Share

Four Adventures
Four Adventures
Penulis: Everush

BAB 1

“Hey hentikan pencuri kecil itu!!” teriak salah seorang lelaki dewasa pemiliki toko roti kecil di pasar.

Ramai-ramai para manusia lain mengikuti aba-aba si lelaki tadi, mereka langsung mengejar bocah lelaki yang kiranya membawa sepotong roti di genggaman tangannya yang membiru kedinginan. Sementara itu beberapa oknum lainnya tidak peduli, mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Menjajakan dagangannya, menawar harga yang tak kira-kira pada penjual, beberapa orang juga lalu lalang melewati salah satu di antara banyak gang di Pasar Raflero ini. Hiruk pikuk keramaian di pasar ini tak terelakan setiap minggu, bahkan saat hari menjelang sore seperti inipun mereka masih belum kehabisan tenaga untuk menghabiskan barang dagangan mereka.

Tenda-tenda kecil yang berjejer cukup rapi itu masi berdiri tegak. Menaungi para manusia dan dagangannya, mulai dari  bahan makanan, senjata, perkakas dapur, perhiasan, dan lain-lain. Orang-orang tidak peduli  satu sama lain, mereka hanya terus mencari barang yang mereka inginkan atau mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Lihatlah bocah lelaki pencuri roti tadi, entah sekarang nasibnya bagaimana. Semuanya begitu terdesak, hingga rasanya selain kekuatan otot, pita suara adalah dominasi penting untuk keberhasilan di tempat ini.

“Hey bawa keranjang ikan itu dengan benar!” Dari gang yang cukup gelap, seorang lelaki botak dengan pakaiann berzirah mendikte manusia tua dengan pakaian cukup rombeng.

Di sisi lain, salah seorang ibu-ibu dengan celemek kusam berteriak. “Kau kemarin sudah berhutang! Kali ini aku tidak bisa berbelas kasih padamu!”

“Perhiasan murni yang akan membutmu tampak menawan nona, cobalah.” Coba tebak siapa gerangan? Manusia tua pengguna sorban dengan kaus katun yang tak pernah diganti.

“Kamu pikir aku tidak tahu kalau kau menjual semua persediaan garam pada lelaki tua sok kaya itu?!” Seorang wanita dewasa dengan gemerincing emas di tangannya yang setiap hari rupanya harus bersaing dengan pembeli lain yang jauh lebih kaya darinya.

Terus saja seperti itu. Semuanya menggunakan emosi mereka, melahap ego masing-masing demi sebuah kepuasan tak berarti. Namun, sejatinya pasar ini adalah pasar terbesar dan mungkin satu-satunya pasar plural di negeri ini. Di pasar ini semua penduduk dari segala penjuru distrik berkumpul. Letak pasar yang berada di tepian ibukota ini memang cukup strategis. Sebab ia diletakkan di tengah-tengah negeri.

Negeri Limalora, negeri yang sampai saat ini masih berdiri dengan damai dan sentosa. Diisi lima distrik yang kelimanya saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Masyarakat mereka seringkali dipertemukan di pasar raflero ini. Beberapa saling memeluk, sisa lainnya untuk adu jotos. Lihat saja di sebelah lahan kosong di sampig penjual semangka itu, kiranya salah seorang warga dari distrik Ourtha tengah dikeroyok masa dari distrik Conse. Sementara itu, ada lelaki berkulit sawo matang yang hanya bisa memndangi semua itu dengan raut wajah datar. Dia mencoba untuk tidak menjadi pahlawan, lebih baik dia menjaga karung-karung berisi butir kopi di depannya.

“Habisi dia!”

“Jangan beri dia ampun!”

“Heh, apa kau tidak bosan melihat pemandangan ini?” Suara halus seorang perempuan mengaggetkan lelaki itu. Badannya berbalik dan mendapati seorang perempuan dengan gaun selutut dan sepasang boot yang penuh lumpur tengah duduk di atas tumpukan keranjang kayu.

“Hey Rosena sejak kapan kau di sini?”

Perempuan itu turun dari posisinya, kemudian mendekati lelaki itu. Badannya menunduk mengamati karung-karung kopi yang berjejer rapi.

“Indah sekali kopimu, tapi kenapa belum habis? Hari sudah menjelang malam,” katanya, kemudian berhenti membungkuk.

“Entahlah, hari ini ramai tapi aku rasa tidak seramai biasanya.” Lelaki itu menyilangkan tangannya di depan dada. “Ngomong-ngomong, dengan siapa kamu datang kemari?”

Rosena memainkan butir-butir biji kopi itu dengan tangannya. “Aku datang sendiri.”

“Bohong.”

Kemudian perempuan itu meredupkan pandanganya, menatap malas pada lelaki bernama Sean Bright itu. “Aku datang bersama Dimitri. Tapi entahlah, lelaki itu memang cukup kurang ajar. Meninggalkan demi sebuah ikan mas di ujung gang sana.”

“Kenapa mendatangiku?”

“Aku rindu kamu.”

“Rosena!” Agaknya Sean sudah cukup geram. Sementara itu Rosena justru tersenyum puas.

Di sela-sela kesunyian di antara mereka berdua, sebab Rosena tak kunjung membuka mulutnya, datanglah seorang pria dengan rambut cokelat. Digenggaman tangannya ada stoples ukuran sedang dan diisi air. Ada makhluk hidup di sana, yang tak lain dan tak bukan adalah seekor ikan mas.

“Maaf aku telat. Hey Kenapa kalian masih di sini? Sean ayo segera pulang, kakek mencari kita semua untuk berkumpul di pondoknya.”

Rosenan melirik jengah lelaki itu. “Jack! Aku baru mau mengatakannya, kenapa kau mengatakannya lebih dulu?!” pekiknya lantang.

Sean mengembuskan napasnya pelan. Dia langsung berjalan mengambil kotak kayu dan mulai memindahkan karung-karung kopi ke dalamnya. Ia tahu setelah ini akan ada perdebatan tidak penting antara dua sahabatnya. Sebelumnya ia sempat melihat di tempat kejadian pengeroyokan sebelumnya, rupanya kekerasan itu telah usai. Tapi si lelaki yang menjadi  korban masih meringkuk di sana.

“Kamu sudah sampai daritadi kenapa tidak langsung menyampaikannya?! Kamu membuang-buang waktu. Dan berhenti memanggilku dengan nama itu.”

“Jack, aku hanya ingin bersantai sejenak. Lagipula yang membuang-buang waktu itu kamu tahu, seenaknya berhenti untuk membeli benda tidak berguna macam begini.” Jarinya menunjuk pada ikan  di toples Dimitri, sontak lelak itu langsung memberi gestur melindungi toples ikannya yang berharga.

“Jangan sembarangan. Dia ini makhluk yang indah, bahkan lebih indah darimu tahu. Dan aku membenci sekali tabiatmu yang suka memanggilku dengan nama itu.”

Rosena hanya tersenyum puas. Dia tahu, Dimitri sangan tidak senang apabila orang-orang memanggilnya dengan nama belakangnya. Yah, nama Jack terkenal sebagai nama pemberontak, dan lagipula memang benar Jack pemberontak itu adalah ayah Dimitri. Jack Saviero, lelaki yang juga sama-sama memiliki rambut cokelat seperti Dimitri itu kini sudah tidak bisa dijumpai lagi sebab telah dihukum mati delapan tahun yang lalu, tepatnya ketika Dimitri sendiri masih berusia sepuluh tahun. Ia dihukum mati atas kasus pemberontakan pada petinggi negeri. Laki-laki itu memang cukup gila, dia memberontak ingin mengancurkan distrik Ferista hanya demi sebuah peta tidak jelas. Entahlah, tapi khalayak sudah mulai melupakan kejadian itu.

“Hey sudahlah, sekarang ayo kita pulang.” Sean kemudian mulai berjalan dengan memanggul satu karung kecil berwarna cokelat dipundaknya.

Mau tidak mau, perdebatan kecil itu berhenti. Rosena dan Dimitri ikut melangkahkan kaki dan berjalan di belakang Sean. Mereka melewati struktur jalanan yang cukup berlumpur sebab hujan sempat mengguyur. Membuat sepatu boot mereka kian kotor.

“Huh, apa para petinggi negeri tidak ada niatan untuk memperbaiki jalan di setiap gang di pasar ini. Rasanya aku ingin muntah.”

“Hey Sena, jaga bicaramu. Kita sedang ditempat umum. Salah-salah tentara penjaga mendengarmu dan melapor pada kepala negeri.”

“Persetan dengan hal itu, aku hanya ingin sedikit perubahan agar hidupku setidaknya lebih baik.”

Rosena sesekali memandangi para pedagang yang mereka lewati. Ada yang tak acuh, ada yang tersenyum dan itu dibalas senyum Rosena. Mereka kemudian tiba di salah satu tanah lapang yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya kendaraan. Mulai dari kereta kuda sampai kuda itu sendiri.

Sean menaiki kudanya sendiri yang ia namai Captain, Kuda berwarna hitam mengilap itu begitu gagah. Di sisi lain, Rosena juga menaiki kudanya yang berwarna cokelat yang ia beri nama Black. Yah, perempuan itu cukup aneh memang. Dimitri pun menyusul dengan Dieval, kuda putihnya yang bersih. Ketiganya kemudian mulai meningglakan hiruk pikuk pasar yang mereka datangi dua minggu sekali ini. Memacu kuda dengan kecepatan sedang, pulang ke distrik tempat mereka tinggal.

“Hey Sean nanti kita berhenti sesaat sebelum memasuki distrik. Kakek berpesan untuk jangan lupa memakai pakaian hangat. Kau tahu sendiri kan?” Sean mengangguk pelan.

Ketiganya berpacu dengan waktu menggunakan kuda mereka. Mereka hanya harus melewati jalan lurus ke arah Tenggara untuk sampai di tempat tinggal mereka. Melewati jalanan yang padat penduduk, sesekali tanah lapang penuh pepohonan bahkan hutan.

Distrik Greenfit adalah distrik tempat mereka lahir juga dibesarkan. Satu-satunya distrik yang berada di dataran tinggi, berbeda dengan keempat ditrik lainnya yang berada di dataran rendah. Maka dari itu komoditi utama penduduk ditrik ini adalah hasil perkebunan, berupa sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan palawija. Distrik mereka juga dikenal sebagai distrik yang menghsilkan koki-koki handal. Letaknya berada di tenggara negeri ini. Berbeda dengan Distrik Ferista yang padat penduduk, sebab itu adalah ditrik tempat ibukota berada dan pemerintahan berjalan. Distrik Greenfit adalah distrik kedua yang paling sedikit jumlah penduduknya.

Mau tahu distrik mana yang menduduki nomer satu dalam hal jumlah penduduk yang paling sedikit? Jawabannya adalah Distrik Ourtha, letaknya di Utara negeri ini. Satu-satunya distrik yang bebatasan dengan laut.

Distrik ini juga disebut sebagai distrik buangan, sebab para penduduknya adalah mereka-mereka yang dibuang dari distrik kelahiran mereka karena dianggap tidak layak atau memang karena sudah dipandang buruk oleh masyarakat sekitar. Sayang sekali para petinggi negara masih belum bisa menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hak asasi manusia untuk hidup setara ini. Untuk saja masyarakat di distrik ini masih bisa hidup cukup tenang dan memiliki akses untuk bisa mengunjungi distrik lain terutama distrik ibu kota yang memang berada di tengah-tengah negeri. Meskipun pada akhirnya, mereka biasa pulang dengan luka sebab dikeroyok masa dari distrik lain. Ingan lelaki di pasar yang sempat Sean saksikan ketika dikeroyok? Itulah salah satu contohnya. Namun dengan begitu distrik ini memiliki pluralisme penduduk terbaik di negeri ini, sebab penduduk asli distrik ini berasal dari berbagai penjuru.

Mengenai ibukota, Distrik Ferista. Adalah yang paling maju diantara semua distrik. Pemerintahan berjalan di sini, pusat jual beli juga ada di sini dibuktikan dengan pasar raflero tadi, dan pemukiman paling padat juga di sini. Tidak ada yang istimewa selain para penduduk yang katanya pola pikirnya lebih maju dibanding distrik lain juga tempat strategis dengan perbatasan sebelah Tenggara Distrik Greenfit, sebelah Barat Daya adalah Distrik Conse – distrik penghasil tentara dan pandai besi, sebelah Barat adalah Distrik Thirdely – biasa disebut sebagai distrik fashion sebab penduduknya begitu memerhatikan sandang mereka dan kebanyakan ahli sebagai penjahit dan pengusaha butik, dan perbatasan sebelah Utara adalah Distrik Ourtha. Kelima distrik itu saling bekerja sama membangun negeri Limalora ini hingga akhirnya berhasil membuat negeri ini makmur hingga saat ini.

“Hey Sean sepertinya minggu depan kita akan ditugasi paman Jason untuk membawa persediaan sayuran ke Camp tentara Limalora di distrik Conse,” ujarnya cukup keras karena mereka masih berkendara.

“Ya, kurasa hal baik. Siapa tahu kita bisa membawa pulag banyak pisau untuk ditaruh di dapur.”

Rosena menengokkan kepala pada Dimitri yang berada di sebelahnya. “Atau mungkin pedang untuk latihan bertarung kita! HAHAHA!” tawanya begitu keras membuat Dimitri juga Sean hanya menggelengkan kepalanya.

“Dasar maniak.”

Mereka bertiga pun memelankan kecepatan kuda mereka, hingga akhirnya berhenti. Sebuah gerbang besar berdiri tegak, ada sebuah prasasti batu dengan tulisan kuno yang berarti selamat datang di Distrik Greenfit, juga ada petuah-petuah yang tertulis di sana.

“Ah hari sudah semakin gelap saja,” ucap Rosena sembari memasang jaket kulit tebal di badannya.

“Kita harus berhati-hati, akhir-akhir ini kabut semakin tebal.” Sean berbicara kepada kedua sahabatnya meski tangannya sibuk dengan sarung tangan.

Sementara itu Dimitri berbicara tidak terlalu jelas, sebab scarf telah terpasang menutupi wajahnya. “Setidaknya kita harus waspada tapi cepat. Kau tahu bukan, pasti kakek sudah menunggu kita cukup lama. Meskipun ada Yugo yang menemani, aku rasa memang ada hal penting yang akan beliau bicarakan dengan kita.”

“Ya, aku tahu.” Rosena menepuk pundak lelaki itu. “Semenjak insiden “roh keluar” aku tidak bertemu dengan kakek. Aku begitu lapar sekarang, dan begitu merindukan sup panas buatannya. Lebih baik ayo bergegas.”

Setelah menaiki kudanya, Rosena langsung pergi memasuki wilayah distriknya. Ia meninggalakan kedua lelaki itu yang kemudian menyusulnya beberapa saat kemudian. Kini mereka menunggangi kuda dengan pakaian yang cukup tebal dan tertutup karena memang suhu cukup dingin. Mengenai insiden “roh keluar”, itu adalah sebutan dari para penduduk untuk peristiwa tiga minggu yang lalu tentang keluarnya asap dan gas putih dari puncak pegunungan. Semenjak itu, cuaca menjadi tidak terkontrol dan suhu udara kian menurun. Selain itu menjelang malam selalu ada kabut, sebab sebelum ada peristiwa itu segalanya tidak separah ini. Entahlah apa yang terjadi, tapi para sesepuh distrik, termasuk kakek yang akan mereka temui telah mengetahui sesuatu tapi memutuskan untuk tidak memberi tahu siapapun, kecuali para petinggi negara.

Kakek yang juga sesepuh dengan kedudukan tertinggi di Greenfit itu sempat mengutus cucunya yang tak lain Yugo Anderson untuk membawa surat pemberitahuan pada petinggi negara. Saat itu Yugo pergi dengan Sean, sebab lelaki itu juga memang sering mendatangi ibukota. Tapi sanpai saat ini tidak ada satupun utusan dari pemerintahan pusat yang datang kesini, atau sekedar balasan surat pun tidak ada.

Pemandangan samping kanan dan kiri mereka bertiga yang semula tanah lapang, hutan, dan deretan tanaman perkebunan yang berjejer rapi kini berganti menjadi pondok-pondok rumah yang terbuat dari kayu. Lentera di depan masing-masing rumah telah menyala, para penduduk banyak yang bercengkrama di depan halaman rumah mereka sebelum tiba waktunya mereka akan masuk ke tempat tinggal masing-masing untuk menghangatkan diri bersama keluarga.

Rumah-rumah dengan ornamen yang kebanyakan berwarna cokelat itu memiliki jarak anatara satu dengan lainnya. Berbeda dengan rumah-rumah di pemukiman Distrik lainnya yang begitu padat hingga saling berdempetan, di sini tidak berlaku hal seperti itu.

Rosena yang memimpin perjalanan kali ini mulai membelokkan Black pada sebuah pondok kecil yang cerobong asapnya sudah mengeluarkan asap hitam. Pondok kecil dengan belasan tanaman anggrek hitam di bagian depan halaman rumahnya. Rosena tersenyum memandangi bangunan itu, matanya berbinar dan giginya yang berderet rapi Nampak muncul dnegan percaya diri. Perempuan berambut pirang sebahu itu akhirnya turun dari kudanya.

“Hey Black, kau di sini dulu ya. Nanti kuambilkan jerami.” Tangannya mengusap-ngusap tubuh Black, membuat kuda itu cukup nyaman.

Rosena pun memasuki pondok kakek, setelah sebelumnya melihat Sean juga Dimitri tengah menempatkan kuda mereka di samping Black.

“Hello kakek!” Teriaknya setelah membuka pintu, tapi yang ia dapati di depan matanya justru membuat sekujur tubuhnya membeku. Iris mata hijaunya menangkap hal yang sangat mengejutkan.

Sean dan Dimitri pun tak kalah menahan napasnya ketika berdiri di belakang perempuan itu, yang artinya pandangan keduanya juga mengarah ke hal yang sama. Terkejut, itu satu kata yang mendeskripsikan mereka bertiga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status