"Agung sudah mulai betingkah. Apa Aku pecat saja dia? Ponsel di tangan Pras baru saja memutuskan panggilan. "Kamu kenapa marah-marah Pras? Ada apa dengan Agung? Apa Giska baik-baik aja?" Sera yang baru saja masuk ke ruangannya langsung panik melihat wajah suaminya merah padam. "Loly tadi menghubungiku. Info dari grup sekolah Giska, hari ini sekolah sudah dibubarkan sejak pukul sebelas. Seharusnya Giska sudah pulang sejak tadi. Loly mencoba menghubungi Agung tapi tidak diangkat.". "Astaga! Lalu sekarang Giskanya dimana?" Sera semakin panik, hingga ia merasa sulit untuk bernapas. "Ternyata Agung membawa Giska ke rumahnya. Aku sempat bicara dengan Giska." "Ah, syukurlah! Ya sudah biarkan saja, Pras. Mungkin Giska kangen sama Cika. Anaknya Yuyun." Pras malah semakin geram melihat Sera berubah tenang. Bahkan istrinya itu nampak mulai fokus pada laptopnya "Seharusnya Agung itu izin dulu sama Kita kalau mau bawa Giska. Aku tidak terima kalau dia melewati batas." Sera menoleh. Waja
Sera mengetuk pintu. Baru satu kali diketuk, pintu langsung terbuka. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Silakan masuk, Sera. Pak Tirta!" Agung membuka pintu dengan lebar. "Bundaaa ...,Papa ...!"Giska yang tadi nampak sedang menggambar bersama Cika, langsung bangkit berdiri dan menghampiri Pras. "Sayang. Ayo kita pulang sekarang. Kasian Bunda belum makan." Pras mengusap lembut kepala Giska. "Duduklah dulu, Sera! Mbak masakin mau, ya?" Sera sempat tercengang mendengar ajakan Lastri. Karena dulu kakak iparnya itu sama sekali tidak pernah masak. "Tenang, Sera! Sekarang Mbakmu ini sudah bisa masak. Selama di penjara kami diajarin masak juga." Sera tersenyum," Tapi masaknya nggak pakai racun kan, Mbak?" sindirnya. Lastri spontan gelagapan mendengar sindiran Sera. Ia merasa malu, Karena dulu ia sudah dua memasukkan racun pada makanan dan minuman untuk Sera. Namun Tuhan masih menyelamatkan nyawa mantan adik iparnya itu. "Ya, Mbak. Kami mau makan di rumah saja. Ada Bik Sum d
"Ternyata anak Pak Hartawan itu wanita. Aku pikir laki-laki." Pandangan Sera masih tertuju pada wanita cantik dengan rambut sebahu yang berdiri di atas panggung. "Silakan Bu Elena untuk menerima simbol yang menandakan pangalihan perusahaan." Terdengar kembali suara MC. "Pras, namanya Elena." Sera masih bicara tanpa menoleh pada Pras yang ada di sebelahnya. " Para undangan yang berbahagia, saat ini PT Callista sedang bekerja sama dengan perusahaan Tirta group. Untuk itu, kami mohon perwakilan dari Tirta group untuk naik ke atas panggung!" "Hah? Apa?" Pras gelagapan mendengar nama perusahaannya disebut oleh MC. Sera terheran. Suaminya yang biasanya selalu percaya diri, entah kenapa malam ini terlihat pucat saat diminta naik ke atas panggung. "Pras, kamu dipanggil." " Kamu aja yang naik, Sera!" Sera bertambah heran dengan penolakan Pras. Karena penasaran, Sera terus memaksa Pras untuk naik. Apalagi MC berkali-kali memanggil namanya. Para undangan pun hampir semua menoleh kepad
"Sera, Kamu ngapain di sini?" . Sera nyaris terlonjak saat suara yang sangat ia kenal menyapanya dari belakang. Sera seketika memutar tubuhnya. "Prass, Kamu dari mana? Aku cariin dari tadi. Aku pikir Kamu ada di sini." Netra Sera masih mengawasi sekitar. Ia memang melihat Pras datang sendirian. Tapi firasatnya seakan tidak yakin. "Oh ya, tadi aku mau ajak kamu jalan-jalan pagi. Tapi sepertinya kamu masih mengantuk. Aku enggak tega bangunin. Jadi aku pergi sendiri saja." "Sendiri?" tanya Sera seperti tak percaya. "Eh, ya. Saat di jalan Aku ketemu Elena. Jadi, kami lanjut jalan sama-sama. Tapi nggak jauh, hanya sekitar sini aja." Pras mengarahkan telunjuknya pada jalan yang ada di sepanjang villa. "Sama Elena?" Tenggorokan Sera seakan tercekat ketika menyebut nama wanita yang sejak semalam telah membuatnya gelisah. Pras mengangguk singkat. "Oh, gitu. Oke. Sekarang mau kembali ke bungalow, nggak? Kamu dicariin Giska." Sera masih berusaha menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya
"Prass, itu di mata kamu ada apa? Sini liat, deh!" Sera sengaja mendekati Pras dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang pria itu. "Ada apa, Sayang?" Pras menunduk dan mendekatkan wajahnya. "Ini di mata kamu ada sesuatu." Sera pura-pura memeriksa mata suaminya. Ia mendongakkan wajahnya pada Pras. Melihat itu Pras justru jadi gemas dan malah menghujani wajah Sera dengan ciuman bertubi-tubi. Sera berteriak manja. Pras mengajak Giska dan Pengeran untuk ikut mencium Bunda mereka. Sera pun kewalahan, namun ia tertawa senang. Sesaat ia sempat melirik pada Elena yang ternyata masih memperhatikan dirinya. Sera tersenyum puas. Dalam hatinya ia berdoa agar Pras tidak berpaling pada wanita itu. Ia semakin ingin memeperlihatkan kemesraannya dengan Pras. Berharap wanita itu tau diri dan memahami posisinya. Candaan mereka berakhir dengan Pras memeluk Sera dan kedua anaknya di atas rerumputan. "Makasih, Pras. Kamu udah sayang sama anak-anakku." "Hey, aku nggak suka kamu bicara seperti it
Sampai di rumah, Sera tidak menanyakan tentang ponsel yang dikunci pada Pras, ataupun pesan dari nomor tak dikenal. Ia masih ingin menyelidikinya sendiri, walau sebenarnya ia lebih suka jika Pras sendiri yang berterus terang padanya. Sera yang merasa lelah karena kondisi sedang hamil muda, setibanya di rumah langsung merebahkan diri. "Kenapa? Capek?" Pras mengusap punggung Sera yang berbaring miring membelakangi Pras. "Ngantuk. Capek juga." "Ya sudah. Tidur!" Pras ikut merebahkan tubuhnya di belakang Sera, dengan posisi miring menghadap istrinya. "Pras ..." "Kenapa, Sayang?" "Rencana Aku untuk merger dengan perusahaan Tirta Group, sepertinya akan aku batalkan.".. Pras tersentak, sampai tangannya yang sedang bergerak mengusap punggung Sera, terhenti. "Batal? Kenapa?" "Entahlah. Firasat aja. Kayaknya bakal nggak bagus kedepannya. Biarlah, PT Gunawan Corp berdiri seperti sebelumnya." "Kamu yakin?" Pras memberikan pijatan lembut di sepanjang kaki istrinya. "Ya. Sangat yakin. Ak
"Tanggung jawabmu sekarang bertambah berat, Elena. Ayah sudah tua dan sakit-sakitan. Kamu anak Ayah satu-satunya." Makan malam yang sunyi, hanya berdua dengan anak semata wayangnya itu selalu menciptakan rasa sedih di hati Hartawan. Berada dalam daftar salah satu orang kaya di deretan pengusaha sukses, tidaklah menjamin hidup pria berumur 60tahun itu bahagia. "Tenang, Ayah. Elena bisa handle semuamya. Mulai sekarang Ayah fokus saja dengan kesehatan Ayah!" ucap Elena dengan tegas. Ia sudah menduga kemana arah pembicaraan sang ayah. "Bukan itu yang Ayah harapkan. Ayah ingin kamu segera menikah. Katakan saja, siapa pria yang kamu inginkan? Ayah akan bantu membuatnya menikahimu. Ayah sudah lelah menjodohkanmu pada pria-pria pengusaha itu. Kamu selalu menolak." Hartawan menghela napas panjang. Ada raut kesedihan pada wajah tuanya yang nampak begitu lelah. Elena menampakkan senyumnya. Selalu seperti itu. Ia tidak pernah mengatakan betapa terpuruk dirinya. Betapa rasa percaya dirinya tela
"Jangan gila, Elena! Kamu tau aku sangat mencintai Serani. Kamu tau pengorbananku untuk mendapatkan Serani seperti apa?" Pras menoleh sesaat pada Elena, kemudian kembali fokus pada jalanan. Jantungnya berdetak cepat setiap Elena memintanya meninggalkan Serani. Emosinya seakan tersulut. Namun lagi-lagi ia harus meredamnya karena mengingat kesalahan yang telah ia lakukan pada wanita itu. "Oh ya? Kamu pikir aku kehilangan rahimku karena apa, hah? Karena perempuan itu!" Suara Elena mulai meninggi. Ia meremas blazer denim yang ia kenakan. Wajah cantik itu mulai merah padam. Setiap menyebut nama Serani selalu saja memancing emosinya. Pras menghempas napas kasar. Wajahnya mulai menegang. "Sudah berkali-kali aku katakan bahwa itu bukan salah Serani. Tapi itu kecelakaan. Jika memang harus ada yang disalahkan, adalah aku. Bukan Serani!" Pras tidak terima jika wanita yang ia cintai disalahkan. Saat kecelakaan itu terjadi, Serani justru tidak tau apa-apa. Elena mendengus kasar sambil membuan