"Mari Serani, Aku perkenalkan pada semua keluargaku!" Levin membawaku berkeliling. "Serani, bukankah kita pernah ketemu di puncak? Kamu temannya Tirta, kan?" Tiba-tiba Om Roy menghampiriku. "Iya, Om. Apa kabar, Om Roy?" sapaku sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Wah, wah. Saya nggak nyangka ternyata kamu seorang CEO. Waktu itu kami pikir .... ah sudah, sudah. Ayo mari kita makan! Levin, bawa Serani makan. Ini sudah jam makan malam, loh!" Om Roy tersenyum ramah padaku. "Baik, Mas. Ayo Sera! Kita duduk di meja yang itu gabung dengan Ayah. Tadi Ayah bilang mau berbincang--bincang denganmu." Aku mengikuti langkah Levin sambil melihat sekeliling. Di mana, Pras? Kenapa aku nggak lihat dia lagi? "Ayo Serani. Silakan duduk!" Ayah Levin mempersilakan Aku untuk duduk di sampingnya. "Terimakasih, Pak!" Levin duduk di hadapanku. Beberapa pelayan mulai menghidangkan menu makan malam di meja kami. Ternyata meja ini lebih spesial. Karena semua serba dilayani. Sementara ada mej
"Pras, lepas!" Aku menarik tanganku setelah kami keluar dari ruangan besar tempat acara tadi. "Maaf, nanti Aku lepasin. Sekarang biarkan seperti ini dulu." Pras malah semakin erat menggenggam jemariku. Kami terus melangkah melewati lorong menuju pintu keluar. "Tirta, mana Grace?" Tiba-tiba tante Sarah menghadang langkah kami. Sekarang aku mengerti kenapa Pras belum melepaskan tanganku. "Grace ada di dalam bersama Kakek Sion dan Levin," sahut Pras santai. Tatapan mata Tante Sarah tertuju pada gengaman tangan Pras di tanganku. Sorot matanya tajam. Wanita itu mendengkus kasar. "Bukannya tadi sama kamu? Kok kamu main tinggal-tinggal aja anak tante?" Wanita paruh baya itu nampak sangat kesal. Ia sempat melirikku dengan tatapan sinis. "Anak tante itu nggak akan hilang. Ini kan rumah kakeknya." Pras tertawa kecil. "Tante baru akan bicara pada Kakek Sion tentang kelanjutan hubunganmu dan Grace. Ini kok malah gandengan sama perempuan lain!" gerutu wanita cantik yang malam ini menggunaka
"Aku akan menikahimu!" "Haaah?" Aku nyaris berteriak histeris dan sontak membekap mulutku sendiri. Detak jantungku berpacu dengan cepat. Apa Aku nggak salah dengar? Apa aku hanya berhalusinasi? "Maksudnya?" tanyaku bingung. Bukankah dua orang yang menikah itu harus saling mencintai? Tapi ... Pras tidak pernah mengatakan hal itu padaku. Namun, sikapnya selama ini mampu menciptakan debaran-debaran indah di hatiku. Pras menghela.napaa panjang dengan pelan. "Dengan menikahimu .., gosip itu akan hilang dengan sendirinya. Mereka tidak akan berpikir buruk lagi tentangmu." ujar Pras masih dengan posisi menghadap ke arahku. Tatapan matanya pun masih lekat pada netraku. Seketika hatiku mencelos saat mendengar alasannya. "Ooh, jadi Kamu mau nikahi Aku cuma untuk menghapus gosip!" Aku kembali menghempaskan punggungku pada sandaran jok. Kini pandanganku kembali ke luar jendela. Tiba-tiba saja ada rasa sesak yang menggelayuti dada ini. Sebisa mungkin Aku menahan agar air mata yang tiba-tib
"Prass, apa yang kamu lakukan?" Pras tersentak saat sedang berdiri di depan lukisan wajahku yang terpampang di dinding ruang kerja.. Aku sempat melihat ia menempelkan bibirnya di lukiisan itu. Seolah-olah ia sedang mencium wajahku. Pras sontak gugup. Wajahnya memerah karena malu. Dia pasti sudah berimajinasi tentang diriku. Astaga, Pras! "Ah, nggak apa-apa. Tadi aku seperti mencium aroma wangi di ruangan ini. Aku pikir dari lukisan ini," kilahnya terlihat panik. Aku melangkah masuk sambil tersemyum. "Halaah, modus! Bilang aja kamu lagi berkhayal sedang cium aku tadi," tebakku asal dengan maksud meledeknya.. Namun tiba-tiba Pras mendekatiku dan mendesakku hingga ke dinding. Kedua tangannya berada di samping tubuhku. Kini tubuhku berada dalam kurungan kedua tangan kokohnya. "Prass, Kamu marah? Aku cuma becanda, kok. Nggak beneran!" protesku saat melihat tatapan tajamnya. Pria bule di depanku itu tak menjawab. Pandangannya masih intens menatap netraku. "Prass ...!" lirihku denga
Tirta Prasetya "Elara, jadwal ulang meeting pagi ini. Aku akan ke kantor Serani sekarang." "Tapi, Pak Tirta--" "Kerjakan saja perintahku! Ada hal penting yang harus Aku lakukan di sana." Aku mulai mengenakan jas dan meraih kunci mobil, lalu melangkah keluar tanpa menghiraukan tatapan kecewa dari Elara. Pagi ini aku memang kembali ke kantor Serani. Hari ini ada acara di sekolah Giska. Sera mungkin akan lebih siang datang ke kantor. Hal ini aku manfaatkan untuk bicara dengan Dido. Menurut kepala HRD, Dido mulai masuk kerja hari ini. Setelah perjalanan satu jam, akhirnya aku tiba di Gunawan Corp.. Hampir semua karyawan di sanasudah mengenalku. Mereka tak pernah melaranglku untuk masuk bahkan ke ruang pribadi Sera. "Silakan masuk Pak Tirta tapi Bu Sera sedang tidak ditempat." ujar sekretaris Sera. "Baiklah.Tolong panggil kepala HRD ke sini!"pintaku seraya melangkah masuk ke dalam ruangan Sera. Lalu aku menjatuhkan tubuhku di kursi kebesaran yang ada di balik meja kerjanya. "Sela
Tirta Prasetya "Aku mohon biarkan Dido mendampingiku, Pras!" Lagi-lagi Sera memohon padaku. Padahal ia tahu aku tidak punya hak melarangnya. Ini perusahaannya. Aku hanya mendampinginya dalam mengelola semua perusahaannya. "Baiklah. Tapi aku minta kamu hati-hati!" Aku membelai kepalanya.Ya, hanya sebatas membelainya lembut. Andai saja Aku bisa, ingin sekali memeluknya lagi. Sungguh aku sangat takut jika sampai.kehilangan wanita ini.. "Pasti, Pras. Mulai saat ini Aku akan menjaga jarak dengan Dido. Aku tau kami tentu tidak akan bisa seakrab dulu lagi." Aku sedikit lega mendengar ucapan Sera. Sesaat kami saling diam.Tiba-tiba aku teringat dengan Giska. "Bagaimana acara di sekolah Giska? lancar?" Sera mengangguk sambil tersenyum. Kami duduk bersebelahan di sofa panjang. "Aku nggak nyangka Giska itu berani tampil ke depan membaca puisi di atas panggung, Pras." Sera bercerita begitu bersemangat tentang Giska. "Oh ya? Wah, Sayang Aku nggak lihat. Apa kamu merekamnya?'" "Ada, ini
"Yuk, kita jalan sekarang!"" Aku berdiri setelah melihat jam ditanganku menunjukkan pukul dua belas siang. "Kemana, Pras?" "Makan siang." "Jadi kamu beneran mau ngajakin Aku makan siang? Bukan cuma sebagai alasan menolak Levin?" Sera mulai merapikan mejanya. Sejak tadi kami sibuk membuat bahan meeting pembagian pekerjaan antara Dido dan Keanu. "Ya beneran, dong, Cantik!" sahutku sambil mengedipkan sebelah mataku padanya Sera tersenyum sambil mencibir, namum terllihat semburat kemerahan di pipinya. Tiba-tiba ponsel Sera berdering. "Mama Celine?" gumamnya. "Siapa?" tanyaku penasaran yang baru mendengar nama itu. "Ibu tiri Arief," sahutnya kemudian menerima panggilan itu. "Hallo, Ma! Apa kabar? Mama Sehat?" "Apa? Kapan? Oke, Ma.!" Sera menutup panggilannya. Aku semakin penasaran. Arief punya Ibu Tiri? Sejak menerima ponsel dari Ibu Tiri Arief tadi, Sera tampak murung. Selama di mobil, Sera tampak gelisah dan tidak banyak bicara. "Ada apa, Sera? Kamu sejak tadi murung. Ada
POV PENULIS "Antarkan Saya ke alamat ini, Pak!" Seorang Pria tampan bermata biru dengan rambut panjangnya yang kecoklatan diikat rapi, baru saja menaiki taksi di bandara internasional Soekarno Hatta. "Baik, Mister!" Taksi itu melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah komplek perumahan mewah di sekitar Jakarta. "Aku belum pernah bertemu dengan Istri Arief. Mama bilang, wanita bernama Serani itu sangat cantik. Huh, Sayangnya sudah janda dua kali." Pria tampan dengan badan tinggi tegap namun sedikit kurus itu mendengkus kasar diantara lamunannya . "Kamu harus bisa mendekati Serani. Jangan sampai dia menikah lagi dengan pria lain. Mama mau kamu yang menikah dengan wanita hebat seperti dia. Kamu nggak akan menyesal menikah dengan Serani itu!" Ucapan mamamya terus terngiang di telinga pria itu. Membuatnya lagi-lagi mendengkus kasar. Demi mengisi waktu di perjalanan, Pria itu membuka galeri ponselnya. Foto-foto mesra dirinya bersama seorang wanita cantik membuatnya meringis. Dem