Sudah dua minggu Raisa berada di rumah Dokter Farah. Rumah itu sangat sepi ketika Dokter Farah tidak ada. Raisa kesepian. Ingin rasanya dia pulang kampung. Namun, itu tentu saja tidak mungkin dia lakukan. Dia belum siap memberitahukan semua kepada Sulaiman.
Seperti malam-malam sebelumnya, Dokter Farah mengajak Raisa berjalan-jalan agar tidak penat berada di rumah. Sebenarnya, dia sudah menyediakan kendaraan untuk Raisa jalan-jalan ketika dirinya sedang bekerja. Namun, Raisa tak sedikit pun menjamah kendaraan tersebut.
"Aku pengin kerja, Mbak," ucap Raisa. Perempuan itu berkata pelan. Keputusan ini sudah dipertimbangkan oleh Raisa. Dia ingin memiliki kesibukan agar terbebas dari kungkungan bayangan yang begitu menyakitkan itu.
"Kerja?" Dokter Farah mengernyit.
"Iya."
Dokter Farah menghela napas. Memandang kosong ke arah kanan dengan benak berpikir mencari ide. Dia paham apa yang sedang dipikirkan Raisa.
"Nanti aku bantu cari pekerjaan,"
Raisa mematung dengan mata enggan berkedip. Serasa mimpi, Raisa ternyata bertemu dengan dia di tempat ini. Perempuan itu terus saja memandang pria yang tengah tersenyum di depannya. Saat debar di hatinya semakin jelas terasa, Raisa tahu rasa itu masih ada di dalam sana."Mas Pras, ini Raisa yang diperintah Pak Direktur untuk di-interview."Suara Ayu membuyarkan lamunan Raisa dan Pras. Raisa mengerjap, lalu menoleh kepada Ayu. Perempuan itu menangkap sesuatu yang berbeda pada wajah Ayu. Wajah itu tidak seceria sebelumnya. Ada apa?Sempat terbetik anggapan kalau Ayu dan Pras terlibat suatu hubungan. Hingga akhirnya, Raisa mengenyahkan pikiran tidak penting tersebut."Terima kasih, Ayu." Pras tersenyum lembut kepada Ayu. Namun, Ayu hanya mengangguk kecil dengan wajah datar.Pras menatap Ayu yang berbalik badan hingga keluar ruangan."Silakan duduk, Raisa."Raisa menarik kursi, lalu mendudukinya.Bermacam tanya menggantung di benak
Benar kata Dokter Farah, Ben sangat baik. Dia banyak sekali berbicara, sehingga Raisa tidak merasa rikuh saat bersama sang atasan.Ben melihat jam di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raisa yang tengah sibuk memeriksa berkas."Raisa, waktunya makan siang.""Sebentar lagi, Pak. Tanggung." Raisa menjawab dengan mata tetap fokus pada berkas di depannya. Tangannya cekatan membuka lembaran-lembaran berkas.Ben bersyukur memiliki bawahan seperti Raisa. Perempuan itu begitu rajin. Tidak seperti asisten sebelumnya.Ben mendekat ke arah Raisa, dua tangannya menyentuh ujung meja. Merasakan ada seseorang di dekatnya, Raisa menengadahkan wajah."Ada apa, Pak?" tanya Raisa, penasaran.Yang ditanya malah tersenyum dengan penuh arti. Raisa mengernyit bingung, hingga kemudian tatapan lekat itu membuat perempuan itu merasa jengah."Aku ingin kamu menemaniku makan siang."Raisa menyengir, menganggap ucapan Ben hanyalah g
"Kun, papa tunggu di rumah.""Ada perlu apa, Pa? Kun sedang ada janji," jawab Kun yang tengah mengemudikan mobilnya. Dia harus segera ke rumah Delila. Perempuan itu merengek ingin diajak jalan-jalan sejak tadi."Pulang, papa ingin bicara." Sanjaya bekata datar."Bicara saja, Pa ...."Sambungan telepon terputus. Kun menahan geram mendapati papanya sangat bersikukuh agar dirinya pulang. Dia sudah dapat menduga-duga apa pemicu sikap Sanjaya yang terkesan marah.Sementara, pesan WhatsApp dari Delila berjejal. Kun hanya memandang pesan-pesan tersebut tanpa berniat membacanya, kemudian pria itu memutar balik kendaraan.Hari sudah gelap ketika Kun sampai di depan pagar. Lisa segera menghambur ke arah pagar begitu terdengar pekikan klakson. Perempuan itu menarik pagar.Di ruang tamu, Sanjaya bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk sejak tadi. Bagaimana mungkin Kun bisa menceraikan Raisa seperti ucapan Bi Imas?Setelah didesak agar a
Raisa segera menghambur ke arah Sulaiman yang menatapnya dengan tatapan tajam. Gamang, Raisa bergelut dengan ragam tanya yang tiba-tiba memenuhi benak."Bapak kapan datang?" Raisa mengulurkan tangan.Namun, bukan sambutan yang Raisa dapat, jutru tamparan keras menghantam pipi halusnya."Raisa!" Dokter Farah berseru panik, lalu menghampiri Raisa.Wajah Raisa tertoleh ke arah kiri sebab tamparan sang bapak. Pipi itu terasa panas, tapi lebih panas lagi hatinya saat ini. Raisa sudah dapat meraba apa yang sedang terjadi. Perempuan itu menegakkan kepala, memberanikan diri menatap wajah nanar Sulaiman."Kamu telah mecoreng nama bapak!""Apa ... maksud Bapak?""Kamu selama ini membohongi bapak. Kenapa, Raisa? Kenapa!" teriak Sulaiman.Raisa menggeleng. Air matanya mengucur deras."Pak ... dengarkan Raisa. Raisa tidak pernah ....""Jangan mencoba-coba membohongi bapak lagi!" Sulaiman mengacungkan jari telunjuk tepat di dep
Layaknya hari-hari sebelumnya, Raisa menjalani hidup dengan lebih ringan. Beban-beban yang selama ini memenuhi kepala, satu-persatu terurai.Pada saat jam istirahat, Raisa terpikirkan pada percakapannya dengan Pras tempo hari. Tentang janji makan siang bersama. Pras tidak menagih, tapi entah kenapa Raisa ingin sekali bertemu dengannya. Beberapa hari ini, mereka hanya berpapasan tanpa ada kalimat terlontar. Hanya berbalas senyum, tidak lebih.Raisa meraih ponsel di atas mejanya. Mengetik sesuatu untuk Pras.[Sibuk?]Pesan masuk. Tak butuh waktu lama, balasan dari Pras masuk. Sontak senyum Raisa terpantik.[Tidak. Kenapa?][Bagaimana kalau kita makan siang bareng?]Pesan terbaca, tetapi hingga beberapa detik Pras tak kunjung membalas. Raisa yang tidak sabar, kembali mengirimi pesan.[Kalau tidak bisa, tidak apa]Tak berselang lama, Pras membalas.[Oke, kita ketemu di kantin]Raisa tersenyum. Ini begitu
Seseorang keluar dari ruangan di mana Raisa berada. Perempuan dengan setelan seragam warna putih tersenyum ramah pada Pras yang buru-buru berdiri dengan wajah panik. Dia adalah dokter kedua yang menangani Raisa. Sebelumnya dokter pria dengan kacamata minus."Bagaimana keadaan Raisa, Dok?""Keadaannya baik-baik saja. Selamat, ya, Pak. Istri anda hamil," ucap dokter itu dengan wajah semringah.Sementara, Pras hanya bisa menelan ludah. Istri? Itu adalah mimpinya dulu."Terima kasih, Dok," ucap Pras pelan.Dokter di hadapan Pras mengangguk, sebelum kemudian berderap pergi. Pras masuk untuk menemui Raisa. Perempuan itu menatap haru pria yang tengah berjalan mendekat dengan senyum terulas tipis.Ternyata Pras yang telah menbawanya ke sini. Saat tadi menunggu ojek pesanannya, Raisa merasakan perut mual dan kepalanya sangat pusing. Perlahan, segala yang terlihat seperti bergelombang. Hingga akhirnya dia terjatuh di kursi yang didudukinya dan pandang
"Nanti malam ada meeting dengan klien," kata Ben.Raisa segera mencatatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun."Kamu tidak mau tanya di manaa, jam berapa dan apa-apa yang harus disiapkan?" Ben mengeluarkan suara lagi. Dahinya berkerut dalam. Entah kenapa ada yang aneh dengan Raisa pagi ini, padahal sebelum-sebelumnya perempuan itu terlihat ceria. Ben bertanya-tanya adakah hal yang dilakukannya sehingga membuat Raisa berubah?Raisa mengalihkan pandangan kepada Ben dan berusaha tersenyum."Kalau ada apa-apa cerita," kata Ben setelah melangkah mendekati Raisa."Tidak ada, Pak." Raisa menjawab. Sekali lagi senyum ramah berusaha dia suguhkan meski mungkin tampak ganjil dipandangan Ben."Benar? Apa aku ada salah?" Ben memastikan.Raisa menggeleng cepat, meski sebenarnya ada beberapa unek-unek yang selama ini mengganggu hati terkait sikap Ben padanya. Namun, tidak elok rasanya jika Raisa mengeluarkan. Hal itu tentu akan membuat
Hari ini, Raisa hendak ke kampung mengunjungi keluarganya. Sebenarnya, Raisa ingin sekali mengajak Dokter Farah ikut serta, tapi dokter Farah menolak. Dia ingin beristirahat dan melakukan beberapa kegiatan."Lain kali saja, Raisa. Masih banyak waktu," kata Dokter Farah.Raisa membuang napas malas, lalu menyahut, "Mbak terlalu sering menunda. Makanya sampai saat ini masih jomlo."Dokter Farah tertawa mendengar dirinya disindir."Dih, nyindir. Siapa bilang aku jomlo?""Aku!""Kan, enggak semua harus dibeberkan," kata Dokter Farah keceplosan."Hah?! Jadi Mbak Farah sudah punya cowok?" tanya Raisa dengan gurat serius.Dokter Farah menyengir sambil menggaruk tengkuk. Memang dirinya saat ini sedang dekat dengan seseorang. Namun, mereka hanya sebatas teman, meski Dokter Farah merasakan jika lelaki tersebut menyimpan rasa yang sama. Jadi, dia tidak ingin bercerita terlebih dahulu kepada Raisa sebelum ada hubungan jelas."E