|Iren, aku sudah sampai di tempat yang kamu minta. Taman kecil di samping TK Pertiwi. Tak jauh dari alun-alun kota. Kamu di mana? Aku benar-benar tak sabar menanti kedatanganmu. Cepatlah datang, aku sudah menunggumu| Pesan dari Mas Bian untuk perempuan itu terkirim lima menit yang lalu. Belum ada balasan di sana. Mungkin Irena memang sengaja tak membalas seperti biasanya. Hanya membaca, tapi tetap saja datang dengan senyum menawannya. Baru mengenalnya beberapa hari, tapi aku sudah mulai bisa menebak sikapnya saat menerima dan membalas pesan. Tak menunggu balasan Irena lebih dulu, Mas Bian kembali mengirimkan pesan selanjutnya. Mungkin rindunya terlalu dalam sampai tak sabar menanti kedatangan perempuan itu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku tak tahu siapa yang salah. Mungkinkah aku tak sepantasnya hadir di antara mereka? Atau Irena yang seharusnya tak hadir di antara aku dan Mas Bian. Entah. |Irena, kamu di mana? Sekarang tinggal di daerah sinikah? Aku tahu dan datang ke tempat t
|Irena, gimana kabarmu? Masih ingat aku, kan? Maaf baru berkabar lagi sejak pertemuan pertama kita waktu itu. Ada sedikit masalah di rumah, jadi belum bisa silaturahmi lagi. Kalau kamu ada waktu, nanti sore aku datang ke rumahmu. Boleh?| Aku dan Irena memang sempat bertemu sekali di warung bakso batok kelapa waktu itu. Ngobrol dan curhat banyak hal hingga akhirnya dia memberikan kartu nama itu untukku. Awalnya aku janji akan segera menyusun pertemuan kedua dengannya, tapi ternyata ada banyak kegiatan yang tak bisa kutinggalkan terlebih saat aku tahu sikap Mas Bian pada perempuannya itu. Aku belum siap bertemu dengannya dan mendengarkan semua kisahnya kembali. Namun kini, aku sudah sangat yakin dengan hatiku sendiri. Tak akan lemah hanya karena cerita-cerita Irena tentang laki-laki yang masih begitu mencintainya. Aku sudah mati rasa. Cintaku yang terlalu dalam terkhianati, mungkin karena itu pula rasa benci dan kecewa ini cukup tinggi hingga membuatku semakin yakin tak ingin meraju
Aku benar-benar angkat tangan. Tak ingin memperjuangkan kisah ini lagi. Rasanya percuma, sebab hanya aku yang berjuang mempertahankan sedangkan Mas Bian justru terkesan ingin meruntuhkan. Buat apa mengejar cintanya, yang dia sendiri justru memilih perempuan lain untuk mengisi hatinya? |Aku tahu kamu sudah bisa menebak siapa aku, Nia. Aku tak akan mengusik rumah tanggamu asalkan kamu dan dia bahagia. Namun jika tidak, jangan salahkan aku jika memperjuangkan cinta itu kembali.|Kedua mataku membulat. Dia benar-benar datang dengan membawa cintanya. Mungkinkah Mas Reza belum menikah? Ah, sudahlah. Aku tak ingin memperkeruh suasana. Ingin kuselesaikan masalahku dengan Mas Bian dulu. Tak ingin pusing dengan persoalan baru. Apakah Sahnaz yang memberikan nomorku ke Mas Reza? Padahal aku sudah bilang jangan memberikan nomorku ke sembarang orang. Atau laki-laki itu mengambilnya tanpa izin? |Jangan salahkan Sahnaz, Nia. Dia tak tahu aku mengambil nomormu dari handphonenya.|Mas Reza seperti b
Cahaya mentari masih begitu panas menyengat kulit, gegas kututup daun jendela dan mengunci pintu rapat. Irena pun sudah siap dengan gamis dan jaket kesayangannya. Gadis kecilku itu tampak begitu bahagia saat aku bilang akan berkunjung ke rumah Kak Rizqi. Pintarnya Irena masih mengingat nama itu meski baru sekali bertemu. Seperti janjiku dengan Irena, sore ini aku akan berkunjung ke rumahnya. Dia sudah mengirimkan lokasi rumahnya beberapa menit yang lalu untuk memudahkanku menemukan kediamannya. Beberapa box kue sudah kusiapkan, kado untuk Rizqi pun telah aku bungkus cukup rapi. Semua sudah siap di tas jinjing yang kuletakkan di motor. Perlahan, aku dan Irena menyusuri jalanan beraspal yang padat dengan kendaraan. Beruntung arah jalanku ke timur, jadi memunggungi mentari yang masih memancarkan sinarnya cukup kuat. Jika berjalan ke arah barat, pastilah makin menyengat serasa menembus pori-pori kulit saking panasnya. Meski aku dan Irena sama-sama sudah memakai gamis panjang dan berja
"Aku seperti remaja yang kembali dimabuk cinta, Nia. Aku tahu ini salah, sebab dia masih sah menjadi suami perempuan lain. Namun aku juga kasihan dengannya apalagi jika dalam rumah tangganya memang tak ada cinta. Lagipula, istrinya juga masih memendam rasa dengan cinta pertamanya.Aku tersedak mendengar cerita Irena. Betapa Mas Bian terlalu memutar balikkan fakta. Padahal jelas, sejak menikah aku tak pernah berhubungan lagi dengan Mas Reza kecuali hari ini dia tiba-tiba mengirimkan pesan, tapi aku tak membalasnya. "Lantas gimana, Iren? Kamu tetap ingin bersama cinta pertamamu itukah?" Aku masih menunggu jawabN darinya sebab Irena mendadak terdiam."Awalnya nggak. Namun perhatian dan cintanya akhir-akhir ini tak bisa kutolak. Aku memang masih sangat mencintainya, Nia. Dan jam tangan ini pun kado spesial darinya kemarin, tepat di tanggal kelahiranku." Hatiku kembali mencelos. Rasanya begitu sakit, saat aku tak pernah meminta apapun darinya bahkan jikalaupun meminta sesuatu tak pernah m
Irena tak membahas soal Rizqi dan kerinduannya pada sosok ayah. Entah, sepertinya Irena keceplosan bicara sebab setelah aku menanyakan lebih lanjut, dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Seolah tak ingin aku tanya banyak hal tentangnya. Sebelum pulang dari rumah Irena, aku sengaja foto bersama. Kelak akan kubuat Mas Bian tak bisa berkutik dengan foto ini. Aku yakin saat ini dia masih berusaha mencari cara untuk bicara denganku tentang rencananya bersama Irena. Dia pasti sedang kebingungan, sebab memilih Irena akan membuatnya kehilangan tiga wanita sekaligus. Namun jika tak memilih perempuan itu, jelas dia seperti membuang kesempatan yang baru saja hadir di depan mata. Pulang dari rumah Irena, kulihat mobil Mas Bian sudah parkir di garasi, sementara mobil mama ada di depan rumah tepatnya di tepi jalan. Mama memang bilang sore ini akan mengurus sertifikat restoran itu untuk Irena, sebab aku sudah berulang kali mengirimkan foto-foto dan rekamanku bersama perempuan itu pada mama. Aku
"Aku ingin bicara denganmu, Nia. Cukup serius dan mungkin harus berdua saja," ucapnya lagi. Aku kembali menghela napas. Yakin sekali jika Mas Bian akan membahas soal rencana pernikahannya dengan Irena. Meski aku sudah siap dengan segala resiko yang ada, tetap saja ada rasa sesak dalam dada. Mungkin karena aku masih sah istrinya, kalau tidak, pasti sudah beda cerita. "Bukankah ini sudah bicara berdua, Mas? Ngomong saja di sini. Nggak ada masalah, kan?" "Malam minggu saja di Cafe Bianglala. Lebih nyaman ngobrol berdua di luar, biar Irena sama mama," ucap Mas Bian kemudian lalu meninggalkanku sendirian di ruang keluarga. Laki-laki yang menikahiku empat tahun lalu itu melangkah menuju kamar dan menutup pintunya rapat. Aku tak tahu apa yang ada dalam benak Mas Bian saat ini. Kupejamkan mata perlahan sembari menyandarkan punggung ke sofa. Empat hari lagi mungkin Mas Bian akan menjatuhkan talaknya padaku, sebab dia pasti lebih memilih Irenanya. Mereka terlalu dimabuk cinta sampai tak ped
Sore ini adalah sore yang berbeda. Biasanya Mas Bian tak terlalu peduli dengan waktu yang semakin beranjak petang, tapi kali ini kutahu dia sangat gelisah dan tak tenang.Aku tahu gerak-gerik Mas Bian dari pagi memang cukup resah. Bolak-balik ke gazebo dan ke kamar dengan wajah kusut seperti menanggung beban. Mungkin dia masih berusaha menyusun cara untuk mengungkapkan semua isi hatinya padaku nanti. Seperti janjinya tempo hari jika malam ini dia akan mengajakku ke cafe bianglala. Tinggal menunggu beberapa jam saja. Entah mengapa detik ini aku jauh lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Aku anggap, tak ada harapan lagi untuk bersama. Jadi sekarang lebih ke tahap mengikhlaskan saja. Tak mau ambil pusing. Aku tak ingin mematahkan hatiku sendiri mendapati kenyataan bahwa dia jauh lebih memilihnya. Sebab itulah keputusanku semakin bulat untuk mundur dan merelakan dia bersamanya. Meski begitu, aku tetap melayaninya sepenuh hati. Tak ada yang berbeda meski sikap-sikapnya padaku