kesepakatan baru yang mungkin lebih baik dari sebelumnya.Coki mengernyit dengan kelakuanku, mungkin ia ini terlalu berlebihan karena berada di lingkungan kantor. Tapi bodohlah, hidup ini sudah pada kenyataannya. Sandiwara, perasaan ini, risiko dan berantakan."Berani-beraninya kamu melet-melet sama mereka, Anna! Arghh...," Coki sampai berlonjok sambil menunjukku penuh semangat. "Apa jangan-jangan???""TOA, jangan mulai lagi." Aku mencengkeram lengannya, menyuruh duduk. "Gue - gue masih inget kelakuan kalian dulu, oyyy.