Setibanya di kota tempat Edgar bertugas…
“Sebentar lagi kita sampai, dek.”
“Mampir dulu ke warung makan langganan kakak ya. Kamu pasti lapar.”
“Boleh kak, yang ada di belakang Polda bukan sih tempatnya?
“Betul sekali. Seratus buat Marissa, sejuta buat Kak Edgar.” ucap Edgar sembari mengacak gemas rambut Marissa.
“Kalau cuma sejuta aku juga punya. Gak perlu nunggu Kak Edgar kasih.”
“Iya deh yang gajinya mendekati dua digit, apalah kakakmu ini, yang gajinya gak seberapa.” ujar Edgar merendah.
“Merendah untuk meroket sekali kakakku ini. Emang bener sih gaji kakak gak seberapa, tapi remon plus tunjangan kinerja kan banyak.”
“Udah-udah jangan dibahas lagi, nanti kamu minder lho. Mending sekarang kita turun aja, udah sampai lho ini.”
Edgar pun turun dari Honda HR-V hitam miliknya, yang kemudian langsung masuk ke dalam warung makan langganannya, tak lama kemudian disusul oleh sang adik. Setibanya mereka di dalam warung makan, seluruh atensi pengunjung tertuju kepada Marissa yang terlihat mengekori Edgar.
“Tumben bang ajak pacar makan di warung.” celetuk salah seorang laki-laki yang diklaim merupakan salah satu junior Edgar di kantor.
Marissa yang mendengar pertanyaan itu pun hanya melempar pandang ke arah Edgar, seolah meminta penjelasan tentang kata pacar yang diucapkan salah satu pengunjung warung makan.
“Biarlah sesekali dia tahu kalau kehidupan seorang polisi tak selalu bergelimang harta. Supaya jadi pembelajaran juga kalau esok menjadi istri polisi harus bisa memanjakan suaminya.”
Seketika raut wajah Marissa berubah, seolah menahan amarah kepada kakaknya itu. Ingin rasanya Marissa membela diri dan mengungkapkan bahwa dirinya adik dari Edgar.
“Kamu mau makan apa dek? Mau makan di sini atau dibungkus saja? tutur Edgar yang terdengar sopan dan lembut di pengupingan setiap orang yang mendengarnya.
“Samain kaya kakak, bungkus aja, terus makan di rumah biar cepet.” balas Marissa dengan ketus.
“Wah, marah tuh pacarnya, bang. Harus cepat dirayu itu bang, supaya gak terjadi gonjang-ganjing rumah tangga. Bahaya lho kalau sampai wanita marah, bisa kaya singa kelaparan.”
Sementara Marissa hanya melempar pandang ke arah junior sang kakak dengan tatapan yang tak mampu diartikan. Tatapannya hampir sama seperti singa kelaparan yang hendak memangsa target buruannya.
“Bu, catat dulu ya, besok pagi saya bayar sekalian.”
“Beres Pak Edgar, kayak sama siapa aja.” jawab wanita pemilik warung kepada Edgar dengan senyum yang dibuat semanis mungkin seolah sedang menebarkan heroin cinta.
“Malu-maluin gue sumpah. Begini nih yang bikin pedagang kecil gulung tikar.” umpat Marissa dalam hati.
“Jadi totalnya berapa bu? Biar saya saja yang bayar, sekalian tagihan makan milik mas yang duduk di pojok itu.” ucap Marissa seraya membuka dompetnya.
“Totalnya enam puluh delapan ribu mba.” jawab pemilik warung.
Kamudian Marissa menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna biru kepada sang pemilik warung.
“Kembaliannya simpan dulu aja bu, buat jaga-jaga kalau Edgar makan tapi gak bayar.” Ucap Marissa dengan nada sinis sembari menatap tajam kakaknya.
Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum kikuk sembari mengambil bungkusan makanan yang berada di atas etalase. Akhirnya Marissa pun keluar dari warung makan tersebut tanpa berucap sepatah kata. Mengetahui jika sang adik keluar dari tempat tersebut, akhirnya Edgar menyusul sang adik keluar. Tak lupa pula ia berpamitan kepada juniornya yang sedang menikmati makanan di pojok ruangan itu.
Edgar pun keluar dengan tergesa-gesa karena melihat sang adik yang sudah bertengger di depan mobil kesayangannya dengan raut muka yang terlihat seperti dosen killer.
"Kak, mana kunci mobil lo? Biar gue aja yang nyetir." ucap Marissa dengan datar.
Edgar yang mengetahui perubahan pada adiknya itu hanya bisa pasrah menerima keadaan, pasalnya ia tahu jikalau adiknya marah ataupun kecewa kepada seseorang, pasti ia akan merubah gaya bicaranya.
"Ini dek."
"Tapi kamu jangan ngebut ya bawa mobilnya. Kakak ngeri kalo diajak ngebut kamu."
"Ck! Berisik aja sih lo, kak!"
"Percaya aja sama gue, gue gak akan bikin lo celaka apalagi mati muda." jawab Marissa disertai seringai kecil yang terlukis di wajah cantiknya.
Akhirnya kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalannya yang tertunda. Perjalanan dari warung makan ke rumah dinas Edgar tak membutuhkan waktu yang lama mengingat karena Marissa mengendarai mobil milik kakaknya itu dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Sedangkan sang kakak hanya bisa menghembuskan napas lega karena mereka berdua tiba di rumah dengan selamat.
"Dek, besok lagi jangan ngebut ya. Kak Edgar takut."
"Gue gak janji kak. Lagipula kalau lo ngejar buronan kabur juga bakal diajak ngebut kan?"
"Ya tapi kan ngebutnya kira-kira juga, dek. Kamu kan perempuan."
"Jadi karena gue perempuan jadi gak dapet ijin ngebut gitu? Buat apa Kartini memperjuangkan hak wanita kalo yang begini aja masih disepelekan? Terus buat apa ada pembalap perempuan? Cuma buat ramein sirkuit doang? Biar penonton sorak-sorak aja gitu? Tolong mikir sampe situ kak!"
"Dan satu hal lagi yang perlu lo tahu kak, gue gak suka kalo lo nutup-nutupi identitas gue di depan temen-temen lo. Kalo emang lo malu punya adek macem gue, harusnya lo bilang ini dari awal, supaya gue gak usah ikut lo pindah ke sini dan tentunya lo juga gak repot ngurusin gue."
Ucapan dari Marissa seakan tamparan keras yang diterima oleh Edgar. Dirinya merasa amat sangat bersalah akibat ulah usil yang ia perbuat kepada adiknya.
"Maafin Kak Edgar, dek."
"Kakak gak ada maksud buat nutupin identitas kamu di depan teman-teman kakak."
"Kakak cuma mau lindungi kamu, kakak gak mau kalau kamu jadi incaran teman-teman kakak yang genit." ucap Edgar dengan penuh penyesalan.
"Tapi lo kan seharusnya bisa nyangkal waktu temen lo bilang kalo gue pacar lo! Ayolah kak, gue bukan anak kecil umur dua belas tahun yang gampang tergoda dengan rayuan gombal gak bermutu dari temen-temen lo. Buktinya gue bisa jaga diri selama lo jauh dari gue."
"Sekali lagi kakak minta maaf, dek. Kakak janji gak akan ulangi lagi. Jadi, kakak mohon jangan pernah bilang elo gue lagi ke kakak, ya? Kak Edgar sayang banget sama Marissa."
Begitulah Edgar yang sedang berjuang meminta maaf serta membujuk adik kesayangannya agar sang adik mau mengubah gaya bicaranya lagi.
Bersambung...
Keesokan paginya...Pagi ini terasa sangat berbeda bagi Marissa, pasalnya ia harus bangun lebih awal dari biasanya mengingat sekarang ia tinggal bersama sang kakak di asrama kepolisian. Pagi ini Marissa mengawali paginya dengan memasak menu sederhana untuk sarapan serta bekal makan siang sang kakak. Berbekal ilmu memasak yang diajarkan oleh mendiang ibunya, akhirnya pilihan Marissa jatuh pada menu chicken katsu curry sauce untuk bekal sang kakak dan sup ayam untuk sarapan meraka berdua.Tak lama kemudian, kedua menu tersebut telah tersaji rapi di atas meja makan. Tak lupa pula bekal untuk sang kakak yang sudah tertata rapi di dalam lunch box."Akhirnya kelar juga gue masak. Oke, sekarang saatnya gue bangunin Kak Edgar, terus mandi deh."Kemudian Marissa melangkahkan kakinya menuju kamar utama, kamar yang ditempati oleh Edgar. Lalu Marissa memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar itu."Kak... Kak Edgar... Ayo bangun
"Tumben bawa bekal lo?" ucap David sembari mendekati Edgar."Rissa masakin gue tadi pagi. Kata dia, gue gak boleh jajan sembarangan. Jadi dia masak deh buat bekal gue." jawab Edgar dengan mata berbinar."Idaman betul adek lo. Kalo gue lamar buat jadi Bhayangkari gue boleh gak?""Udah siap dapet bogem mentah dari gue, lo? Gebetan sama pacar-pacar lo mau lo kemanain?""Jelas gue putusin mereka lah, gue niat serius nih. Lo mau kan jadi kakak ipar gue, Ed?"Kalo gue sih terserah Marissa aja. Tapi menurut feeling gue nih ya, Marissa gak mau sama lo, soalnya dia juga tahu kalo lo playboy. Lagipula Marissa masih setia sama cinta pertamanya.""Gila, setia juga adek lo bro. Gue kira dia udah lupa sama cinta monyetnya. Oh iya, gue denger-denger si Jevin jadi Marinir ya? Hebat juga tuh bocah, padahal dulu jadi bahan bully temen-temennya karena introvert." kata David yang ikut serta memakan bekal buatan Marissa itu."Jangan suka
Sedangkan di sisi lain, Edgar terlihat panik serta khawatir akan keadaan adiknya pasca tragedi telepon tadi. Hatinya terasa tidak tenang setelah mengetahui bahwa adiknya terkena tilang."Gue bilang juga apa, Ed. Lo terlalu jahil jadi abang. Becanda lo keterlaluan. Kalaupun gue yang ada di posisi Marissa, gue juga akan lakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih parah dari itu.""Tapi sayangnya lo bukan Marissa, Vid. Gue khawatir banget. Kira-kira Marissa gimana ya? Dia pasti nangis. Dia kan taat aturan banget. Selama ini dia belum pernah kena tilang. Udah gitu pasti Daniel bentak-bentak Marissa karena dia gak bawa SIM sama STNK." ucap Edgar sambil mondar mandir tak jelas."Lo terlalu overthinking sih. Menurut gue, Marissa bakal lewatin itu semua dengan tenang. Lo gak inget dulu waktu kita bertiga dipalakin anak kampung belakang komplek? Buktinya Marissa bisa tuh luluhin anak bar-bar macem mereka. Udah mending lo tenang dulu, duduk, napas yang teratur. Jujur gu
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela