Tirta Prasetya "Elara, jadwal ulang meeting pagi ini. Aku akan ke kantor Serani sekarang." "Tapi, Pak Tirta--" "Kerjakan saja perintahku! Ada hal penting yang harus Aku lakukan di sana." Aku mulai mengenakan jas dan meraih kunci mobil, lalu melangkah keluar tanpa menghiraukan tatapan kecewa dari Elara. Pagi ini aku memang kembali ke kantor Serani. Hari ini ada acara di sekolah Giska. Sera mungkin akan lebih siang datang ke kantor. Hal ini aku manfaatkan untuk bicara dengan Dido. Menurut kepala HRD, Dido mulai masuk kerja hari ini. Setelah perjalanan satu jam, akhirnya aku tiba di Gunawan Corp.. Hampir semua karyawan di sanasudah mengenalku. Mereka tak pernah melaranglku untuk masuk bahkan ke ruang pribadi Sera. "Silakan masuk Pak Tirta tapi Bu Sera sedang tidak ditempat." ujar sekretaris Sera. "Baiklah.Tolong panggil kepala HRD ke sini!"pintaku seraya melangkah masuk ke dalam ruangan Sera. Lalu aku menjatuhkan tubuhku di kursi kebesaran yang ada di balik meja kerjanya. "Sela
Tirta Prasetya "Aku mohon biarkan Dido mendampingiku, Pras!" Lagi-lagi Sera memohon padaku. Padahal ia tahu aku tidak punya hak melarangnya. Ini perusahaannya. Aku hanya mendampinginya dalam mengelola semua perusahaannya. "Baiklah. Tapi aku minta kamu hati-hati!" Aku membelai kepalanya.Ya, hanya sebatas membelainya lembut. Andai saja Aku bisa, ingin sekali memeluknya lagi. Sungguh aku sangat takut jika sampai.kehilangan wanita ini.. "Pasti, Pras. Mulai saat ini Aku akan menjaga jarak dengan Dido. Aku tau kami tentu tidak akan bisa seakrab dulu lagi." Aku sedikit lega mendengar ucapan Sera. Sesaat kami saling diam.Tiba-tiba aku teringat dengan Giska. "Bagaimana acara di sekolah Giska? lancar?" Sera mengangguk sambil tersenyum. Kami duduk bersebelahan di sofa panjang. "Aku nggak nyangka Giska itu berani tampil ke depan membaca puisi di atas panggung, Pras." Sera bercerita begitu bersemangat tentang Giska. "Oh ya? Wah, Sayang Aku nggak lihat. Apa kamu merekamnya?'" "Ada, ini
"Yuk, kita jalan sekarang!"" Aku berdiri setelah melihat jam ditanganku menunjukkan pukul dua belas siang. "Kemana, Pras?" "Makan siang." "Jadi kamu beneran mau ngajakin Aku makan siang? Bukan cuma sebagai alasan menolak Levin?" Sera mulai merapikan mejanya. Sejak tadi kami sibuk membuat bahan meeting pembagian pekerjaan antara Dido dan Keanu. "Ya beneran, dong, Cantik!" sahutku sambil mengedipkan sebelah mataku padanya Sera tersenyum sambil mencibir, namum terllihat semburat kemerahan di pipinya. Tiba-tiba ponsel Sera berdering. "Mama Celine?" gumamnya. "Siapa?" tanyaku penasaran yang baru mendengar nama itu. "Ibu tiri Arief," sahutnya kemudian menerima panggilan itu. "Hallo, Ma! Apa kabar? Mama Sehat?" "Apa? Kapan? Oke, Ma.!" Sera menutup panggilannya. Aku semakin penasaran. Arief punya Ibu Tiri? Sejak menerima ponsel dari Ibu Tiri Arief tadi, Sera tampak murung. Selama di mobil, Sera tampak gelisah dan tidak banyak bicara. "Ada apa, Sera? Kamu sejak tadi murung. Ada
POV PENULIS "Antarkan Saya ke alamat ini, Pak!" Seorang Pria tampan bermata biru dengan rambut panjangnya yang kecoklatan diikat rapi, baru saja menaiki taksi di bandara internasional Soekarno Hatta. "Baik, Mister!" Taksi itu melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah komplek perumahan mewah di sekitar Jakarta. "Aku belum pernah bertemu dengan Istri Arief. Mama bilang, wanita bernama Serani itu sangat cantik. Huh, Sayangnya sudah janda dua kali." Pria tampan dengan badan tinggi tegap namun sedikit kurus itu mendengkus kasar diantara lamunannya . "Kamu harus bisa mendekati Serani. Jangan sampai dia menikah lagi dengan pria lain. Mama mau kamu yang menikah dengan wanita hebat seperti dia. Kamu nggak akan menyesal menikah dengan Serani itu!" Ucapan mamamya terus terngiang di telinga pria itu. Membuatnya lagi-lagi mendengkus kasar. Demi mengisi waktu di perjalanan, Pria itu membuka galeri ponselnya. Foto-foto mesra dirinya bersama seorang wanita cantik membuatnya meringis. Dem
"Bagaimana dengan kabar Mama Celine?" Sera mulai membuka perbincangan. "Mama baik. Beliau titip salam buatmu." Sandy yang saat ini membiarkan rambut sebahunya tergerai, sesekali mencuri pandang pada Serani. Serani tersenyum ramah saat mata mereka bertemu. Sementara Sandy tetap dengan sikap dinginnya. Menurut Sera, Sandy sama sekali tidak mirip dengan Arief. Mungkin karena Sandy adalah anak bawaan Mama Celine dari suami sebelumnya. "Nambah, San! Jangan malu-malu!" Sera berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku. "Hmm ..." gumam pria tampan dan gondrong itu tanpa menoleh pada Serani. Setelahnya mereka kembali diam. Makanan Sandy pun sudah habis. "Mama Celine bilang kamu mau membantuku di perusahaan Arief. Apa betul? Kalau benar, ikut Aku besok ke kantor!" Sandy menoleh, terkejut mendengar ucapan Sera. "Mama bilang begitu sama kamu?" Sandy mendengkus kasar. Sera mengangguk. "Memangnya kamu tidak keberatan?" tanya Sandy terheran melihat Serani yang nampak santai.. "Memangnya
"Kenapa, San? Maaf, Apa ada yang salah sama Aku?" tanya Sera yang heran karena Sandy terus menatapnya tak berkedip.. "Oh, Eh, ti-tidak apa-apa. Aku hanya ragu jika kamu yang menyetir." jawabnya gugup. "Tenang saja. Sejak Arief sakit, Aku sudah terbiasa nyetir sendiri." "Oh, baguslah!" sahut Sandy dingin. Sepanjang perjalanan mereka tak banyak bicara. Hanya Sera yang sesekali bertanya atau hanya sekedar membicarakan tentang kemacetan, dengan maksud untuk menghilangkan kecanggungan. Namun tanggapan Sandy tetap acuh dan dingin. Mereka sudah tiba di depan sebuah gedung besar dan megah milik perusahaan Arief. "Yuk, turun! Kita sudah sampai." Sera turun dan mulai melangkahkan kaki menuju lobby. Sementara Sandy melangkah tegap disampingnya. "Selamat pagi, Bu Sera!" "Selamat datang Bu Serani!" Hampir semua karyawan mengangguk hormat saat mereka melewati lobby dan kubikel karyawan. "Pagi Bu Sera, Apa ada meeting hari ini?" Keanu menghampiri Sera. "Tidak ada. Aku hanya ingin memperk
"Sandyawan, panggil saja Sandy!" ujar pria tampan itu memperkenalkan diri. "Duduk, Pras!"pinta Sera. "Apa aku mengganggu?" Pras merasa tidak nyaman dengan sikap Sandy yang acuh. "Ah nggak kok Pras. Aku sudah selesai. Apa kita langsung jalan sekarang?" Tatapan Sandy tak lepas pada Sera. Hal itu tak luput dari penglihatan Pras. Ia menduga Sandy tidak suka melihat Sera pergi dengannya. Sera bangkit dari duduknya. "Oke, San. Aku ke kantorku dulu." "Hmm ..." Sera hanya tersenyum melihat sikap Sandy yang sepertinya enggan bicara dengannya. Kemudian Sera dan Pras melangkah menuju pintu keluar.."Serani!" Tiba-tiba Sandy memanggilmya. "Ada apa?" Sera memutar tubuhnya. "Kirim alamat kantormu! Aku akan jemput kamu nanti!" ujarnya membuat Sera dan Pras terkejut dan saling pandang. "Tidak perlu, Sandy. Sera pulang bersamaku. Ada pekerjaan yang akan kami kerjakan bersama hari ini. Yuk, Sera!" Sandy hanya diam sambil berkacak pinggang menatap kepergian keduanya. Entah kenapa ia seakan
"Bu Sera, ada seseorang yang mencari." Dido masuk keruangan Sera. "Siapa? Tirta?" Sera melihat arlojinya. Waktu pulang kantor masih setengah jam lagi. Biasanya Pras menjemputnya tepat waktu. "Bukan, Bu. Dia bilang namanya Sandy." "A-aapaaa? Sandy?" Sera hampir saja terlonjak mendengar nama pria itu. Unruk apa Sandy ke sini? Bukankah tadi Pras sudah katakan bahwa dia yang akan menjemputku? Dido mengangguk. "Ya sudah, suruh masuk saja ke sini!" pinta Sera dengan rasa penasaran. " Untuk apa Sandy datang ke kantorku? Ia pasti minta alamat kantor ini dari Keanu," bathin Sera. "Wah, wah. Ternyata kantormu juga sebuah perusahaan besar." Sera sontak berdiri saat Sandy tiba-tiba saja masuk ke ruangannya. Pria itu memuji perusahaan Sera, namun raut wajahnya tetap datar dan dingin, bahkan terkesan mengejek. Entahlah, Sera sulit untuk memahami Pria itu. "Silakan duduk, Sandy! Kejutan banget buatku kamu datang ke sini." Sera kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesarannya. "Seperti