Im come back... yuhu~
Aku melamun cukup lama di atas tempat tidur dengan kaki bersila. Menggaruk kepala lalu mematikan alarm diponsel yang bergetar tepat pada pukul 11 pagi. Karena kasurku beberapa hari yang lalu kudempetan dengan jendela, gordennya langsung kubuka dan tanaman kaktus dengan pot kecil yang terletak di ambang jendela tersebut kusemprotkan air dalam botol spray bekas pengharum baju. âSelamat pagi, kaktus,â sapaku ramah. Memandanginya dengan penuh perhatian. âI love you,â kataku malu-malu. Rasanya memang agak menggelikan. Tapi tidak buruk juga. Sebelum bertambah malu dihadapan tuan kaktus, aku menutup muka dengan kedua tangan lalu melompat pergi dari tempat tidur. Ketika mandi, biasanya aku hanya menggosok badan menggunakan busa sabun dengan tidak bersemangat. Tapi mulai dari sekarang aku perlahan mencoba menyelingi kegiatan tersebut dengan bernyanyi. Bernyanyi sesuka hati sambil menyikat gigi. Pikiran dan suasana hati buruk tentu saja menghampiri, namun aku ingat tips tadi malam yang semp
Aku tahu, rencana tidak pernah berjalan sesuai dengan ekpetasi manusia. Tapi beberapa mengatakan kita tidak boleh mengikuti arus. Mengalir seperti air. Terkesan seperti tidak punya pendirian. Namun beberapa lagi akhirnya membiarkan dirinya hanyut terbawa arus demi mendengarkan permintaan hati tentang apa yang sebenarnya dunia butuhkan dari mereka. Aku tidak mengerti apa yang diriku butuhkan saat ini. Mimpi seperti apa yang seharusnya aku kejar. Tujuan seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Apa yang membuat hari-hariku begitu kelabu meski sinar mentari selalu menembus kamarku setiap pagi. Aku melihat Esa. Tapi jiwaku mati untuk kesekian kalinya. Kupikir setidaknya aku masih bisa memiliki sedih sebagai rasa satu-satunya yang kupunya, tapi ternyata itu pun pergi dari hidupku. Aku hanya diisi kosong. Bertahun-tahun lamanya. âHei,â tegur Esa yang tahu-tahu sedang memperhatikanku. Kami berdua berakhir duduk berdampingan di halaman belakang rumahnya yang baru. Aku baru sadar hari telah
Sebelumnya, aku tidak pernah merasakan ini. Berada di tengah-tengah orang yang tidak punya ikatan keluarga denganku, namun selalu mampu menghangatkan suasana hati. Anak-anak mendirikan tenda dengan sangat akur meski sebelumnya sempat berkelahi. Mereka bahkan bisa tertawa-tawa seperti semula. Beda denganku waktu kecil. Perkelahian itu seolah menjadi sebuah permasalahan besar dan aku sulit untuk memaafkan orang lain.Ternyata kuncinya ada di orang dewasa. Seperti cara Esa tadi. Berusaha memberikan penjelasan serinci mungkin agar anak-anak paham kondisi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasinya dan bagaimana cara bertoleransi antar sesama. Mereka mengerti, bahkan saling memahami.Aku jadi sempat berpikir tentang Esa. Dia punya selera humor yang baik, sifat yang baik, perilaku yang baik, daya refleksi yang bagus, pintar, kaya, dan menawan. Apakah aku pantas dengannya? Aku jadi bertanya-tanya tentang apa sebenarnya kelebihan diriku yang bisa membuat
âJadi kemarin, aku nelfon papaku. Dia sempat kaget.ââKarena kamu bilang mau nikah.ââItu juga, tapi lebih kagetnya lagi karena aku masih hidup.ââKenapa?ââCeritanya panjang. Singkatnya, aku sejak merantau ke sini sengaja ganti nomor supaya nggak bisa dihubungi. Aku sempat bikin janji lewat sms sama beliau bakal mengabari keadaan kalau aku sudah sukses nanti, tapi sekarang ternyata malah kasih kabar mau nikah. Jadi papaku marah. Beliau kira aku dihamili orang. Kalau bisa secepatnya aku di suruh pulang ke Manado dulu katanya.âEsa tenggelam di ambang kesadaran. Aku mengangkat bahu untuk memastikan keadaan.âJadiâŠ. gimana? Kita jadi nikah âŠ. atau gimana?ââJadi lah,â paparnya tegas. Nyaris menyemburkan jus jeruk yang sedang diminumnya.âKita sama-sama pergi temui orang tuamu dulu, untuk minta restu.ââYakin?ââYakin.ââKenapa?âIa sedikit bingung. âKok, kenapa?â lalu berjalan mengikutiku mengambil gelas di meja bar dekat kolam renangnya. Ia menuangkan jus jeruk itu untukku.âKarena seb
Menangis. Aku menangis mengingat Esa sempat menitikkan air matanya tadi. Ini pertama kali dalam hidupku melihat seorang laki-laki kecewa berat seolah telah menaruh ekspetasi tinggi pada wanita. Aku sendiri bahkan merasa bersalah dan teramat kecewa pada diriku karena telah membuat orang baik dan pengertian sepertinya terluka. Dalam benak, seribu kali terulang dan mengucur dalam tangis, aku mengharapkan ia bertemu dengan wanita lain yang lebih sehat dan lebih layak bersanding dengannya. Jadi, setelah mengepak koper dan mengunci pintu, aku melihat layar ponselku sejenak, menekan tombol blokir pada kontaknya kemudian pergi dari kosan agar tidak ditemukan. Hari yang terik, tapi kakiku berjalan menyusuri jalan. Sesekali menjulurkan tangan di tepian trotoar untuk taksi kosong, sebelum akhirnya memilih perjalanan ke sebuah tempat yang jauh. Aku melamun dan supir taksi curiga padaku. Ia bertanya apakah aku sedang sakit atau tidak, atau mau ke mana? dengan raut khawatir. Aku tidak punya tujuan
Suasana hatiku berubah beberapa menit yang lalu. Yang tadinya ingin menjauhi manusia dan terbebas dari sinyal, kini malah menginginkan hal itu. Kamarnya kuperhatikan begitu besar dengan satu big bed di tengah-tengah ruangan. Lampunya temaram dan banyak sudut-sudut gelap. Belum lagi kamar mandinya yang berada di belakang ranjang, membuatku takut tidur sendirian. Tidak ada TV. Tidak ada sinyal. Sementara keadaanku kini jika sendiri akan sangat membahayakan. Lebih-lebih lagi aku lupa bawa obat antidepresan. Ingin menelpon dokterku, lagi-lagi terhalang sinyal.âCara dapatkan sinyal di sini bagaimana, ya?âOrang-orang minum kopi dan berbicara, tapi suaranya seperti segerumbul lebah yang berdengung. Aku seperti tenggelam dalam cemas yang membuat asam lambungku naik. Untungnya pramutamu yang tadi menyahutiku.âDi atas bukit beloam. Ada apa, Mbak Noumi?ââBisa kita ke sana sekarang?âPak Ridwan selaku pramutamu yang sejak tadi menemaniku, kini menawarkan tangan untuk digenggam. Ada Bu Susan s
Deburan ombak pantai samar-samar terdengar berdesir dari dalam kamar. Di luar, dapat terlihat cerminan bulan menerangi laut hitam. Angin menderu-deru menembus sela jaring-jaring kelambu yang dipasang melindungi ranjang sementara aku bergerak dalam satu dekapan hangat. Esa menaikan selimut.âGimana caranya kamu bisa sampai di sini, Sa?âIa yang sepertinya melamun, terlonjak. Mengendurkan pelukan demi melihatku sejenak.âApa alasannya karena cinta?â tanyaku pelan. Matanya yang tajam berkedip. Lamat-lamat mengangguk dengan memanyunkan mulut.âKok kamu bisa cinta sama aku? Kenapa?â tanyaku lagi. Ia nampaknya tak ingin membahas apapun namun terpaksa harus menjawab.âMemangnya siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu? Pak Januar?â Membuatku jadi ingin tertawa. Aku tahu betul yang dimaksud bukan begitu. Hanya saja ia tidak ingin membawa suasananya menjadi keruh. Aku menghela napas panjang sesekali lalu menatapnya berbinar-binar.âMakasih, ya. Lain kali akan kubalas. Sepuluh kali lipat.âD
Sudah cukup lama aku mempelajari asmara dan relationship dari berbagai sumber di internet. Dari bentuk video sampai artikel, semua kujabani. Tapi apa jadinya teori tanpa praktek? itu sama saja dengan belajar sebatas hafalan. Katanya, ciri-ciri pria yang ingin serius itu adalah yang lebih banyak âmelakukanâ dibanding âperkataannya.â Sementara yang sering kurasakan, Esa dominan dengan kata-kata indah yang membuatku yakin kalau ia jodohku. Untuk memvalidasi hal tersebut, hampir setiap hari aku mengujinya dengan trik-trik kecil agar keraguan dalam dada ini sedikitnya meluntur. Seperti meminta bantuan apapun padanya. âSayang?â Ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop dan tablet di atas meja makan sementara anak-anak tengah bermain di ruang tengah. Ini jam makan siang. âSayangâŠ!â Ia akhirnya menoleh. Terkejut. âHm? Kenapa sayang?â tanyanya. Aku mengkerutkan alis. âIni, nih. Kenapa kompor di sebelah kanan nyalanya lebih kecil dari yang sebelah kiri, ya? Aku dari tadi nguku