[Sera, orang yang nabrak lo sudah tertangkap. Sekarang sedang di periksa di kantor polisi] Sebuah pesan dari Dido baru saja masuk. Syukurlah orang itu tertangkap. Terimakasih Ya Allah. Tapi aku penasaran, kira-kira siapa yamg menyuruhnya? Semoga saja secepatnya terkuak. Aku sudah muak dengan sandiwara ini [Sera, si Agung datang ke kantor. Gayanya seperti bos besar. Sombong banget mantanlo itu. Tapi sewaktu meeting dengan direksi dan para pemegang saham, dia nggak ngerti apa-apa. Ditanya-tanya malah bingung. Akhirnya di bully rame-rame. Hahaha .... Dia sekarang pindah ke ruanganlo. Tapi tenang, cctv di ruangan itu sudah gue hubungkan ke ponsel gue] Aku tertawa sambil memegang perut membaca beberapa pesan dari Dido. Tidak terbayangkan olehku wajah pucat Mas Agung ketika ditanya-tanya saat meeting dengan para pemegang saham. Mas Agung hanya lulusan sekolah menengah atas. Selama kerja di kantorku dia hanya bertanggung jawab atas pengadaan barang keperluan kantor dan karyawan. Jadi ma
Siapa yang datang menyelamatkanku? Aku segera membuka mataku. Terlihat sosok laki-laki yang sedang nyalang menatap Mas Agung. Rahang kokohnya mengeras dengan kedua tangannya mengepal. Tiga orang laki-laki berbadan besar berpakaian preman berdiri di belakangnya. Membuat nyali mantan suamiku itu ciut seketika. "Rani, Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir. Rasanya aku ingin melompat dan memeluk laki-laki itu. Laki-laki yang kurindukan setiap malam. Namun aku tersadar masih dalam sandiwara menjadi seorang yang lupa ingatan. Akupun belum bisa mempercayai Arief, sampai semua bukti-bukti terkuak. Aku menggeleng tanpa kata seolah-olah bingung dengan apa yang terjadi. "Rani, kamu nggak ingat sama aku ? "Maaf ..." Aku menggeleng. Arief menatapku penuh harap. Ya Allah, kenapa aku jadi sedih begini. "Kamu jangan ganggu istriku!" ketus Mas Agung seraya melotot pada Arief. Arief yang tersulut emosinya, menghampiri Mas Agung, lalu menarik kasar kerah baju mantan suamiku itu.
Dua buronan yang tertangkap itu di bawa ke halaman oleh polisi. Satu persatu kedua tangan mereka di borgol. "Maaf, Pak polisi. Apa kesalahan mereka?" "Bapak Bowo ini menggelapkan uang perusahaan, Bu. Dan Bu Yuyun ini dicurigai ikut terlibat," jelas salah satu polisi. Bukankah Bowo bekerja di perusahaan Pras? Aku harus cari tau sendiri nanti masalah ini. Wajah Mas Agung semakin memucat. Tubuhnya bergetar. Tunggu saja, Mas. Sebentar lagi kamu akan menyusul Lastri ke penjara. "Yuyun ...Yuyun ...! Jangan bawa anak saya Pak Polisi. Hu hu hu ... Kasian dia lagi hamil, Pak. Tolong, Pak." Tiba-tiba Bu Senia berlari-lari memasuki halaman dan menghampiri para polisii yang menangkap Yuyun. "Agung! Kenapa kamu diam saja? Yuyun itu sedang hamil anakmu!' teriak Bu Sania Lantang.Sontak semua warga terkejut. Spontan mereka semua saling berbisik dan memandang jijik pada Yuyun. "Bu-bukan, Bu Sania. Yang dikandung Yuyun bukan anak saya. Tapi anak dari laki-laki itu," sahut Mas Agung sambil men
"Kantor polisi? Kenapa kita ke sini, Pras?" "Tenanglah nona cantik. Kamu akan tau alasannya setelah tiba di dalam nanti." Kami bertiga keluar dari mobil. Seorang anggota polisi menyambut kami di depan pintu masuk. "Selamat datang Pak Tirta," sambut polisi itu seraya menyalami Pras. Saat kami melangkah masuk, hampir semua orang di sana mengangguk hormat pada Pras. Siapa sebenarnya laki-laki ini? Apa karena dia salah satu konglomerat di kota ini, hingga di kenal dari berbagai kalangan? Atau karena dia mantan artis? Ah, entahlah. "Silahkan masuk Pak Tirta dan Bu Sera, silahkan duduk." Seorang polisi yang tampak lebih berwibawa mempersilahkan kami duduk di suatu ruangan yang lebih privat. Mungkin beliau ini adalah komandannya. 'Bawa mereka ke mari!" perintah laki-laki itu. "Siap komandan." Tak lama kemudian, masuklah dua orang tahanan yang masing-masing di bawa oleh dua orang anggota polisi. Dua orang tahanan yang ternyata adalah Bowo dan Yuyun itu berjalan tertunduk menuju kurs
Lega rasanya saat sampai di rumah menemukan Bik Sum dan Giska baik-baik saja. Menurut Pras, di sekitar rumahku ada beberapa orang suruhannya yang memantau. Dan ternyata di antara mereka adalah polisi. Aku merasa lebih tenang sekarang. Hei, ngapain Mas Agung masih berada di rumahku? Pasti dia pikir aku masih lupa ingatan. "Mas, sebaiknya segera kau tinggalkan rumah ini!" Mas Agung yang sedang serius dengan ponselnya tersentak saat melihat kedatanganku. "Maksudmu apa, Dek? Ini rumahku. Kau tidak bisa mengusirku!" tegasnya. "Oh ya? Mana buktinya kalau ini rumahmu, Mas? Mana sertifikatnya? Sini aku mau lihat!" ketusku seraya melipat kedua tangan di dada. Mas Agung gelagapan. "Aku sudah pernah bilang, kalau sertifikatnya masih aku cari. Sudahlah kamu jangan macam-macam ...! hardiknya. "Kalau aku bisa menemukan sertifikat itu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku dengan sedikit seringai. Mantan suamiku itu makin gelagapan dan cemas. "Jangan coba-coba menipuku, Sera! I
Hari ini aku harus ke kantor. Bagaimanapun juga aku harus secepatnya membenahi keadaan kantor yang tidak menentu sejak aku kecelakaan. Mas Agung dan Dido, dua orang itu ingin merebut kekuasaan pada perusahaan. Hingga keadaan perusahaan jadi kacau dan mengalami penurunan. Entah bagaimana caranya, banyak uang perusahaan yang berpindah ke rekening sahabatku itu. Manager keuanganpun telah berhasil ditipu olehnya. Dido belum di temukan. Entah kemana perginya sahabatku itu. Polisi terus mencari keberadaannya. "Selamat pagi, Bu Sera." "Selamat datang kembali Bu Serani" "Alhamdulilah Bu Sera sudah sehat kembali." Para karyawan terkejut melihat kedatanganku. Satu persatu dari mereka menyapaku dengan ramah. Hari ini aku mengumpulkan semua manager untuk meeting. Kerja keras harus segera dimulai dari sekarang, jika tidak ingin perusahaan ini bangkrut. Perusahaan ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku yang harus aku jaga dan aku kembangkan. Karena itu adalah amanat yang aku terim
Samar-samar aku mendengar suara orang-orang berbicara dari kejauhan. Perlahan aku membuka mata. Nampak dinding berwarna putih di sekelilingku. Ternyata aku masih hidup. Terima kasih Ya Allah. Aroma khas obat-obatan rumah sakit tercium olehku. Selang infus pun sudah terpasang di tanganku. Sepertinya aku pingsan cukup lama. Mengingat-ingat kejadian tadi, kira-kira siapakah yang tertembak? Siapakah yang menolongku? Tak henti-hentinya aku berucap syukur dalam hati. Giska, bunda selamat, sayang. Ah, aku sangat merindukan gadis kecilku itu. Ingin rasanya memeluknya saat ini. "Sera, Kamu udah sadar ?" Aku menoleh ke arah pintu. Seseorang masuk dengan wajah tampan dan tersenyum padaku. "Prass ..." lirihku. Lagi-lagi laki-laki ini yang menolongku. "Bagaimana? Masih pusing?" tanyanya seraya mengelus kepalaku. Perlakuannya selalu semanis ini padaku. "Sudah mendingan. Makasih ya. Kamu selalu menolongku, Pras." sahutku. "Siapa bilang? Aku baru saja pulang dari singapore sore tadi. Kemud
Tirta prasetya Belum pernah seorang wanitapun yang mengabaikanku selama ini. Justru para wanita cantik berlomba-lomba mencari perhatianku. Ketika namaku sedang naik daun di kalangan para artis, tak sedikit para wanita mengejarku. Bahkan mendatangiku ke rumah dan ke kantor. Luar biasa wanita jaman sekarang. Mereka tak segan-segan apalagai malu untuk menyatakan perasaannya padaku. Secara terang-terangan mereka mengungkapkan rasa sukanya padaku. Namun dari semua wanita itu, tak satupun yang menarik perhatianku. Padahal mereka juga dari kalangan artis, model dan keluarga pejabat. Bahkan paras dan penampilan mereka tidak diragukan lagi. Hanya satu wanita yang bisa menggetarkan hati ini. Wanita yang terhormat bukan karena harta yang dimilikinya. Tapi justru caranya menjaga sikap dan menjaga kehormatan dirinya. Wanita yang justru membuat penasaran setiap pria. Hanya wanita ini satu-satunya yang selalu berusaha menjaga jarak denganku. Serani Gunawan, Anak dari om Gunawan sahabat papa. G