Seta Lugina kemudian tidak menahan Wira untuk ikut. Bersama Aji, Bina Kundala, dan para pengawal lain, Wira bergegas ke perbatasan.Beberapa ratus meter sebelum perbatasan. Wira dapat melihat kepulan awan tebal berada di atas tebing batu, yang di dalamnya terlihat percikan-percikan cahaya putih kebiruan."Entah siapa orang itu. Dia cukup kuat," ucap seorang pengawal, yang sebelumnya telah menyaksikan bagaimana orang tersebut berduel dengan Senior Ban....Tidak berselang lama. Dengan keahlian peringan tubuh, mereka melompati bebatuan bak melayang di udara, yang membuat mereka tak cukup satu menit sudah berada di atas tebing batu tersebut.Dan benar saja. Ketika sorotan mata mereka mengarah ke bawah. Seseorang dengan eksistensi petir terlihat mendominasi pertarungan. Energinya begitu agresif, seolah tak terkendali.Wira menilik dengan sangat serius. Mungkin bisa dibayangkan, pikiran Wira kepada siapa jika eksistensi kekuatannya berkaitan dengan petir. Tentu, mengarah kepada tuannya yai
Panca lantas terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu siapa yang tengah berbicara dengannya, tetapi apa yang dikatakan semuanya benar. Namun, Panca sebenarnya telah memutuskan, dan tahu konsekuensi yang ada, sehingga dia sampai di tempat ini."Terima kasih kisanak, atas perhatiannya. Aku sadar, hal ini akan menyulitkan kalian. Namun, aku berjanji untuk tidak membiarkan itu terjadi. Kalaupun aku mati, aku minta kalian untuk tidak khawatir dan makamkan aku di mana saja," balas Panca.Netra Wira yang tersorot pada Panca itu kini membulat, terkejut dengan kalimat yang dilontarkan Panca."Lantas, untuk apa kita bersusah-susah mencari obat penawar untukmu, sedangkan kau bersiap mati dalam misi ini?""Maka aku pastikan itu tidak akan terjadi. Tidak perlu khawatir. Bukankah kita sudah berada di gunung Kabut Es? Tempat tujuan akhir adalah di sini kan?"Panca tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga Tetua Kalingga yang dasarnya keras dan gampang emosian, segera menjelaskan kepada Pan
"Panca! Wira!" Tetua Kalingga dan Huzen menyeru bersama. Betapa terkejutnya mereka.SIUUFFPanca saat itu hendak menggunakan eksistensi naga gunturnya, untuk membawa mereka ke atas. Namun seketika seekor merak api menyambar tubuh mereka, dan lalu menjatuhkannya di sebelah Huzen."Panca? Wira? Apa kalian tidak apa-apa?" celetuk Huzen, ketika Panca dan Wira perlahan berpijak pada jalur setapak itu."Tidak. Tidak apa-apa," balas Panca. Kemudian Panca melempar wajahnya ke atas, diikuti yang lainnya. Mata mereka seketika tersorot pada merak api tadi, yang saat itu tampak tak henti mengepakkan sayapnya."Siapa yang berani masuk ke wilayah ini? Apakah kalian sudah bosan hidup?"Seorang wanita di atas tunggangan merak api, membuat suara yang keras. Rambutnya yang terurai hingga punggung, membuatnya tampak cantik. Ditambah lagi baju merah lengan pendek, dengan pakaian bawah yang sedikit terbuka. Dilihat dari penampilannya itu, sepertinya dia merupakan orang dari suku Cuanci, yang bukan dari
Beberapa saat berjalan. Mereka kini berada dalam goa. Sepanjang berjalan, tidak lepas pandangan mengamati sekitar, yang ternyata goa tersebut cukup luas."Hey, cepatlah!" pinta Hayati, yang berjarak beberapa meter dari mereka berempat. Setelah itu dia melanjutkan jalannya....Saat ketika mereka telah masuk ke suatu tempat yang ternyata inti goa. Mereka terkejut, karena di sana terdapat tenda-tenda mukim segitiga, yang mencukupi ruangan goa."Apakah ini suku Cuanci?" bisik Wira, pada Panca, yang membuat Panca menggeleng tipis.Seluruh mata orang-orang yang ada di sana tidak lepas tertuju ke arah mereka. Menerka-nerka, siapa yang baru saja datang.Sementara Hayati yang mengantarkan mereka ke sini, entah berada di mana. Padahal tadi dia berada di depan."Tempat ini begitu sesak. Apa benar ini kediaman suku Cuanci?" Huzen berbisik pada Tetua Kalingga."Tidak tahu. Aku belum bisa memastikannya." Tetua Kalingga menjawab dengan berbisik juga."Cukup aneh bukan? Tidak seperti yang diceritaka
Berpindah ke Panca dan lainnya. Mereka terlihat tengah menyantap makanan yang cukup banyak macamnya.Ketika asyik makan dan bercanda, Gundal Pama terdiam dan merasakan dadanya sesak. Dia terbatuk sekali dan sontak darah menyembur dari mulutnya."Ayah?" celetuk Hayati, terkejut. Dia segera berdiri dan mendekat pada ayahnya.Bukan hanya Hayati, semuanya juga ikut terkejut. Namun, tampaknya Gundal Pama masih bersikap tenang untuk membuat semua yang ada di situ tidak panik berlebihan.Melihat hal itu, Tetua Kalingga segera berdiri dan duduk di belakang Gundal Pama. Cepat dia melakukan gerakan tangan dan menghempaskannya ke punggung Gundal Pama, hingga cahaya kuning keemasan memancar, menyelimuti tubuh Gundal Pama.Di sisi lain, Panca memang sedari tadi memperhatikan Gundal Pama. Meski raut wajahnya ceria, tetapi aura yang dia keluarkan tampak tidak seceria yang terlihat. Semacam ada yang dirasakan, tetapi disembunyikan oleh Gundal Pama."Maaf. Apakah Ketua Gundal sedang terluka?" tanya Pa
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me