"Kamu ... tau ... aku dari mana?" Pras justru gugup melihat sikap Sera yang biasa saja dan terkesan acuh. "Nggak usah tau aku tau dari mana. Ada yang mau kamu bicarakan? Kalau nggak ada, aku mau tidur. Capek!" Pras semakin cemas melihat perubahan sikap Serani. Ia menjadi tegang dan tak mampu bicara. Akhirnya Pras malah hanya menggeleng. Seketika wajah Sera nampak kesal dan kecewa "Ya sudah. Aku tidur!" Sera langsung merebahkan diri di ranjang dengan posisi membelakangi Pras. Beberapa detik kemudian Pras ikut berbaring. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Sera. Perlahan tangan kokohnya melingkar di perut Serani yang mulai membuncit. Jemarinya mengusap lembut perut itu. Pras menghirup dalam-dalam rambut Serani yang harum. "Maafkan aku, Sayang. Aku belum bisa cerita. Suatu saat aku pasti akan ceritakan semuanya padamu." Pras ingin sekali mengatakan itu langsung pada Serani. Namun sayangnya ia hanya sanggup bicara dalam hati. Hembusan napas terratur dari Sera mulai terdengar. Pras mera
Serani duduk di kursi belakang taksi dengan tatapan mengarah ke luar jendela. Air matanya terus mengalir. Sesekali ia meraih tisu dan menghapus bulir bening yang terus berjatuhan. Sera terus mengingat pembicaraannya dengan dokter Ira tadi di rumah sakit. "Bu Sera sendiri saja? Pak Tirta kemana?" tanya dokter Ira ketika Sera baru saja masuk ke ruang praktek. "Masih ada meeting, Dok." Sera yang sejak awal memang penasaran dengan perkenalan antara dokter Ira dan suaminya, akhirnya setelah selesai pemeriksaan, Sera memberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada dokter Ira. "Maaf, Dok. Sebelumnya dokter pernah kenal dimana dengan suami.saya?" Dokter Ira tersenyum "Kami kenal di Amerika. Saya pernah bekerja di salah satu rumah sakit di sana selama sepuluh tahun. Dulu, Pak Tirta rutin mengantar teman wanitanya untuk kontrol. Kebetulan saya yang menangani." Sera terhenyak. Teman wanita? Dokter kandungan?" "Periksa kehamilan juga, dok?" tanya Sera penasaran. "Maaf, untuk itu saya
Pras terhenyak mendengar berita dari Diego. Kepalanya mendadak pusing. Ia kembali berada di dua pilihan yang sulit ia abaikan. Ia tak mau lagi mengecewakan Sera dan Giska. Tapi, perusahaannya saat ini juga sangat butuh perhatian. Ia menatap Giska dengan sedih.. Lalu tatapannya beralih pada Serani. Istrinya itu sontak membuang pandangan. Sebelum kembali bicara dengan Diego, Pras menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan datang. Tapi sedikit terlambat. Tolong kamu tangani dulu." Pras akhirnya memutuskan untuk tetap datang. Mendengar hal itu Sera kembali merasakan sesak dan penuh di dada. Ia telah menduga hal ini akan terjadi lagi. "Giska ... Papa ... mohon maaf, mungkin nanti tidak bisa temani Giska sampai selesai. Papa ada meeting mendadak, Sayang!" Seketika wajah Giska berubah sedih. "Kenapa nggak sampai selesai? Padahal di akhir acara nanti ada sesi memberi bunga untuk Ayah dan Ibu, loh, Pa." Suara Giska terdengar memelas penuh harap. Sungguh Pras tidak tega melihat wajah
Agung terkesiap mendengar Giska memanggilnya dengan sebutan Ayah. Ia tak mampu berkata-kata saking senangnya. "Ini, buat Ayah aja!" Giska menyerahkan buket bunga di tangannya pada Agung. "Makasih, Giska. Ayah sa-" "Bundaaa, ayo cepat kita pulang!" Agung menelan salivanya karena lagi-lagi gagal mengungkapkan rasa sayangnya pada Giska. Apalagi gadis itu masih acuh padanya. Agung membukakan pintu bagian depan untuk Sera. "Aku di belakang saja sama Giska," sanggah Sera sembari membuka sendiri pintu bagian belakang mobil. Kemudian duduk berdampingan dengan Giska. Hati Agung mencelos. Ia mengangguk samar sambil menutup kembali pintu mobil. "Bundaaaa, papa kemana, sih? Kok tadi nggak jadi masuk ke aula?" Giska kembali merengek. Sepertinya ia ingin menumpahkan kesedihannya yang sejak tadi ia tahan. "Bukankah tadi papa sudah bilang kalau ada meeting mendadak? Sekarang kita pulang. Kita tunggu papa di rumah!" Giska mengangguk lemah. Gadis kecil itu merebahkan kepalanya di pangkuan bun
"Sial, hari sabtu begini kenapa masih saja macet?" Pras mengumpat dan sesekali mencengkeram setir mobilnya. Ia tak sabar ingin secepatnya kembali ke rumah. Ketika menemukan ponselnya yang tertinggal di mobil, Pras segera menghubungi Sera. Namun panggilannya tidak diangkat oleh istrinya itu. Ia mencoba mengirim pesan. Tapi juga tak mendapat balasan apapun. Pras mencoba melewati sekolah Giska dan berhenti untuk bertanya pada salah satu security. "Permisi, Pak! Acara pentas seni anak-anak apa masih berlangsung?" "Oh, sudah selesai sejak satu jam yang lalu, Pak. para tamu sudah pulang semua." Seorang security yang berada di pos keamanan menjawab. Mendengar jawaban security, Pras bergegas kembali masuk ke mobil dan melajukannya menuju rumah. Sepanjang jalan ia terus dilanda kegelisahan, hingga Pras menambah kecepatan mobilnya.Tidak sampai lima belas menit, ia pun tiba di rumah. Pras langsung turun dari mobil dan bergegas masuk hendak menghampiri Sera dan Giska. "Loly, dimana Serani?"
"Kamu ... enggak marah?"Pras lebih mendekat dan membelai wajah Sera dengan lembut. Sera seaaat terbuai oleh sentuhan jemari Pras. Ia pun menatap netra tegas terkesan melindungi itu dengan lekat. Sejenak ia lupa bahwa mereka akan bicara serius. "Bagaimana aku bisa marah pada pria yang tulus menyayangi anak-anakku. Pria yang selalu ada untukku." Sera membalas tatapan Pras dengan lekat. Pras merasakan ketenangan di sana. "Makasih, Sayang!" Pras memeluk erat tubuh Sera yang mulai berisi itu. Mereka berpelukan beberapa saat. Seakan sedang melepas rindu karena kerenggangan mereka beberapa hari ini. Ketegangan yang terjadi belakangan ini sangat menguras emosi keduanya. Namun rasa rindu di antara mereka tak dapat dipungkiri. Saat ini rasa rindu itu seakan tumpah ruah. Hingga mereka sejenak bisa melupakakan apa yang menjadi pertengkaran mereka belakangan ini. Perlahan Sera merenggangkan pelukan. Ia merasa sedikit lebih tenang walaupun Pras sama sekali belum bicara. Masih ia rasakan peluk
"Bundaaa ... Bundaaa ...!" Pras spontan berdiri ketika mendengar teriakan Giska dari luar. Ruang makan yang menyatu dengan ruang tamu, memudahkan Pras dan Sera melihat kedatangan Giska dari jendela kaca yang berukuran besar. Dari pintu gerbang tampak Agung menuntun Cika, sedangkan Giska melompat-lompat menuju teras. "Bundaa, ada adik Cika." Kembali terdengar suara Giska dari luar. "Kamu lanjutkan makan saja, biar aku yang keluar." Sera bergegas keluar tanpa menunggu respon dari Pras. Melihat ada Agung di teras, Pras bergegas menyusul Sera. Sesampainya di teras, Pras langsung menatap gadis kecil yang sejak tadi terus ia pikirkan karena rasa bersalahnya. "Giska ... maafin Papa, Sayang!" Pras menghampiri gadis cantik yang mulai beranjak remaja itu. Akan tetapi, Giska justru mematung melihat kehadiran papa sambungnya di rumah itu. Sorot matanya mencerminkan kekecewaan yang mendalam. Dada Pras bergemuruh. Ia pun merasakan nyeri melihat cara Giska menatapnya."Giska ..." Pras mula
"Pulang malam lagi. Kemana saja kamu seharian ini, Elena?" Elena yang baru saja turun dari Lexus hitamnya terkejut. Ternyata sang ayah sudah berdiri di depan pintu utama rumah mewahnya. "Ayah ...? Kenapa belum tidur?" Elena berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia lelah jika harus berdebat lagi dengan Hartawan. Seharian ini Elena menghabiskan waktunya untuk mengikuti Pras dan keluarganya, hingga berakhir di sebuah club malam yang beberapa kali ia kunjungi belakangan ini. "Mana bisa ayah tidur jika anak gadisnya masih di luar? Seharusnya ada pria yang mendampingimu jika keluar hingga malam begini." Elena mulai gelisah jika Hartawan mulai membicarakan tentang pasangannya. Hingga hari ini ia belum berhasil memenuhi permintaan ayahnya untuk memperkenalkan calon suamlnya. "Ayah, sudah malam. Ayo aku antar ke kamar!" Elena menggandeng Hartawan menuju kamarnya. Ia tak mau sampai Hartawan membahas masalah calon suaminya. Ia sudah terlalu lelah. "Tunggu dulu! Ayah mau bicarakan tentang kerja