Seperti saran Arief, pagi ini aku tidak ke kantor dulu. Menurut dokter aku harus istirahat beberapa waktu untuk pemulihan. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk berdua saja dengan Giska. Rindu sekali melihat kelincahan anak gadisku itu. Seikat bunga cantik di atas meja menarik perhatianku sejak tadi. "Bik Sum, bunga dari mana ini?" tanyaku seraya menghampiri meja. Bunga yang ternyata bunga Azalea itu nampak sangat cantik dengan variasi warna magenta, pink muda dan putih. Setahu aku, bunga azalea ini biasa di berikan seorang pria yang akan melamar wanitanya. "Oh, itu saya temukan di dekat teras, Bu. Sepertinya terjatuh oleh orang yang mencari Bu Sera siang kemarin," sahut Bik Sum. "Orang yang mencari saya? Siang kemarin? Siapa Bik?" tanyaku heran. Sementara Giska mengajakku untuk duduk di sofa menemaninya menonton film kesayangannya. Anakku ini sangat manja. Mungkin ia juga merindukanku. "Kemarin siang seorang laki-laki bule datang mencari Bu Sera. Ketika saya bilang ibu ke kan
Arief Bahagia yang tak terkira kurasakan hari ini. Setelah mengucapkan ijab kabul tadi pagi, Serani Gunawan telah sah menjadi istriku. Akhirnya perjuangan cintaku berbuah manis. Rani cinta pertamaku yang mengharuskanku jatuh bangun untuk meraihnya. "Apa sih liatin aku terus? Malu tau di liatin tamu-tamu," bisiknya. "Kamu cantik banget, aku nggak rela kamu banyak yang ngeliatin dari tadi," sahutku berbisik seraya mendekatkan wajahku. "Namanya juga pengantin. Ya pasti pada ngeliatin. Aneh deh kamu," sahutnya seraya tersenyum menahan tawa. Betapa indahnya ciptaanmu Ya Allah. "Rani, kamu tau nggak bedanya Jerman sama kamu?" "Aapaaa?" "Jerman pinter bikin mobil, kalau kamu pinter banget bikin aku kangen." Rani membekap mulutnya menahan tawa. "Rani..., nanti aku hanya ingin hidup cukup denganmu. Cukup liatin senyummu tiap hari..." "ARIEF... hahaha ..!!" Kali ini kami berdua tertawa lepas, tanpa peduli tamu-tamu semua memandang pada kami. Ya Allah, semoga aku bisa terus membuatny
Setahun kemudian Tirta Prasetya Setelah setahun tinggal di New York, semalam aku kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku ini. Pertemuan besar dari beberapa mitra perusahaan akan diadakan pagi ini. Syukurlah semua masalah yang sebelummya terjadi bisa diatasi. Arief memang bisa diandalkan. Tidak salah Sera memilihnya sebagai suaminya. Tiba-tiba terlintas di kepalaku wajah cantik itu. Yang selalu menggemaskan di saat ia sedang marah. Bagaimana kabarnya dia kini? Pertemuan kali ini diadakan di kantorku. Beruntung aku bisa berangkat lebih pagi agar tidak terjebak macet. Tidak sampai satu jam akhirnya aku tiba di kantor. Ketika sampai di lobby, beberapa asisten menyambutku. Kemudian kami melangkah menuju ruanganku. Sementara para pria yang bertugas menjadi asisten dan bodiguard berjalan mengikutiku. "Selamat pagi, Pak Tirta." "Selamat datang kembali, Pak Tirta." "Apa kabar Pak Tirta." Beberapa petinggi perusahaan menyapaku. Para staf dan karyawan mengangguk hormat ketika
Bagaikan magnet kedua mata kami saling menatap cukup lama. Betapa Aku tak sanggup untuk menahan rindu ini. Tanpa sadar aku langsung meraih tubuhnya, lalu mendekapnya erat. Jantungku berdegub kencang. Rasa hangat mengalir di setiap aliran darahku. Rasanya pelukan ini tak akan pernah kulepaskan. "Tirta ..!" Aku tersentak mendengar seseorang memanggilku. Buru-buru kami saling melepaskan diri. "M-maaf, maaf .... Tentunya kalian saling merindukan," ujar Arief tersenyum. Namun senyum yang dipaksakan. Kemudian suami Sera itu berbalik badan dan mendudukkan tubuhnya di atas sofa dengan menyandarkan kepalanya pada sisi atas sofa. "Silakan duduk, Pras!" Wanita cantik di hadapanku terlihat canggung. Masih kurasakan aroma parfumnya yang khas. Wangi yang kurindukan setiap saat. "Mana Giska? Aku rindu gadis itu." "Giska sekolah. Sebentar lagi juga pulang," sahut Sera. Wanita itu kemudian masuk ke dalam. Aku kembali memperhatikan Arief. Kenapa aku melihatnya semakin pucat? Pria itu kembali m
Tirta Prasetya Sera masih tampak terpukul sejak pulang dari pemakaman tadi. Aku bersyukur Giska terlihat lebih kuat dan tabah. "Sera ..., istirahatlah. Ingat kandunganmu. Jangan terus dipikrkan. Arief sudah tenang sekarang. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi." Wajah wanitaku itu tampak sembab dan pucat. Matanya sayu. Kesedihan teramat dalam tersirat dari sorot matanya. Dia hanya mengangguk. Tatapannya kosong. Betapa hancur perasaanku melihatnya begini. Begitu besarkah cintanya pada Arief? Sera tertidur di sofa panjang ruang keluarga lantai dua ini. Aku terus menemaninya dan enggan untuk pergi. Sepertinya aku pun sempat terpejam tadi, demi mengurangi rasa letih yang mulai mendera. Namun aku tetap harus kuat. Aku harus bisa menjadi sandaran bagi Sera dan Giska saat ini.Wajah putihnya yang begitu cantik berkali-kali kupandangi. Wajah yang selalu kurindukan setiap malam. Saat ini aku bisa memandangmu sepuasnya Sera. Tapi hatiku begitu perih melihat wajah teduh itu menyimpan kese
Tirta Prasetya "Apaa? Melahirkan? Baik saya akan segera ke sana." Sebuah panggilan masuk dari salah satu security di rumah Sera mengabarkan bahwa wanita itu sudah dibawa ke rumah sakit dan akan melahirkan. Aku segera meminta sekretarisku untuk menutup rapat kali ini. Kemudian dengan setengah berlari menuju mobil yang sudah disiapkan oleh para pengawalku. "Hallo, Pak Yono. Segera jemput Giska ke sekolah dan langsung ke rumah sakit!" "Baik, Tuan!" sahut Pak Yono di seberang sana. Aku segera menutup ponselku. Rasanya ingin terbang saja agar segera tiba menemui bidadariku yang sedang berjuang melahirkan anak keduanya. Tirta prasetya, laki-laki yang belum pernah menikah, namun cinta mati pada janda beranak dua. Aku tersenyum sendiri. Cinta memang unik. Aku akan berjanji dalam hati. Akan membuat Sera dan anak-anaknya bahagia bersamaku. Aku berjalan dengan langkah cepat dari lobby menuju kamar bersalin. Mungkin orang-orang di sekitar melihatku aneh. Rasanya begitu jauh hingga sam
"Om bule, mana adek bayi Aku?" Giska merengek kembali tak sabar ingin melihat adiknya. Wajahnya cemberut namun tampak sangat menggemaskan. Ia semakin mengerucutkan mulutnya melihat aku terkekeh. "Suster, apa bayinya bisa dibawa ke sini?"Aku meminta pada perawat saat kami baru saja tiba di ruang VVIP ini. Sera hanya tersenyum menggelengkan kepalanya melihat Giska yang tak sabaran. "Ya, Pak. Sebentar lagi bayi Bu Serani akan kami antar ke sini agar segera diberi Asi." "A-apa? A-asi? Oh iy-iyaa suster,"jawabku gugup. Astaga kenapa pikiranku jadi kemana-mana mendengar ucapan suster ini? Tak berselang lama, seorang suster masuk dengan membawa box dorong bayi. Giska melompat kegirangan dan langsung menghampiri adiknya. Wajahnya nampak sangat bahagia. Mata bulat itu langsung berbinar. "Adik aku tampan. Mirip Papa Arief, Bundaaa ..." pekik Giska tertahan karena gemas. Perawat itu meraih bayi lucu itu dan memberikannya padaku. "Ini bayinya tolong segera disusui istrinya ya, Pak!" Aku
Tirta Prasetya "Siang ini Bu Serani sudah bisa pulang. Silakan diurus administrasinya ke bagian kasir, Pak!" "Baik. Terimakasih, Dokter!" sahutku mengangguk. Setelahnya Aku meminta sekretarisku untuk mengurus semuanya. Elara, sekretaris baruku itu juga sudah mempersiapkan semua perlengkapan bayi di rumah Serani. Kemarin, Aku dan Giska tanpa sepengetahuan Sera mendesain sebuah kamar di rumah itu sebagai kamar Bayi. Kamar itu tepat berada di sebelah kamar Giska yang menembus dengan kamar utama. "Semua sudah beres, Pak Tirta." Elara melaporkan dengan mengiirm pesan lewat ponsel. Aku membantu Sera berkemas. "Prass, maaf, ya! Aku sudah sangat merepotkan Kamu. Pastinya Kamu sampai meninggalkan rapat-rapat penting di kantor." Sera sudah berganti pakaian khusus pasien rumah sakit dengan pakaiannya sendiri. "Repot apa? Aku melakukannya dengan senang hati, Sera." Koper kecil milik Sera sudah aku tutup dan kunci. Sera tersenyum. Aku membantu wanita itu turun dari ranjang dan duduk di Sofa