Pov Agung"Keluarga Ibu Sera." Seorang suster keluar dari ruang tindakan Unit Gawat Darurat. "Saya suaminya, Dok," sahutku penuh keyakinan. "Silahkan masuk, Pak. Dokter mau bicara. " "Baik suster." Aku memasuki ruang dokter yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" "Sementara tidak ada yang serius, Pak. Kita tunggu pasien sadar. Karena Ada benturan yang keras di kepalanya. "Apa boleh saya melihat pasien, Dok? "Silahkan, Pak." Aku beruntung sedang berada di rumah kontrakan saat ada polisi datang mengabarkan berita kecelakaan ini. Bik Sum terpaksa meminta tolong padaku untuk melihat keadaan Sera ke rumah sakit. Aku memang sengaja tidak ke kantor hari ini. Kesempatan ini tidak akan aku sia-sia kan. Sera kecelakaan. Tapi sayangnya dokter bilang tidak ada luka yang serius. Sebaiknya aku lihat dulu keadaannya. Mungkin aku bisa memanfaatkan keadaan ini untuk dapat merebut semua harta milik mantan istriku itu. Sera terbaring lemah dengan ke
Pov Agung Ternyata membuat perubahan nama kepemilikan perusahaan dan rumah, tidak semudah yang aku bayangkan. Aku harus menemukan surat- surat penting, seperti sertifikat rumah dan lainnya. Biarlah untuk sementara aku mengurusnya, aku akan menggunakan surat pernyataan pemindahan kekuasaan sementara dengan tanda tangan Sera. "Sayang. Kamu sudah bangun?" Aku menghampiri Sera yang baru saja terjaga. Mantan istriku ini sangat pendiam sekarang. Semoga kamu amnesia selamanya, Dek. Hahahaha ... Aku tertawa dalam hati. Sudah tak sabar rasanya ingin menjadi orang kaya. "Maaf Pak, ibu Sera tidak bisa di besuk. Mohon pengertiannya." Aku mendengar suara keributan di depan kamar Sera. "Saya harus menemuinya, Suster. Ada sesuatu yang penting harus saya sampaikan." Sepertinya ada yang datang ingin membesuk Sera. Siapa ya? Aku seperti mengenal suaranya. "Sera ...!" Laki-laki yang memaksa masuk itu ternyata si Arief. Kurang ajar! Dia berhasil masuk ke ruangan ini. Arief terheran melihat Se
Beruntung aku selamat dari kecelakaan itu. Sayangnya truk yang menabrakku melarikan diri. Semoga Polisi bisa menemukannya dan membongkar kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Aku ingat betul wajah pengemudi truk itu. Terlihat sekali ia sengaja ingin menabrak mobilku. Beruntung Pak Yono bisa meghindar dengan cepat. Atas Kuasa Allah SWT aku bisa selamat dari kecelakaan itu. Saat aku tersadar, hanya ada Mas Agung yang aku lihat. Aku sangat yakin dia juga sangat ingin menghancurkanku. Saat ini aku memang lemah dan mudah ia kuasai. Sebaiknya aku pura-pura lupa ingatan. Aku belum bisa mempercayai siapapun kecuali Dido. Entah siapa lagi yang bisa aku percaya. Corri sedang berada di medan saat ini. Beruntung Aku bisa menghubunginya secara diam-diam dengan ponselku yang di berikan oleh seorang suster. Bersyukur suster yang menemukan ponselku tidak memberikannya pada Mas Agung. Jadi diam-diam aku bisa atur rencana untuk menjebak orang-orang yang hendak menghancurkanku, terutama mantan suami
[Sera, orang yang nabrak lo sudah tertangkap. Sekarang sedang di periksa di kantor polisi] Sebuah pesan dari Dido baru saja masuk. Syukurlah orang itu tertangkap. Terimakasih Ya Allah. Tapi aku penasaran, kira-kira siapa yamg menyuruhnya? Semoga saja secepatnya terkuak. Aku sudah muak dengan sandiwara ini [Sera, si Agung datang ke kantor. Gayanya seperti bos besar. Sombong banget mantanlo itu. Tapi sewaktu meeting dengan direksi dan para pemegang saham, dia nggak ngerti apa-apa. Ditanya-tanya malah bingung. Akhirnya di bully rame-rame. Hahaha .... Dia sekarang pindah ke ruanganlo. Tapi tenang, cctv di ruangan itu sudah gue hubungkan ke ponsel gue] Aku tertawa sambil memegang perut membaca beberapa pesan dari Dido. Tidak terbayangkan olehku wajah pucat Mas Agung ketika ditanya-tanya saat meeting dengan para pemegang saham. Mas Agung hanya lulusan sekolah menengah atas. Selama kerja di kantorku dia hanya bertanggung jawab atas pengadaan barang keperluan kantor dan karyawan. Jadi ma
Siapa yang datang menyelamatkanku? Aku segera membuka mataku. Terlihat sosok laki-laki yang sedang nyalang menatap Mas Agung. Rahang kokohnya mengeras dengan kedua tangannya mengepal. Tiga orang laki-laki berbadan besar berpakaian preman berdiri di belakangnya. Membuat nyali mantan suamiku itu ciut seketika. "Rani, Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir. Rasanya aku ingin melompat dan memeluk laki-laki itu. Laki-laki yang kurindukan setiap malam. Namun aku tersadar masih dalam sandiwara menjadi seorang yang lupa ingatan. Akupun belum bisa mempercayai Arief, sampai semua bukti-bukti terkuak. Aku menggeleng tanpa kata seolah-olah bingung dengan apa yang terjadi. "Rani, kamu nggak ingat sama aku ? "Maaf ..." Aku menggeleng. Arief menatapku penuh harap. Ya Allah, kenapa aku jadi sedih begini. "Kamu jangan ganggu istriku!" ketus Mas Agung seraya melotot pada Arief. Arief yang tersulut emosinya, menghampiri Mas Agung, lalu menarik kasar kerah baju mantan suamiku itu.
Dua buronan yang tertangkap itu di bawa ke halaman oleh polisi. Satu persatu kedua tangan mereka di borgol. "Maaf, Pak polisi. Apa kesalahan mereka?" "Bapak Bowo ini menggelapkan uang perusahaan, Bu. Dan Bu Yuyun ini dicurigai ikut terlibat," jelas salah satu polisi. Bukankah Bowo bekerja di perusahaan Pras? Aku harus cari tau sendiri nanti masalah ini. Wajah Mas Agung semakin memucat. Tubuhnya bergetar. Tunggu saja, Mas. Sebentar lagi kamu akan menyusul Lastri ke penjara. "Yuyun ...Yuyun ...! Jangan bawa anak saya Pak Polisi. Hu hu hu ... Kasian dia lagi hamil, Pak. Tolong, Pak." Tiba-tiba Bu Senia berlari-lari memasuki halaman dan menghampiri para polisii yang menangkap Yuyun. "Agung! Kenapa kamu diam saja? Yuyun itu sedang hamil anakmu!' teriak Bu Sania Lantang.Sontak semua warga terkejut. Spontan mereka semua saling berbisik dan memandang jijik pada Yuyun. "Bu-bukan, Bu Sania. Yang dikandung Yuyun bukan anak saya. Tapi anak dari laki-laki itu," sahut Mas Agung sambil men
"Kantor polisi? Kenapa kita ke sini, Pras?" "Tenanglah nona cantik. Kamu akan tau alasannya setelah tiba di dalam nanti." Kami bertiga keluar dari mobil. Seorang anggota polisi menyambut kami di depan pintu masuk. "Selamat datang Pak Tirta," sambut polisi itu seraya menyalami Pras. Saat kami melangkah masuk, hampir semua orang di sana mengangguk hormat pada Pras. Siapa sebenarnya laki-laki ini? Apa karena dia salah satu konglomerat di kota ini, hingga di kenal dari berbagai kalangan? Atau karena dia mantan artis? Ah, entahlah. "Silahkan masuk Pak Tirta dan Bu Sera, silahkan duduk." Seorang polisi yang tampak lebih berwibawa mempersilahkan kami duduk di suatu ruangan yang lebih privat. Mungkin beliau ini adalah komandannya. 'Bawa mereka ke mari!" perintah laki-laki itu. "Siap komandan." Tak lama kemudian, masuklah dua orang tahanan yang masing-masing di bawa oleh dua orang anggota polisi. Dua orang tahanan yang ternyata adalah Bowo dan Yuyun itu berjalan tertunduk menuju kurs
Lega rasanya saat sampai di rumah menemukan Bik Sum dan Giska baik-baik saja. Menurut Pras, di sekitar rumahku ada beberapa orang suruhannya yang memantau. Dan ternyata di antara mereka adalah polisi. Aku merasa lebih tenang sekarang. Hei, ngapain Mas Agung masih berada di rumahku? Pasti dia pikir aku masih lupa ingatan. "Mas, sebaiknya segera kau tinggalkan rumah ini!" Mas Agung yang sedang serius dengan ponselnya tersentak saat melihat kedatanganku. "Maksudmu apa, Dek? Ini rumahku. Kau tidak bisa mengusirku!" tegasnya. "Oh ya? Mana buktinya kalau ini rumahmu, Mas? Mana sertifikatnya? Sini aku mau lihat!" ketusku seraya melipat kedua tangan di dada. Mas Agung gelagapan. "Aku sudah pernah bilang, kalau sertifikatnya masih aku cari. Sudahlah kamu jangan macam-macam ...! hardiknya. "Kalau aku bisa menemukan sertifikat itu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku dengan sedikit seringai. Mantan suamiku itu makin gelagapan dan cemas. "Jangan coba-coba menipuku, Sera! I