"Kantor polisi? Kenapa kita ke sini, Pras?" "Tenanglah nona cantik. Kamu akan tau alasannya setelah tiba di dalam nanti." Kami bertiga keluar dari mobil. Seorang anggota polisi menyambut kami di depan pintu masuk. "Selamat datang Pak Tirta," sambut polisi itu seraya menyalami Pras. Saat kami melangkah masuk, hampir semua orang di sana mengangguk hormat pada Pras. Siapa sebenarnya laki-laki ini? Apa karena dia salah satu konglomerat di kota ini, hingga di kenal dari berbagai kalangan? Atau karena dia mantan artis? Ah, entahlah. "Silahkan masuk Pak Tirta dan Bu Sera, silahkan duduk." Seorang polisi yang tampak lebih berwibawa mempersilahkan kami duduk di suatu ruangan yang lebih privat. Mungkin beliau ini adalah komandannya. 'Bawa mereka ke mari!" perintah laki-laki itu. "Siap komandan." Tak lama kemudian, masuklah dua orang tahanan yang masing-masing di bawa oleh dua orang anggota polisi. Dua orang tahanan yang ternyata adalah Bowo dan Yuyun itu berjalan tertunduk menuju kurs
Lega rasanya saat sampai di rumah menemukan Bik Sum dan Giska baik-baik saja. Menurut Pras, di sekitar rumahku ada beberapa orang suruhannya yang memantau. Dan ternyata di antara mereka adalah polisi. Aku merasa lebih tenang sekarang. Hei, ngapain Mas Agung masih berada di rumahku? Pasti dia pikir aku masih lupa ingatan. "Mas, sebaiknya segera kau tinggalkan rumah ini!" Mas Agung yang sedang serius dengan ponselnya tersentak saat melihat kedatanganku. "Maksudmu apa, Dek? Ini rumahku. Kau tidak bisa mengusirku!" tegasnya. "Oh ya? Mana buktinya kalau ini rumahmu, Mas? Mana sertifikatnya? Sini aku mau lihat!" ketusku seraya melipat kedua tangan di dada. Mas Agung gelagapan. "Aku sudah pernah bilang, kalau sertifikatnya masih aku cari. Sudahlah kamu jangan macam-macam ...! hardiknya. "Kalau aku bisa menemukan sertifikat itu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku dengan sedikit seringai. Mantan suamiku itu makin gelagapan dan cemas. "Jangan coba-coba menipuku, Sera! I
Hari ini aku harus ke kantor. Bagaimanapun juga aku harus secepatnya membenahi keadaan kantor yang tidak menentu sejak aku kecelakaan. Mas Agung dan Dido, dua orang itu ingin merebut kekuasaan pada perusahaan. Hingga keadaan perusahaan jadi kacau dan mengalami penurunan. Entah bagaimana caranya, banyak uang perusahaan yang berpindah ke rekening sahabatku itu. Manager keuanganpun telah berhasil ditipu olehnya. Dido belum di temukan. Entah kemana perginya sahabatku itu. Polisi terus mencari keberadaannya. "Selamat pagi, Bu Sera." "Selamat datang kembali Bu Serani" "Alhamdulilah Bu Sera sudah sehat kembali." Para karyawan terkejut melihat kedatanganku. Satu persatu dari mereka menyapaku dengan ramah. Hari ini aku mengumpulkan semua manager untuk meeting. Kerja keras harus segera dimulai dari sekarang, jika tidak ingin perusahaan ini bangkrut. Perusahaan ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku yang harus aku jaga dan aku kembangkan. Karena itu adalah amanat yang aku terim
Samar-samar aku mendengar suara orang-orang berbicara dari kejauhan. Perlahan aku membuka mata. Nampak dinding berwarna putih di sekelilingku. Ternyata aku masih hidup. Terima kasih Ya Allah. Aroma khas obat-obatan rumah sakit tercium olehku. Selang infus pun sudah terpasang di tanganku. Sepertinya aku pingsan cukup lama. Mengingat-ingat kejadian tadi, kira-kira siapakah yang tertembak? Siapakah yang menolongku? Tak henti-hentinya aku berucap syukur dalam hati. Giska, bunda selamat, sayang. Ah, aku sangat merindukan gadis kecilku itu. Ingin rasanya memeluknya saat ini. "Sera, Kamu udah sadar ?" Aku menoleh ke arah pintu. Seseorang masuk dengan wajah tampan dan tersenyum padaku. "Prass ..." lirihku. Lagi-lagi laki-laki ini yang menolongku. "Bagaimana? Masih pusing?" tanyanya seraya mengelus kepalaku. Perlakuannya selalu semanis ini padaku. "Sudah mendingan. Makasih ya. Kamu selalu menolongku, Pras." sahutku. "Siapa bilang? Aku baru saja pulang dari singapore sore tadi. Kemud
Tirta prasetya Belum pernah seorang wanitapun yang mengabaikanku selama ini. Justru para wanita cantik berlomba-lomba mencari perhatianku. Ketika namaku sedang naik daun di kalangan para artis, tak sedikit para wanita mengejarku. Bahkan mendatangiku ke rumah dan ke kantor. Luar biasa wanita jaman sekarang. Mereka tak segan-segan apalagai malu untuk menyatakan perasaannya padaku. Secara terang-terangan mereka mengungkapkan rasa sukanya padaku. Namun dari semua wanita itu, tak satupun yang menarik perhatianku. Padahal mereka juga dari kalangan artis, model dan keluarga pejabat. Bahkan paras dan penampilan mereka tidak diragukan lagi. Hanya satu wanita yang bisa menggetarkan hati ini. Wanita yang terhormat bukan karena harta yang dimilikinya. Tapi justru caranya menjaga sikap dan menjaga kehormatan dirinya. Wanita yang justru membuat penasaran setiap pria. Hanya wanita ini satu-satunya yang selalu berusaha menjaga jarak denganku. Serani Gunawan, Anak dari om Gunawan sahabat papa. G
Seperti saran Arief, pagi ini aku tidak ke kantor dulu. Menurut dokter aku harus istirahat beberapa waktu untuk pemulihan. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk berdua saja dengan Giska. Rindu sekali melihat kelincahan anak gadisku itu. Seikat bunga cantik di atas meja menarik perhatianku sejak tadi. "Bik Sum, bunga dari mana ini?" tanyaku seraya menghampiri meja. Bunga yang ternyata bunga Azalea itu nampak sangat cantik dengan variasi warna magenta, pink muda dan putih. Setahu aku, bunga azalea ini biasa di berikan seorang pria yang akan melamar wanitanya. "Oh, itu saya temukan di dekat teras, Bu. Sepertinya terjatuh oleh orang yang mencari Bu Sera siang kemarin," sahut Bik Sum. "Orang yang mencari saya? Siang kemarin? Siapa Bik?" tanyaku heran. Sementara Giska mengajakku untuk duduk di sofa menemaninya menonton film kesayangannya. Anakku ini sangat manja. Mungkin ia juga merindukanku. "Kemarin siang seorang laki-laki bule datang mencari Bu Sera. Ketika saya bilang ibu ke kan
Arief Bahagia yang tak terkira kurasakan hari ini. Setelah mengucapkan ijab kabul tadi pagi, Serani Gunawan telah sah menjadi istriku. Akhirnya perjuangan cintaku berbuah manis. Rani cinta pertamaku yang mengharuskanku jatuh bangun untuk meraihnya. "Apa sih liatin aku terus? Malu tau di liatin tamu-tamu," bisiknya. "Kamu cantik banget, aku nggak rela kamu banyak yang ngeliatin dari tadi," sahutku berbisik seraya mendekatkan wajahku. "Namanya juga pengantin. Ya pasti pada ngeliatin. Aneh deh kamu," sahutnya seraya tersenyum menahan tawa. Betapa indahnya ciptaanmu Ya Allah. "Rani, kamu tau nggak bedanya Jerman sama kamu?" "Aapaaa?" "Jerman pinter bikin mobil, kalau kamu pinter banget bikin aku kangen." Rani membekap mulutnya menahan tawa. "Rani..., nanti aku hanya ingin hidup cukup denganmu. Cukup liatin senyummu tiap hari..." "ARIEF... hahaha ..!!" Kali ini kami berdua tertawa lepas, tanpa peduli tamu-tamu semua memandang pada kami. Ya Allah, semoga aku bisa terus membuatny
Setahun kemudian Tirta Prasetya Setelah setahun tinggal di New York, semalam aku kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku ini. Pertemuan besar dari beberapa mitra perusahaan akan diadakan pagi ini. Syukurlah semua masalah yang sebelummya terjadi bisa diatasi. Arief memang bisa diandalkan. Tidak salah Sera memilihnya sebagai suaminya. Tiba-tiba terlintas di kepalaku wajah cantik itu. Yang selalu menggemaskan di saat ia sedang marah. Bagaimana kabarnya dia kini? Pertemuan kali ini diadakan di kantorku. Beruntung aku bisa berangkat lebih pagi agar tidak terjebak macet. Tidak sampai satu jam akhirnya aku tiba di kantor. Ketika sampai di lobby, beberapa asisten menyambutku. Kemudian kami melangkah menuju ruanganku. Sementara para pria yang bertugas menjadi asisten dan bodiguard berjalan mengikutiku. "Selamat pagi, Pak Tirta." "Selamat datang kembali, Pak Tirta." "Apa kabar Pak Tirta." Beberapa petinggi perusahaan menyapaku. Para staf dan karyawan mengangguk hormat ketika