Raisa menyanggupi permintaan Dokter Farah untuk bertemu. Ada rasa penasaran kenapa dokter itu begitu bersikukuh mengajaknya berjumpa. Sepeting apakah yang akan dibicarakan Dokter Farah?
Ah, Raisa rasanya tidak sabar.
Pukul sepuluh pagi, Raisa sudah bersiap-siap. Perempuan itu meraih ponsel di atas meja rias, ingin menghubungi sang suami untuk meminta izin. Namun, berkali-kali memanggil, tak satu pun yang dijawab oleh Kun.
Rasia akhirnya memutuskan mengirim pesan WhatsApp. Dia yakin kalau Kun akan mengizinkan. Setelah pesan terkirim, perempuan berhijab peach itu memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Raisa melangkah keluar. Di teras, dirinya bertemu dengan sang mertua. Pria itu tersenyum lembut, benaknya sudah menduga Raisa hendak ke mana.
"Kalau saja papa tidak cacat, pasti akan antar kamu ke rumah sakit," ucap Sanjaya. Dalam hati pria itu merutuki Kun karena tidak pernah sekali pun menemani Raisa ke dokter.
Raisa tersenyum getir. Dia tida
Di meja makan, Raisa terlihat hanya diam saja dengan kepala lebih banyak menekuri piringnya. Wajahnya murung. Hal itu membuat Kun khawatir jika Dokter Farah telah mengatakan semua dan Raisa terpengaruh.Tiba-tiba saja Kun kehilangan selera makan.Di seberang meja, Sanjaya juga heran dengan perubahan sikap Raisa. Benaknya menduga-duga bahwa Raisa sedang ada masalah dengan Kun.Sanjaya manatap Kun dengan sinis. Dia akan memperingatkan Kun sekali lagi.Setelah membantu Bi Imas dan Lisa mengemas sisa makanan di meja, Raisa berderap menuju kamarnya. Dia lelah, ingin segera merebahkan tubuh dan terlelap.Kun beranjak mengikut Raisa. Namun, Sanjaya memanggil."Kun!"Kun mendengkus. Berbalik menghadap sang papa yang berjalan tertatih. Dari wajah Sanjaya, Kun menangkap sesuatu yang tidak mengenakkan. Segera diriya menyiapkan diri guna menyambut ocehan Sanjaya."Ada apa, Pa?""Apa yang kamu lakukan pada Raisa?" tanya Sanjaya
Raisa mengiringi Sanjaya yang dipapah Kun hingga tiba di dekat pintu mobil. Pria paruh baya itu berbalik, menatap menantunya dengan senyum terkembang.Setiap kali Sanjaya memandang wajah teduh Raisa, maka bayangan Widia akan tampak di pelupuk mata. Entah kenapa rasa itu masih berdiri kokoh di hatinya, padahal sudah sangat lama. Sudah lebih dari dua puluh tahun."Raisa, papa berangkat. Jaga kesehatanmu dan bayi di dalam perutmu," ucap Sanjaya ketika hendak masuk ke dalam mobil.Raisa seketika merasa kikuk. Dadanya berdegup dua kali lebih kencang. Perempuan itu melirik kepada Kun yang ternyata menatap sembarang ke arah jalan raya. Ya, Kun sudah tidak kuasa menahan amarah yang hampir meluap.Raisa mengangguk ringan sambil berusaha mengembangkan senyum."Papa hati-hati. Cepat sembuh, cepat pulang," balas Raisa."Tentu, Raisa. Terima kasih." Sanjaya membalas.Perpempuan itu kemudian meraih tangan Sanjaya dan menciumnya dengan t
Raisa membuka mata. Pandangannya terlihat kabur. Setelah beberapa kali mengerjap, barulah ruangan bernuansa monokrom itu tampak jelas.Ragam tanda tanya berkelindan di benak. Termasuk berada di mana dirinya. Kepalanya mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir yang terjadi padanya. Raisa tersentak begitu ingatannya pulih dan mengulang dengan jelas peristiwa menyakitkan itu.Netranya berkaca-kaca. Rasa nyeri di bagian tungkainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan tuduhan Kun hingga talak yang dijatuhkan padanya.Perih. Jika saja boleh memilih, dia lebih memilih berakhir di kamar itu, mati di tangan sang suami. Namun, benda tajam di tangan Kun ternyata tidak menancap di perutnya, melainkan pada tepian kasur di dekatnya.Belum puas menyakiti, Kun mengusirnya dari rumah itu dengan paksa. Menyeretnya ke teras."Pergi, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!""Mas, dengarkan aku ...."Debaman pintu yang dibanting Kun membuat R
Sehari semalam Raisa berada di kamar rumah sakit. Perempuan itu terlihat lebih pendiam. Matanya tampak bengkak sebab hampir setiap waktu menangis. Dokter Farah paham, ini sangat berat bagi Raisa.Hidup Raisa hancur. Hatinya remuk redam. Kun adalah bedebah!"Raisa," ucap Dokter Farah.Buru-buru Raisa menyeka air matanya, lalu menoleh pada perempuan yang dengan sabar menungguinya.Setiap kali menatap wajah Dokter Farah, ada rasa bersalah berkelindan di hati Raisa."Hari ini kamu boleh pulang."Raisa menggeleng. Dia tidak ingin kembali ke rumah itu, rumah yang membuat hidupnya seperti neraka. "Aku tidak mau pulang.""Kamu ingin pulang ke rumah orang tuamu?"Raisa berpikir sejenak. Tidak. Itu bukan ide bagus. Bapaknya pasti khawatir jika dia pulang ke desa tidak bersama Kun.Raisa kembali menggeleng. Dokter Farah menatap lekat wajah Raisa. Dokter cantik itu memikirkan sebuah ide."Aku ikut Mbak ...." Raisa menat
Sudah dua minggu Raisa berada di rumah Dokter Farah. Rumah itu sangat sepi ketika Dokter Farah tidak ada. Raisa kesepian. Ingin rasanya dia pulang kampung. Namun, itu tentu saja tidak mungkin dia lakukan. Dia belum siap memberitahukan semua kepada Sulaiman.Seperti malam-malam sebelumnya, Dokter Farah mengajak Raisa berjalan-jalan agar tidak penat berada di rumah. Sebenarnya, dia sudah menyediakan kendaraan untuk Raisa jalan-jalan ketika dirinya sedang bekerja. Namun, Raisa tak sedikit pun menjamah kendaraan tersebut."Aku pengin kerja, Mbak," ucap Raisa. Perempuan itu berkata pelan. Keputusan ini sudah dipertimbangkan oleh Raisa. Dia ingin memiliki kesibukan agar terbebas dari kungkungan bayangan yang begitu menyakitkan itu."Kerja?" Dokter Farah mengernyit."Iya."Dokter Farah menghela napas. Memandang kosong ke arah kanan dengan benak berpikir mencari ide. Dia paham apa yang sedang dipikirkan Raisa."Nanti aku bantu cari pekerjaan,"
Raisa mematung dengan mata enggan berkedip. Serasa mimpi, Raisa ternyata bertemu dengan dia di tempat ini. Perempuan itu terus saja memandang pria yang tengah tersenyum di depannya. Saat debar di hatinya semakin jelas terasa, Raisa tahu rasa itu masih ada di dalam sana."Mas Pras, ini Raisa yang diperintah Pak Direktur untuk di-interview."Suara Ayu membuyarkan lamunan Raisa dan Pras. Raisa mengerjap, lalu menoleh kepada Ayu. Perempuan itu menangkap sesuatu yang berbeda pada wajah Ayu. Wajah itu tidak seceria sebelumnya. Ada apa?Sempat terbetik anggapan kalau Ayu dan Pras terlibat suatu hubungan. Hingga akhirnya, Raisa mengenyahkan pikiran tidak penting tersebut."Terima kasih, Ayu." Pras tersenyum lembut kepada Ayu. Namun, Ayu hanya mengangguk kecil dengan wajah datar.Pras menatap Ayu yang berbalik badan hingga keluar ruangan."Silakan duduk, Raisa."Raisa menarik kursi, lalu mendudukinya.Bermacam tanya menggantung di benak
Benar kata Dokter Farah, Ben sangat baik. Dia banyak sekali berbicara, sehingga Raisa tidak merasa rikuh saat bersama sang atasan.Ben melihat jam di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raisa yang tengah sibuk memeriksa berkas."Raisa, waktunya makan siang.""Sebentar lagi, Pak. Tanggung." Raisa menjawab dengan mata tetap fokus pada berkas di depannya. Tangannya cekatan membuka lembaran-lembaran berkas.Ben bersyukur memiliki bawahan seperti Raisa. Perempuan itu begitu rajin. Tidak seperti asisten sebelumnya.Ben mendekat ke arah Raisa, dua tangannya menyentuh ujung meja. Merasakan ada seseorang di dekatnya, Raisa menengadahkan wajah."Ada apa, Pak?" tanya Raisa, penasaran.Yang ditanya malah tersenyum dengan penuh arti. Raisa mengernyit bingung, hingga kemudian tatapan lekat itu membuat perempuan itu merasa jengah."Aku ingin kamu menemaniku makan siang."Raisa menyengir, menganggap ucapan Ben hanyalah g
"Kun, papa tunggu di rumah.""Ada perlu apa, Pa? Kun sedang ada janji," jawab Kun yang tengah mengemudikan mobilnya. Dia harus segera ke rumah Delila. Perempuan itu merengek ingin diajak jalan-jalan sejak tadi."Pulang, papa ingin bicara." Sanjaya bekata datar."Bicara saja, Pa ...."Sambungan telepon terputus. Kun menahan geram mendapati papanya sangat bersikukuh agar dirinya pulang. Dia sudah dapat menduga-duga apa pemicu sikap Sanjaya yang terkesan marah.Sementara, pesan WhatsApp dari Delila berjejal. Kun hanya memandang pesan-pesan tersebut tanpa berniat membacanya, kemudian pria itu memutar balik kendaraan.Hari sudah gelap ketika Kun sampai di depan pagar. Lisa segera menghambur ke arah pagar begitu terdengar pekikan klakson. Perempuan itu menarik pagar.Di ruang tamu, Sanjaya bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk sejak tadi. Bagaimana mungkin Kun bisa menceraikan Raisa seperti ucapan Bi Imas?Setelah didesak agar a