"Jangan lupa, malam ini pertemuan dengan calon investor kita. Aku sudah reservasi di sebuah restoran mewah." Diego memberi tahu Pras lewat ponselnya. "Baik. Kamu dan Corri harus datang sebelum waktunya," tegas Pras sebelum menutup ponselnya. "Sera, nanti malam kita ada dinner dengan calon investor. Kalau Kamu mau ikut, kita pulang lebih awal agar Kamu bisa istirahat dulu. "Sudahlah, Pras. Nggak usah berlebihan, deh! Aku ini nggak apa-apa. Hari ini Aku dan Corri sedang banyak pekerjaan. Dan, nanti malam Aku pasti ikut." "Nggak bisa!' Yang ada dalam perut Kamu itu adalah anakku. Jadi, Kamu harus nurut sama Aku!" Pras meraih pinggang Sera dan memutar tubuh istrinya itu hingga akhirnya mereka saling berhadapan. "Aku ibunya. Aku yang hamil. Aku tau kalau Kami berdua kuat." Wajah cantik.Sera semakin mendekat pada wajah Pras. Konsentrasi Pras seketika buyar saat pandangannya jatuh pada bibir berwarna nude yang bergerak-gerak menggemaskan tak jauh dari wajahnya. Tatapan redupnya membua
"Corri ..., tunggu!" Diego mempercepat langkahnya menyusul Corri. Tinggal sepuluh langkah lagi mereka akan tiba di meja yang mana ada Pras dan Sera di sana. Corri bernapas lega karena tamu mereka belum datang. Corri menoleh saat jemari kokoh Diego menggamit tangan kanannya. "Jangan protes. Kamu nggak mau, kan kita ribut di depan mereka?" bisik Diego dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Corri. Corri tak menjawab, namun diam-diam ia berusaha untuk menarik tangannya dari genggaman pria di sebelahnya. Namun sia-sia, Pras dan Sera sudah menoleh ke arah mereka. "Nah, gitu, dong! Sekali-sekali akur di luar jam kerja, kan, bisa?" Sera tersenyum dengan tatapan menggoda pada pasangan yang baru saja tiba. "Akur apanya?" gerutu Corri sembari mendekat pada Sera. "Duduk sini!" Diego menarik sebuah kursi dan meminta Corri untuk duduk di sana. Corri terpaksa menurut demi mencegah perdebatan yang terjadi di depan Tirta Prasetya. Walau Pras adalah suami sahabatnya, tapi ia cukup segan pada p
"Cemburu sama Agung?" Pras tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Kalau bukan cemburu, lalu apa?" Sera semakin kesal. "Entahlah. Aku cuma nggak mau Kamu dan Giska dekat lagi dengan Agung." "Prass, Aku nggak mungkim dekat dengan Agung. Aku tau batasanku sebagai istri Kamu. Sedangkan Giska itu anak kandungnya. Kita berdosa jika menjauhkan mereka. Ingat, Pras, jika Giska menikah kelak, hanya ayah kandungnya yang berhak menikahkan dia." Mendengar kata-,kata Sera barusan. Wajah Pras seketika berubah murung. "Ya. Hal itu tidak pernah terpikirkan olehku selama ini." Suara Pras semakin pelan. Pria itu terduduk di ranjang. "Papaaa ... Bundaaa ..., Giska berangkat dulu ...!"Pras seketika bangkit dan keluar dari kamar untuk menghampiri.Giska. Hal yang sama juga dilakukan Sera. "Ayo, Papa antar ke teras!" Pras menggandeng Giska menuju teras, sementara Sera menyusulnya dari belakang. Agung sudah berdiri disamping mobil hendak membukakan pintu untuk Giska. Pria itu mengangguk sopan pada P
"Agung sudah mulai betingkah. Apa Aku pecat saja dia? Ponsel di tangan Pras baru saja memutuskan panggilan. "Kamu kenapa marah-marah Pras? Ada apa dengan Agung? Apa Giska baik-baik aja?" Sera yang baru saja masuk ke ruangannya langsung panik melihat wajah suaminya merah padam. "Loly tadi menghubungiku. Info dari grup sekolah Giska, hari ini sekolah sudah dibubarkan sejak pukul sebelas. Seharusnya Giska sudah pulang sejak tadi. Loly mencoba menghubungi Agung tapi tidak diangkat.". "Astaga! Lalu sekarang Giskanya dimana?" Sera semakin panik, hingga ia merasa sulit untuk bernapas. "Ternyata Agung membawa Giska ke rumahnya. Aku sempat bicara dengan Giska." "Ah, syukurlah! Ya sudah biarkan saja, Pras. Mungkin Giska kangen sama Cika. Anaknya Yuyun." Pras malah semakin geram melihat Sera berubah tenang. Bahkan istrinya itu nampak mulai fokus pada laptopnya "Seharusnya Agung itu izin dulu sama Kita kalau mau bawa Giska. Aku tidak terima kalau dia melewati batas." Sera menoleh. Waja
Sera mengetuk pintu. Baru satu kali diketuk, pintu langsung terbuka. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Silakan masuk, Sera. Pak Tirta!" Agung membuka pintu dengan lebar. "Bundaaa ...,Papa ...!"Giska yang tadi nampak sedang menggambar bersama Cika, langsung bangkit berdiri dan menghampiri Pras. "Sayang. Ayo kita pulang sekarang. Kasian Bunda belum makan." Pras mengusap lembut kepala Giska. "Duduklah dulu, Sera! Mbak masakin mau, ya?" Sera sempat tercengang mendengar ajakan Lastri. Karena dulu kakak iparnya itu sama sekali tidak pernah masak. "Tenang, Sera! Sekarang Mbakmu ini sudah bisa masak. Selama di penjara kami diajarin masak juga." Sera tersenyum," Tapi masaknya nggak pakai racun kan, Mbak?" sindirnya. Lastri spontan gelagapan mendengar sindiran Sera. Ia merasa malu, Karena dulu ia sudah dua memasukkan racun pada makanan dan minuman untuk Sera. Namun Tuhan masih menyelamatkan nyawa mantan adik iparnya itu. "Ya, Mbak. Kami mau makan di rumah saja. Ada Bik Sum d
"Ternyata anak Pak Hartawan itu wanita. Aku pikir laki-laki." Pandangan Sera masih tertuju pada wanita cantik dengan rambut sebahu yang berdiri di atas panggung. "Silakan Bu Elena untuk menerima simbol yang menandakan pangalihan perusahaan." Terdengar kembali suara MC. "Pras, namanya Elena." Sera masih bicara tanpa menoleh pada Pras yang ada di sebelahnya. " Para undangan yang berbahagia, saat ini PT Callista sedang bekerja sama dengan perusahaan Tirta group. Untuk itu, kami mohon perwakilan dari Tirta group untuk naik ke atas panggung!" "Hah? Apa?" Pras gelagapan mendengar nama perusahaannya disebut oleh MC. Sera terheran. Suaminya yang biasanya selalu percaya diri, entah kenapa malam ini terlihat pucat saat diminta naik ke atas panggung. "Pras, kamu dipanggil." " Kamu aja yang naik, Sera!" Sera bertambah heran dengan penolakan Pras. Karena penasaran, Sera terus memaksa Pras untuk naik. Apalagi MC berkali-kali memanggil namanya. Para undangan pun hampir semua menoleh kepad
"Sera, Kamu ngapain di sini?" . Sera nyaris terlonjak saat suara yang sangat ia kenal menyapanya dari belakang. Sera seketika memutar tubuhnya. "Prass, Kamu dari mana? Aku cariin dari tadi. Aku pikir Kamu ada di sini." Netra Sera masih mengawasi sekitar. Ia memang melihat Pras datang sendirian. Tapi firasatnya seakan tidak yakin. "Oh ya, tadi aku mau ajak kamu jalan-jalan pagi. Tapi sepertinya kamu masih mengantuk. Aku enggak tega bangunin. Jadi aku pergi sendiri saja." "Sendiri?" tanya Sera seperti tak percaya. "Eh, ya. Saat di jalan Aku ketemu Elena. Jadi, kami lanjut jalan sama-sama. Tapi nggak jauh, hanya sekitar sini aja." Pras mengarahkan telunjuknya pada jalan yang ada di sepanjang villa. "Sama Elena?" Tenggorokan Sera seakan tercekat ketika menyebut nama wanita yang sejak semalam telah membuatnya gelisah. Pras mengangguk singkat. "Oh, gitu. Oke. Sekarang mau kembali ke bungalow, nggak? Kamu dicariin Giska." Sera masih berusaha menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya
"Prass, itu di mata kamu ada apa? Sini liat, deh!" Sera sengaja mendekati Pras dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang pria itu. "Ada apa, Sayang?" Pras menunduk dan mendekatkan wajahnya. "Ini di mata kamu ada sesuatu." Sera pura-pura memeriksa mata suaminya. Ia mendongakkan wajahnya pada Pras. Melihat itu Pras justru jadi gemas dan malah menghujani wajah Sera dengan ciuman bertubi-tubi. Sera berteriak manja. Pras mengajak Giska dan Pengeran untuk ikut mencium Bunda mereka. Sera pun kewalahan, namun ia tertawa senang. Sesaat ia sempat melirik pada Elena yang ternyata masih memperhatikan dirinya. Sera tersenyum puas. Dalam hatinya ia berdoa agar Pras tidak berpaling pada wanita itu. Ia semakin ingin memeperlihatkan kemesraannya dengan Pras. Berharap wanita itu tau diri dan memahami posisinya. Candaan mereka berakhir dengan Pras memeluk Sera dan kedua anaknya di atas rerumputan. "Makasih, Pras. Kamu udah sayang sama anak-anakku." "Hey, aku nggak suka kamu bicara seperti it