Aku memekik sembari menutup mulut. Wajah Mas Rafi terlihat begitu memendam amarah. Tangannya masih kuat menggenggam seperti belum merasa puas dengan pukulannya tadi. Dokter Indra bangun sembari mengusap sudut bibirnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan pasir yang melekat saat menahan berat tubuhnya saat terjatuh tadi. Mas Rafi kembali mendekat, hendak mendaratkan pukulan serupa. Sontak aku berlari dan langsung mencegahnya. Aku berdiri di hadapannya membelakangi Dokter Indra. Berharap Mas Rafi menghentikan perbuatannya. Bukannya aku membela Mas Rafi, hanya saja kali ini Dokter Indra memang keterlaluan. Dia hanya memandang masalah dari sebelah pihak saja. Dia bahkan tidak tahu kalau pikiran Alta adalah racun yang diselipkan oleh Mas Ilham dan juga Viona. Terang saja Mas Rafi marah dan juga emosi. Selama ini Mas Rafi yang sudah mati-matian membela dan menyelamatkanku dari Mas Ilham. Walaupun perbuatannya itu memang didasari karena memiliki perasaan khusus terhadapku. T
"Kamu masuk duluan, ya?""Tidak mau.""Lho... ""Nanti Mas Rafi tidak jadi pulang dan malah singgah lagi ke klinik Dokter Indra," aku mulai sewot. "Dih, buat apa?" godanya. "Ya buat berkelahi lagi," balasku. Dia tertawa kecil."Mas tidak akan melakukannya lagi. Kamu berada di pihak Mas saja, itu sudah cukup.""Benar? Mas Rafi akan langsung pulang, kan?""Tentu saja. Mas juga sudah tidak sabar untuk memberitahukan kepada orang tua Mas bahwa kamu menerima lamaran Mas tadi."Aku kembali tersenyum. Merasa bahagia karena ternyata orang tua Mas Rafi tidak keberatan dengan hubungan kami. Terlebih lagi, mereka juga senang, karena setelah sekian lama, akhirnya Mas Rafi memutuskan untuk berhubungan serius dan segera menikah. Mas Rafi juga bilang, kalau mereka juga tidak keberatan dengan statusku yang sekarang ini. Aku sangat bersyukur, bisa dipertemukan dengan Mas Rafi dan keluarganya. Teringat saat kemarin aku sempat meragukan hubungan kami. Aku mengatakan pada Ratna bahwa aku takut jika s
Aku keluar dari kamar menuju dapur untuk sarapan. Setelah menata piring dan makanan, Bapak dan Alta pulang. "Eh, Alta olah raga, ya. Tumben," sapa ku."Iya, Bunda. Kata Om Dokter biar sehat. Iya kan, Kek?" sahut Alta. Bapak tersenyum dan mengangguk. Ternyata Alta memang benar-benar terpengaruh dengan apapun yang Dokter Indra katakan. Aku juga menanyakan kepada Ibu apakah tadi malam saat aku pergi dengan Mas Rafi, apakah Dokter Indra datang untuk menemui Alta. Ibu bilang, Bapak melihat Dokter Indra baru pulang dan kemudian menawarinya makan malam. Dokter Indra setuju dan akhirnya dia mengajak Alta untuk ikut ke klinik nya usai makan malam. Mungkin dari situlah Dokter Indra merasa bahwa perkataan Alta semuanya benar. Tanpa dia tahu bahwa semua itu murni kesalahan dari Mas Ilham dan Viona. Bagaimana caranya aku menyampaikan kepada Alta, agar jangan lagi terlalu dekat dan beramah tamah kepada dokter Indra. Aku hanya tak ingin Mas Rafi merasa di nomor duakan oleh Alta. Seharusnya, Ma
Aku kaget bukan kepalang. Kenapa tengah hari begini, Dokter Indra sudah datang ke rumah. Apakah dia sudah lupa dengan kejadian kemarin. Dan tidakkah dia sadar apa yang dia lakukan kemarin itu salah?"Ada apa Dokter ke sini?" tanyaku kebingungan. Bukankah biasanya jam segini dia harusnya berada di klinik? "Maaf, Nay, kalau saya mengganggu. Saya hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin," dia tertunduk lesu merasa sungkan kepadaku. "Kalau Nay tidak apa-apa sih, Dok. Seharusnya Dokter minta maaf ke Mas Rafi saja." Akupun merasa sungkan dan sebenarnya masih malas berhubungan dengannya mengingat kejadian kemarin malam. "Saya juga merasa perlu meminta maaf ke kamu Nay, mungkin saja saya sudah menyinggung perasaan kamu." Dokter Indra masih terlihat sungkan dan menunduk. Kenapa dia terlihat sangat takut ataupun merasa bersalah seperti ini, bukankah kemarin malam dia sendiri yang merasa paling benar, hingga susah untuk dihentikan. "Sudah Nay bilang, Dokter tidak perlu meminta maaf lagi
"Loh, ada tamu rupanya, mari Dokter, kita makan siang bersama." Ibu keluar dari dapur dan melihat Dokter Indra ada bersamaku. "Bapak kemana, Buk? Kok belum turun? aku merasa khawatir. "Bapak tidak enak badan Nay, mungkin kelelahan.""Kan sudah Nay bilang, jangan terlalu banyak pikiran, kalau sudah sakit begini,kan jadi repot.""Boleh saya cek keadaan Bapak, Bu?" dengan ramah Dokter Indra menawarkan bantuan. Aku mendelik ke arah Ibu, memberi kode agar Ibu tidak mengijinkannya."Tidak usah Nak Indra, Bapak biasa begitu kalau lagi banyak pikiran. Setelah istirahat dan minum vitamin juga akan langsung baikan," Ibu beralasan. "Oh, ya sudah, Bu. Saya pamit dulu, nanti kalau terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk datang ke rumah,ya." Dokter Indra menawari dan mungkin dia mulai sadar bahwa kehadiran nya kali ini tak begitu diharapkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, merasa lega akhirnya Dokter Indra angkat kaki juga. Kutanyakan pada Ibu, kenapa Dokter Indra selancang itu dan terkesan terla
Apakah dia bermaksud ingin mengambil hati Alta yang sudah dikotori oleh racun dari Mas Ilham dan Viona. Baru kali ini juga Mas Rafi menawari agar membawa seluruh keluargaku. Apakah kepercayaan diri nya sudah tumbuh besar, karena aku sudah menerima lamarannya. "Kenapa Mas Rafi tidak pernah mengajak keluarga Nay sebelumnya?. Apakah Mas malu mengakui keberadaan mereka?" godaku."Bukan begitu, Nay. Mas hanya tidak percaya diri jika terlalu banyak orang di sini," jawabnya gugup. Bukankah dia seorang pengusaha dan pemimpin perusahaan yang seharusnya penuh rasa percaya diri dan pandai berbicara. Aku kurang puas dengan jawaban itu. Karena terus kudesak, akhirnya Mas Rafi mengakui bahwa dia bukan tipe orang yang percaya diri dan pandai bicara. Sebab, di dalam perusahaan pun Mas Rafi dulunya bukanlah pemimpin perusahaan, namun hanya seorang pengawas yang mengawasi secara diam-diam. Untuk urusan lobi-melobi dan humas perusahaan diserahkan kepada Mas Ilham yang notabenenya memiliki rasa perca
Aku sungguh terkejut melihat pemandangan yang baru saja aku saksikan. Berulang-ulang kali meyakinkan mata ini, dan jawabannya tetaplah sama. Dari sudut manapun terlihat, meski dari kejauhan, aku tak mungkin salah. Itu memanglah mereka. Sedang apa mereka disini. Berdua, seperti pasangan muda-mudi yang baru selesai berkencan dengan menonton film romantis di bioskop. Seribu tanda tanya berkecamuk dalam pikiran. Ingin rasanya ke sana dan menghampiri mereka, tepatnya Ratna. Ya. Itu Ratna dan Dokter Indra. Aneh bukan? Mereka yang notabenenya belum saling mengenal, bisa berjalan seakrab itu. Namun, terbersit juga di hati ini, apakah ini bagian dari skenario yang Ratna rencanakan tempo hari. Cepat kurangkul tangan Alta dan Mas Rafi, sembari membawa mereka pergi. Segera menjauh dari tempat ini. Aku khawatir mas Rafi salah paham dan kembali kesal begitu melihat wajah Dokter Indra lagi, kemudian mengacaukan segalanya. "Ada apa, Nay, kok tergesa-gesa?" tanya Ibu. Mungkin Ibu merasa aneh atas
"Ratna sudah tahu Bu! Kemarin Nay sudah cerita. Tapi belum Nay undang secara resmi. Besok saja Nay mampir ke rumahnya sehabis menjemput Alta di sekolah. Tidak enak kalau mengundangnya lewat hape.""Iya, Ibu cuma mengingatkan. Takutnya kamu kelupaan." Ibu sebenarnya belum tahu kalau aku melihat Ratna dan Dokter Indra di mall tempo hari. "Oh iya Buk, kok sudah beberapa hari ini Nay tidak melihat Dokter Indra, ya?" aku mencoba mengorek informasi dari Ibu. "Oh iya juga, ya. Kok Ibu juga jadi jarang melihatnya. Apa mungkin Dokter Indra sedang piknik atau keluar kota ya, Nay." Ternyata ibu juga baru sadar kalau Dokter Indra tidak pernah terlihat lagi beberapa hari kebelakang. "Tidak mungkin, Bu. Kan kliniknya buka terus kok seperti biasa. Mungkin dia nya saja yang jarang kemari.""Setiap hari Bapak melihatnya, kok. Dokter Indra masih sering lari pagi." Bapak yang mendengar percakapan kami mencoba menimpali."Cuma Dokter Indra agak aneh sekarang." sambung Bapak lagi. Aku yang semakin pe