"Mantan hanya bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Begitu bukan?" Mas Bian menegaskan kalimatku. Dia tak merasa jika saat ini aku sedang menyindirnya. Laki-laki itu benar-benar tak peka atau memang pura-pura tak tahu. Entah. "Ak-- aku setuju, Nia. Mantan memang menyimpan banyak kenangan. Jadi, tak baik jika harus kembali berhubungan dekat dengannya, takut kembali terkena bujukan syetan yang bisa menghancurkan pagar ayu seseorang." Mas Bian sedikit gugup dengan ekspresi yang tak lagi seperti tadi saat aku menatapnya lekat tanpa kedip. Dia mulai pias lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Tak mengalihkan tatapan, aku masih menatapnya tajam. Biar saja dia salah tingkah atau merasakan keanehan sikapku. Lihat saja nanti, akan kubuat hari-harimu disesaki kekhawatiran, Mas. Gelisah dan bingung dengan perubahan sikapku sampai akhirnya kamu shock mendapati undangan sidang dari pengadilan. Iya, kita lihat saja. Aku atau kamu yang akan menyesal atas karamnya rumah tangga ini. "Sudah minu
Pagi ini, Mas Bian akan kembali ke kantor setelah dua harian tak masuk kerja. Sejak hujan-hujanan dengan Irena itu, Mas Bian memang demam. Bahkan dua malam dia mengigau nama Irena. Benar-benar menyebalkan. Namun aku tak peduli. Sepertinya aku sudah mati rasa sejak dia terang-terangan begitu mendewakan perempuan itu bahkan ingin menjadikannya maduku. Mas Bian begitu merendahkanku sebagai perempuan padahal selama ini aku begitu memujinya di atas awan. Kagum atas segala cinta, perhatian dan tanggungjawabnya yang ternyata semua hanya sandiwara. Aku yakin, ibu dan Mas Fano juga akan shock berat saat tahu aku dan Mas Bian berpisah sebab selama ini aku hanya menceritakan semua kebaikan suamiku pada mereka. Tak pernah kuceritakan keburukan Mas Bian. Namun nanti jika ibu memaksaku bertahan, aku akan ceritakan semuanya dengan bukti-bukti yang ada. Setidaknya agar ibu yakin aku tak membual belaka. "Pagi, Sayang." Mas Bian keluar kamar sembari membenarkan dasinya. Dia mencium kening Irena la
Kupikir tak banyak pesan yang dikirimkan Mas Bian untuk perempuan rahasianya. Namun, dugaanku ternyata keliru. Banyak sekali pesan yang dia kirimkan pada perempuan itu, meski hanya dibalas sesekali karena lebih sering diabaikannya. Bahkan saat di mobil tadi pun Mas Bian masih sempat mengirimkan pesan agar perempuan itu tak lupa untuk sarapan. Betapa perhatiannya dia. Seolah lupa apa statusnya saat ini. Mendadak bermetamorfosa menjadi anak muda yang kembali jatuh cinta. Mas Bian benar-benar seperti anak remaja yang sedang dimabuk kepayang. Di sisi lain dia masih berusaha bersandiwara dan terus menjaga harga dirinya di depanku seolah menjadi suami dan ayah terbaik sepanjang masa. Benar-benar memuakkan. |Jam lima sore di taman samping TK Pertiwi ya, Ren? Siap. Aku pasti ke sana. Tunggu saja| Aku menghela napas panjang. Semua sudah terbaca. Pantas saja hari ini bilang pulang telat dengan alasan lembur, ternyata dia janjian dengan perempuan itu nanti sore. Apakah dia lupa dengan pepatah
Laki-laki yang pernah mengisi hatiku di masa lalu itu cukup kaget saat melihatku sudah mematung beberapa meter dari tempat duduknya. Kedua matanya membulat lalu perlahan senyum tipis terlukis di wajahnya. Wajah yang masih sama seperti dulu, hanya saja rambutnya sekarang sedikit lebih gondrong dibandingkan sebelumnya. Laki-laki itu menatapku beberapa saat lalu beralih ke Irena yang berdiri di depanku. "Mas Eza, turut berduka cita atas meninggalnya mama kamu, ya? Maaf tante baru tahu dari Sahnaz, kebetulan mamanya Sahnaz juga nggak bilang apa-apa soal itu. Sekali lagi tante minta maaf," ucap mama dengan senyum ramahnya. "Oh iya, tante. Nggak apa-apa, terima kasih atas perhatiannya," balas laki-laki itu lagi. Senyumnya kembali mengembang, tapi kutahu tatapan itu tetap menuju ke arahku. "Dia menantu tante. Namanya Dania." Tiba-tiba mama memperkenalkan namaku pada lelaki di sampingnya. Mungkin karena tatapan lelaki itu masih begitu lekat ke arahku jadi mama merasa ada kewajiban untuk m
|Iren, aku sudah sampai di tempat yang kamu minta. Taman kecil di samping TK Pertiwi. Tak jauh dari alun-alun kota. Kamu di mana? Aku benar-benar tak sabar menanti kedatanganmu. Cepatlah datang, aku sudah menunggumu| Pesan dari Mas Bian untuk perempuan itu terkirim lima menit yang lalu. Belum ada balasan di sana. Mungkin Irena memang sengaja tak membalas seperti biasanya. Hanya membaca, tapi tetap saja datang dengan senyum menawannya. Baru mengenalnya beberapa hari, tapi aku sudah mulai bisa menebak sikapnya saat menerima dan membalas pesan. Tak menunggu balasan Irena lebih dulu, Mas Bian kembali mengirimkan pesan selanjutnya. Mungkin rindunya terlalu dalam sampai tak sabar menanti kedatangan perempuan itu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku tak tahu siapa yang salah. Mungkinkah aku tak sepantasnya hadir di antara mereka? Atau Irena yang seharusnya tak hadir di antara aku dan Mas Bian. Entah. |Irena, kamu di mana? Sekarang tinggal di daerah sinikah? Aku tahu dan datang ke tempat t
|Irena, gimana kabarmu? Masih ingat aku, kan? Maaf baru berkabar lagi sejak pertemuan pertama kita waktu itu. Ada sedikit masalah di rumah, jadi belum bisa silaturahmi lagi. Kalau kamu ada waktu, nanti sore aku datang ke rumahmu. Boleh?| Aku dan Irena memang sempat bertemu sekali di warung bakso batok kelapa waktu itu. Ngobrol dan curhat banyak hal hingga akhirnya dia memberikan kartu nama itu untukku. Awalnya aku janji akan segera menyusun pertemuan kedua dengannya, tapi ternyata ada banyak kegiatan yang tak bisa kutinggalkan terlebih saat aku tahu sikap Mas Bian pada perempuannya itu. Aku belum siap bertemu dengannya dan mendengarkan semua kisahnya kembali. Namun kini, aku sudah sangat yakin dengan hatiku sendiri. Tak akan lemah hanya karena cerita-cerita Irena tentang laki-laki yang masih begitu mencintainya. Aku sudah mati rasa. Cintaku yang terlalu dalam terkhianati, mungkin karena itu pula rasa benci dan kecewa ini cukup tinggi hingga membuatku semakin yakin tak ingin meraju
Aku benar-benar angkat tangan. Tak ingin memperjuangkan kisah ini lagi. Rasanya percuma, sebab hanya aku yang berjuang mempertahankan sedangkan Mas Bian justru terkesan ingin meruntuhkan. Buat apa mengejar cintanya, yang dia sendiri justru memilih perempuan lain untuk mengisi hatinya? |Aku tahu kamu sudah bisa menebak siapa aku, Nia. Aku tak akan mengusik rumah tanggamu asalkan kamu dan dia bahagia. Namun jika tidak, jangan salahkan aku jika memperjuangkan cinta itu kembali.|Kedua mataku membulat. Dia benar-benar datang dengan membawa cintanya. Mungkinkah Mas Reza belum menikah? Ah, sudahlah. Aku tak ingin memperkeruh suasana. Ingin kuselesaikan masalahku dengan Mas Bian dulu. Tak ingin pusing dengan persoalan baru. Apakah Sahnaz yang memberikan nomorku ke Mas Reza? Padahal aku sudah bilang jangan memberikan nomorku ke sembarang orang. Atau laki-laki itu mengambilnya tanpa izin? |Jangan salahkan Sahnaz, Nia. Dia tak tahu aku mengambil nomormu dari handphonenya.|Mas Reza seperti b
Cahaya mentari masih begitu panas menyengat kulit, gegas kututup daun jendela dan mengunci pintu rapat. Irena pun sudah siap dengan gamis dan jaket kesayangannya. Gadis kecilku itu tampak begitu bahagia saat aku bilang akan berkunjung ke rumah Kak Rizqi. Pintarnya Irena masih mengingat nama itu meski baru sekali bertemu. Seperti janjiku dengan Irena, sore ini aku akan berkunjung ke rumahnya. Dia sudah mengirimkan lokasi rumahnya beberapa menit yang lalu untuk memudahkanku menemukan kediamannya. Beberapa box kue sudah kusiapkan, kado untuk Rizqi pun telah aku bungkus cukup rapi. Semua sudah siap di tas jinjing yang kuletakkan di motor. Perlahan, aku dan Irena menyusuri jalanan beraspal yang padat dengan kendaraan. Beruntung arah jalanku ke timur, jadi memunggungi mentari yang masih memancarkan sinarnya cukup kuat. Jika berjalan ke arah barat, pastilah makin menyengat serasa menembus pori-pori kulit saking panasnya. Meski aku dan Irena sama-sama sudah memakai gamis panjang dan berja