Restoran Gorgeous adalah restoran terkenal nan mewah dengan mengusung tema bernuansa Eropa. Begitu pula dengan masakan yang disuguhkan keseluruhannya ala-ala Barat. Di sanalah Syila dan Resti bekerja sebagai seorang waitress.
Saat ini mereka sedang berada di loker untuk mengganti pakaian dengan seragam dan bersiap untuk memulai bekerja. Namun, sebelum mereka mulai bekerja, seluruh pelayan dan asisten chef dikumpulkan untuk melakukan breafing yang akan dipimpin langsung oleh Chef Julian—anak dari pemilik Restoran Gorgeous.
"Malam ini kita kedatangan tamu yang sangat istimewa. Mereka menginginkan sebuah makan malam yang elegan dan spesial. Saya harap kita semua bisa melakukannya dengan baik. Menyajikan masakan yang lezat dan bukan hanya itu saja, saya berharap pelayanannya juga dapat memuaskan mereka. Okay, semuanya selamat bekerja!"
"Yes, Chef!!!" Jawab mereka serempak.
Mereka membubarkan diri kembali ke pekerjaan masing-masing untuk mempersiapkan pekerjaan mereka tentunya.
"Syila?" panggil Julian.
Syila memalingkan kepala ke arah Julian, lalu menyahut, "Ya, Chef?"
Julian tertawa pelan mendengar suara Syila yang terdengar kaku. "Bisa kau ikut denganku sebentar ke ruanganku?"
Syila mengangguk. Lantas berjalan mengikuti Julian di belakangnya. Mereka berdua sampai di sebuah ruangan tempat kerja Julian yang berada di lantai tiga. Syila tertegun melihat ruangan itu begitu mewah dengan interior bergaya minimalis, tapi modern. Ia pikir ruangan itu sangat sesuai dengan karakter Julian. Tegas, berwibawa sekaligus hangat.
"Duduklah!"
Syila terlihat canggung ketika ia duduk di hadapan Julian, sedangkan Julian menduduki kursi kebesarannya. Julian terkekeh melihat kecanggungan yang ditunjukkan Syila. Padahal setahunya mereka berdua sudah saling mengenal sebelum ia pergi ke New York. Tepatnya lima tahun lalu. Ya, walaupun jarang bertemu.
Julian adalah sahabat Raka sejak kecil. Ia sempat menempuh magisternya di salah satu universitas terkenal di sana selama lima tahun. Selama dia di New York, ia sama sekali tak tahu-menahu jika banyak sekali perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu. Dan empat bulan lalu, ia pulang ke Indonesia untuk mengurusi bisnis keluarganya. Dia menyadari banyak sekali perubahan yang dialami Raka. Sebagai sahabat, ia ingin sekali membantu. Diam-diam tanpa sepengetahuan Raka, ia telah menyelidiki sesuatu yang sangat mengejutkannya. Sesuatu yang menjadi alasan kenapa Raka berubah.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Julian.
"Sa ... saya baik. Sebenarnya Chef menyuruh saya ke sini untuk apa?" tanya Syila heran.
Syila bingung dengan respons Julian yang malah tertawa. Apakah ada yang lucu? Syila rasa tidak ada.
Julian menghentikan tawa, lantas berdeham sejenak. "Syila, bukannya kita sudah saling kenal sebelumnya? Jangan terlalu formal begitu. Panggil aku Kak Ian seperti dulu."
Syila membelalak, terperangah. Ia tak menyangka jika pria yang berstatus sebagai bosnya itu adalah Kak Ian, sahabat dekat Raka.
"Terkejut?"
Syila mengangguk. Tentu saja Syila terkejut. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, wajar saja jika Syila tak mengenali sosok Julian yang menurutnya jauh berbeda dari yang pernah ia kenal sebelumnya.
Pada waktu itu, diselenggarakannya acara penyambutan kedatangan Julian sekaligus menggantikan ayahnya sebagai bos baru di Restoran Gorgeous dan kesan pertama kali saat Syila melihat Julian adalah pria itu merupakan tipe idaman kaum Hawa. Tanpa terpikirkan pernah mengenalnya.
"Maaf baru bisa menyapa sekarang. Padahal aku sudah tiga bulan bekerja di sini. Kamu tahu, kan aku orang yang sibuk," ucap Julian penuh penyesalan.
Syila tersenyum kikuk. "Gak apa-apa Kak. Gimana kabar Kakak?"
"Aku baik. Tapi kurasa kamu tidak dalam kondisi yang baik," tukas Julian khawatir saat ia mengamati wajah Syila yang tampak sangat pucat.
"Aku baik kok, Kak. Mungkin karena kelelahan harus bekerja dan mengerjakan tugas kuliah."
Kamu tak bisa berbohong padaku, Syil, batin Julian.
"Kalau kamu sakit, kamu bisa izin tidak bekerja hari ini. Aku yang akan mengurusnya," desak Julian.
Syila menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Kak. Sungguh. Kalau begitu aku akan mulai bekerja sekarang," ujar Syila keras kepala.
Julian menghela napas, terpaksa mengangguk. Namun, sebelum Syila membuka pintu ruangan itu, Julian berucap, "Kuharap malam ini kamu akan baik-baik saja."
Syila menoleh. Dia menatap wajah Julian yang kini balik menatapnya dengan pandangan serius. Ia mengerutkan dahi menanggapi ucapan Julian. Ada sesuatu yang membuatnya tak enak hati akan terjadi. Namun, apa?
***
Mereka sudah mempersiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan tamu istimewa kali ini. Hingga tamu yang ditunggu-tunggu pun datang. Dua laki-laki berpakaian tuxedo masuk ke restoran itu. Yang satu masih muda dan yang satunya lagi laki-laki paruh baya. Lalu disusul seorang wanita cantik paruh baya, memakai gaun berwarna hijau nan elegan, melekat sempurna di tubuhnya.
Seorang pelayan mempersilakan mereka duduk di meja yang telah disediakan. Ada enam kursi. Mereka menempati tiga kursi di antaranya. Sedangkan tiga lagi masih kosong. Mereka menunggu ketiganya dan tak lama berselang, orang-orang yang mereka tunggu akhirnya datang juga. Seorang gadis cantik mengenakan gaun merah masuk lebih dulu, lalu disusul sepasang suami istri yang terlihat sangat harmonis. Ketiganya bangkit dari duduk untuk menyambut kedatangan keluarga tersebut.
"Maaf, ya. Kami datang terlambat," ujar Ranti penuh penyesalan.
"Gak juga, kok. Kita juga baru datang," timpal Farida.
"Selamat datang di Restoran Gorgeous!" sambut Julian yang datang dari arah dapur.
Julian menghampiri kedua keluarga tersebut. Semuanya menoleh kepadanya dan mengukir senyum. Laki-laki muda itu bangkit dari duduk lalu menghampiri Julian. Dipeluknya sahabat baiknya itu dengan sangat erat.
''Hai, brother. What's up?" sapa Raka seraya melepaskan pelukan.
"Gue baik, Ka. Ke mana aja lo?"
Raka terkekeh mendengar nada bicara Julian, terdengar seperti merindukan sang kekasih yang sekian lama tak berjumpa.
"Bukannya gue yang harusnya tanya begitu?" ucap Raka kesal.
Julian mengusap tengkuk. "Hehe ... sorry, Bro. Gue sibuk."
"Om, dengar. Sekarang kamu menggantikan ayahmu mengurusi restoran Gorgeous?" Toraㅡsuami Faridaㅡmenyahut.
"Benar, Om."
"Tuh, denger, Ka. Contoh Julian dia mau mengurus bisnis keluarganya. Sedangkan kamu masih saja main-main," sindir Tora pada Raka.
Raka mengerling jengkel, lalu berkata ketus, "Pa. Aku nggak main-main. Aku cuman mau membangun bisnis dengan tanganku sendiri. Tanpa bantuan dari Papa sedikit pun."
"Lihat dia sangat keras kepala," balas Tora tak mau kalah.
Raka membuka mulut untuk membalas ucapan Tora, ayahnya. Namun Farida, Mama Raka secepat kilat memotong.
"Sudah-sudah. Anak sama Ayah sama saja."
Mereka semua yang ada di meja tersebut tertawa mendengar celetukan Farida.
"Baik kalau begitu, saya harus kembali ke dapur segera," ucap Julian di sela tawa-tawa mereka.
Raka menepuk pundak Julian. "Lo harus di sini. Gue ingin lo jadi orang pertama yang mendengar kabar baik dari kami semua."
Julian mengernyih. Ia melihat satu per satu wajah yang ada di meja itu. Tatapannya berhenti pada gadis bergaun merah yang tersipu malu. Lalu ia kembali memandang Raka. Perasaannya jadi tidak enak. Julian pun mengangguk. Ia mengambil kursi di meja lain dan ikut bergabung bersama mereka.
"Kabar baik?" tanya Julian penasaran.
"Aku dan Felisya akan segera bertunangan," kata Raka lugas.
Julian menatap Raka dengan pandangan terperangah bercampur tak percaya. Dia memandangi Felisya yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaan di matanya. Maupun, dua pasang suami istri yang tak berhenti menyunggingkan senyum.
"Iya, dan kami di sini semua untuk membahas rencana pertunangan Raka dan Felisya." Anton, suami Ranti sekaligus ayah Felisya menambahkan.
"Wah, benar-benar kejutan. Gue turut bahagia dengarnya." Senyum Julian tersungging, tapi bukan senyum kebahagiaan, melainkan karena dipaksakan.
"Iya, dan aku harap kamu bisa datang di acara pertunangan kami," kata Felisya penuh kebahagiaan.
"Tentu. Gue nggak nyangka akhirnya lo sama Raka. Gue kira Raka akan berakhir sama Syila." Julian melayangkan sindiran halusnya pada Felisya.
Perkataan Julian bagaikan petir di siang bolong bagi semua orang di meja tersebut. Mereka terlihat sangat syok. Suasana yang awalnya terasa hangat dan kegembiraan tercetak jelas lewat senyum yang terus mengembang di wajah mereka, mendadak lenyap seketika. Suasana berubah menjadi sunyi dan canggung. Julian melihat perubahan signifikan dari raut wajah Raka. Tangannya terkepal sangat kuat di atas meja dan rahangnya mengeras. Julian tahu ia salah dalam berucap, tapi ia penasaran akan reaksi yang mereka tunjukkan jika ia membahas Syila.
"Oh iya, ngomong-ngomong Syila gimana kabarnya, Tante?"
Ranti membisu. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang berlebihan. Anton yang melihatnya langsung menggenggam tangan Ranti. Lantas mengusapnya seolah-olah sedang menenangkan istrinya yang mendadak pucat.
"Fel ...."
Suara piring pecah menghentikan ucapan Julian. Dia menoleh melihat sumber suara yang sontak membuatnya terkejut. Semua orang juga ikut menoleh, melihat seorang pelayan perempuan sedang memunguti pecahan piring dan gelas.
Julian bergegas menghampirinya. Dia berjongkok menahan tangan pelayan itu yang saat ini gemetaran mengambil pecahan piring.
"Ma ... maaf," ucap pelayan itu bergetar.
"Jangan diambil," cegah Julian.
Namun, pelayan itu tak menggubris. Masih sibuk memunguti pecahan piring dan gelas serta makanan yang berhamburan di lantai.
"Syila!"
Pelayan yang bernama Syila itu mendongak menatap Julian ketika bahunya dicekal tangan kekar Julian. Julian menatapnya sendu tatkala ia mendapati mata coklat Syila berubah nanar.
"Kembali ke dapur, sekarang!" titah Julian tak bisa diganggu gugat.
Syila berdiri diikuti Julian. Sekilas matanya menangkap dua keluarga itu di balik punggung Julian. Tatapannya menyiratkan rasa rindu sekaligus perih tak tertahankan.
"Jangan dilihat!'' ucap Julian memperingati.
Julian tahu persis apa yang sekarang dialami Syila. Dia bahkan bisa merasakan apa yang dirasakan Syila saat ini. Maka dari itu, ia menyuruh Syila meninggalkan tempat itu segera. Ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa Syila, terutama saat ini ketika ia harus dihadapkan pada masa lalunya.
Syila mengangguk. Kemudian berjalan gontai ke dapur, membiarkan begitu saja kekacauan yang ia buat. Setelah Syila tak terlihat lagi, Julian memanggil pelayan yang kebetulan melewatinya dan menyuruhnya untuk membersihkan pecahan-pecahan yang berserak. Serta menyiapkan kembali hidangan baru. Barulah setelah itu, Julian kembali ke meja di mana kedua keluarga tersebut duduk.
"Maaf, tadi ada sedikit insiden. Aku sudah meminta untuk segera menyiapkan hidangan baru. Semoga kalian tidak terganggu," sesal Julian.
"Tentu saja tidak," sahut Anton.
Anton ingin bertanya pada Julian lebih lanjut, tapi diurungkannya sesaat setelah melihat insiden tersebut. Ada perasaan yang mengganjal, namun tak tahu apa itu.
Julian tanpa sengaja mengalihkan pandangan pada Raka. Ia mengerutkan dahi saat melihat Raka balas menatapnya dengan tajam. Seolah mereka berkomunikasi lewat tatapan mata.
Jangan campuri urusan gue! Sekalipun lo sahabat gue.
Begitu yang Julian tangkap dari tatapan Raka.
Sekuat apa pun dirimu mencoba menghapus kenangan masa lalu, tak akan mampu jika cinta yang melekat belumlah sepenuhnya memudar. ***Seminggu setelah kejadian itu, Syila berusaha mengubur segala rasa sakit hatinya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahan dan pekerjaannya sebagai pelayan di Restoran Gorgeous. Di sampingitu, Resti juga selalu berada di dekat Syila. Ia harus memastikan kalau sahabatnya itu tak lagi sedih. Seperti membicarakan hal-hal umum lainnya atau mencoba menjadi mak comblang bagi Syila.Banyak cowok di kelasnya ataupun berbeda jurusan yang diam-diam, bahkan terang-terangan menyukai Syila. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian Syila. Namun, mereka harus gigit jari karena Syila selalu menutup diri.Suatu hari, Resti pernah menjodohkannya dengan s
Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya.Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan.“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.”Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya menc
Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik r
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti