"Yati, Mana Tirta? Apa Dia sudah bangun?" "Tuan Tirta masih tidur, Bu Sarah!" Terdengar suara Bik Yati bicara dengan seseorang. Asisten rumah tangga Pras itu menyebut nama Bu Sarah. Apa tante Sarah datang ke sini? Aku yang baru saja selesai memandikan Pangeran segera keluar sambil mendorong strolernya. "Selamat pagi, Tante!" "Pagi...,loh, ini bayi siapa?" Tante Sarah nampak terkejut saat melihatku dan Pangeran. "Ini anakku, Tante.. Silakan duduk Tante. Mau ketemu Tirta? Kayaknya masih tidur di kamarnya," awabku. "Tirta tidur dimana?" Tante Sarah langsung menerobos masuk melewatiku. Ah, iya. Ini kan memang bungalow mllik keluarga mereka. "Di kamar itu, Tante." Aku menunjuk satu kamar yang berada agak di belakang dan berukuran lebih kecil daripada kamar yang aku tempati. "Kenapa Tirta tidak tidur di kamar utama? Kok malah di kamar tamu? Malah kamu yang enak-enakan tidur di kamar utama yang besar ini. Tirta gimana, sih?" Tiba-tiba Tante Sarah berhenti di depan kamar yang aku te
"Apa Kamu nggak kasihan sama Grace? Dia itu berharap banget tadi kamu akan susul dia ke lapangan tenis." Suara Tante Sarah masih terdengar membujuk Pras. "Maaf, Aku nggak bisa, Tante. Aku sudah janji untuk ajak Sera dan anak-anaknya jalan-jalan siang ini." Aku tak menyangka Pras menjawab seperti itu. Aku yakin, sebentar lagi Tantenya itu akan semakin kesal.dan marah. "Kamu lebih memilih jalan dengan janda dua anak itu dari pada bersama Grace?.Kamu itu bodoh atau bagaimana sih, Tirta? Mau-maunya disuruh-suruh momong anak!" "Maaf, Tante tadi bilang apa? Saya bodoh?" Suara Pras terdengar dingin dan tegas. "Oh, b-bukan begitu maksud tante, tapi ... bagaimana kalau kamu ikut sebentar ke bungalow Tante. Nanti kita bicara disana!" Nada bicara Tante Sarah mulai melunak. Ia tak lagi ngotot seperti tadi "Maaf, Aku tadi sudah bilang kalau Aku nggak bisa, Tante. Pendengaran tante masih bagus kan?.Atau ingatan Tante yang sedang ada gangguan?" Aku terkikik geli mendengar ucapan Pras barusa
"Itu kan Tirta Prasetya yang artis itu!" "Lama nggak muncul tau-tau sudah punya anak aja." Terdengar obrolan para pengunjung restoran yang juga sedang berjalan-jalan disekitar kebun teh ini. "Kemarin gosipnya lagi dekat sama janda. Jangan-jangan jandanya yang cantik itu." "Pantesan aja si Tirtanya mau. Jandanya cantik kayak anak gadis." "Cantik tapi tetap aja Janda. Sayang banget ganteng-ganteng dapetnya Janda!" "Iyaaa, harusnya Tirta itu jodohnya artis lagi atau model terkenal. Ini malah janda. Udah punya anak dua pula." Astaga! Kenapa mereka bicara terang-terangan seperti ini di dekat kami? Kupingku hampir panas rasanya. Aku menggandeng Giska untuk mempercepat langkah kami melewati jalan setapak di kebun teh ini, menuju saung. "Sera, kamu kenapa?" Pras yang masih menggendong Pangeran tiba-tiba menyusulku dan meraih salah satu tanganku. "Lepasin, Pras!' Sontak aku menepis tangan kekarnya, hingga pria itu terkejut. Terdengar hempasan napas kasar dari pria bule yang berjal
"Maaf, permisi, permisi ...!" Aku berusaha menerobos kerumunan para ibu-ibu dan remaja yang sibuk memotret wajah Pras. Cukup sulit melewati para wanita itu. Namun akhirnya aku tiba di hadapan Pras. Pria tersentak melihatku yang sudah berlinang air mata.. "Seraa ...!" "Prass, Giska belum ketemu!" jeritku tanpa sadar. "Bundaaaa! Bunda kenapa nangis?" sontak aku menoleh ke arah suara yang sejak tadi aku rindukan. Astaga! Ternyata Giska ada di samping Pras. Tangan kiri pria bule itu sedang menggenggam erat jemari Giska. Sementara tangan kanannya sedang mengusap-usap pangeran yang mulai mengantuk. Jelas saja aku tadi tak bisa melihat Giska, karena tertutup oleh para wanita yang berebut hendak berfoto bersama Pras.. "Giskaaa, sini, Nak!" Tanpa peduli pada semua mata memandang, Aku meraih putriku dan membawanya menjauh dari kerumunan itu. Tak kuhiraukan panggilan Pras berkali-kali menyebut namaku. Entah kenapa rasanya kesal sekali hati ini. Kenapa Pras tidak mengabariku bahwa ia suda
"Aku ...ingin Kamu!" "Haah? M-maksud Kamu--" Pras menatapku begitu dalam. Wajahnya semakin dekat. "Tuan Tirta, maaf. Ada Bu Sarah dan Non Grace datang." Terdengar suara Bik Yati dari luar kamar. Pintu kamar ini sedikit terbuka. Asisten rumah tangga Pras itu pasti melihat Pras sedang mendekapku. Sontak Pras melepaskan dekapannya secara perlahan. Ia berkali-kali berdecak kesal. "Mau apa lagi sih mereka itu? Ganggu aja!" gerutunya sambil melangkah meninggalkanku yang masih berusaha mengendalikan rasa gugup. Aku terduduk di ranjang. Jantungku berdetak cepat. Napasku memburu. Tatapan Pras tadi begitu berbeda. Ia belum pernah menatapku seperti itu. Satu tanganku menekan dada yang masih berdebar-debar. Setelah sedikit tenang, Aku beranjak hendak keluar kamar. Ketegangan yang baru saja kurasakan membuat tenggorokanku kering dan merasa haus. Samar-samar Aku mendengar perdebatan antara Pras dan Tante Sarah. Aku melangkah ke dapur hendak minum. Setelah meneguk segelas air putih, aku ke
"Kamu meeting nanti jam berapa?" Pras bertanya sambil menyetir mobil. Pagi ini jalanan belum terlalu macet. Setelah subuh tadi, kami langsung berangkat kembali menuju Jakarta. "Setelah makan siang. Meetingnya di kantorku, kok." jawabku sambil memberi Asi botol pada Pangeran. "Nanti biar Aku temani!" "Eh, nggak usah, Pras! Kamu sudah terlalu lama meninggalkan perusahaanmu. Mulai sekarang perusahaan Arief biar aku yang handle. Jika nanti Aku membutuhkanmu, Aku pasti akan hubungi Kamu." Aku tidak mengatakan pada Pras bahwa yang akan meeting denganku nanti siang bernama Roy dan Levin. Aku juga tidak mau melibatkan Pras disini. Perlahan-lahan Aku harus terbiasa tanpa bantuan pria ini. Dia tak akan selamanya berada diantara Aku dan anak-anak. Tante Sarah pasti akan mencarikan wanita yang memang pantas untuk pria tampan dan mapan sepertinya. "Sera, kenapa melamun? itu Pangeran susunya sudah habis." Astaga! Kenapa Aku sampai lalai begini? Sejak Tamte Sarah datang ke Bungalow kemarin, A
"Loh, Sera?" Levin sangat terkejut melihatku. Pria dengan warna kulit sawo matang dan sedikit gemuk itu menatapku tak percaya. "Levin? Ternyata beneran kamu, Pak Levin CEO PT. Abadi Jaya." Aku pun memandangnya intens, Levin jauh berbeda dengan selan jas berwarna krem serta dasi coklat tua yang menggantung di kemejanya. Levin pun berkali-kali menatapku dari bawah hingga ke atas. Mungkin ia juga mellihat penampilanku yang berbeda kali ini..Hari ini aku memakai pakaian formal stelan rok panjang dan blazer. Tidak seperti kemarin di puncak, memakai kemeja panjang dan celana jeans. "Sebenarnya sejak kemarin aku sudah menduga--duga, ketika Keanu mengatakan perwakilan PT Abadi Jaya bernama Pak Levin dan Pak Roy," ujarku dengan mengulas senyum. Kami tertawa karena pertemuan yang cukup mengejutkan ini."Silakan duduk, Pak Levin!" "Terina kasih." sahut pria berjambang tebal itu.. "Sebenarnya perusahaan ini adalah perusahaan keluarga. Aku dan Mas Roy yang mengelola," jelasnya. Aku mengan
"Aku dan Pras tidak punya hubungan khusus. Kami hanya berteman baik. Almarhum suamiku menitipkan Aku dan anak-anak sebelum ia meninggal. Mungkin karena itu Pras merasa bertanggung jawab pada kami." Aku menjawab pertanyaan Levin setelah berpikir beberapa saat. Tampak senyum mengembang dari pria yang katanya mirip artis brazil itu. "Syukurlah. Aku pikir kalian sepasang kekasih. Karena aku lihat tatapan Tirta padamu berbeda." Aku hanya tertawa lirih mendengar pendapat Levin. Sebenarnya Aku pun merasakan hal yang sama pada tatapan mata Pras. Debaran-debaran yang sering aku rasakan, membuatku tak mengerti dengan perasaanku sendiri. "Hey, kok melamun?.Ayo dihabiskan makannya!" Aku tersentak. Kenapa Aku malah melamunkan Pras? "Kak Sarah berniat akan menjodohkan Tirta dengan Grace, keponakanku. Jika dia memang tidak ada hubungan khusus denganmu, akan lebih mudah kami untuk mendekatkan mereka." Entah kenapa ada sesuatu yang berdenyut nyeri di dalam dadaku saat mendengar kalimat yang d