Sepertinya Cia sudah lupa bagaimana caranya untuk bernapas. Posisi duduknya yang tegak menjadi bukti jika ia sedang tegang saat ini. Mata cantik itu masih fokus ke arah depan, menatap seorang pria yang tengah merapikan rambutnya dengan gel. Apapun yang pria itu lakukan, tak lekang dari pandangan Cia. Gadis itu terpesona. Lagi-lagi dia kembali dibuat jatuh cinta pada Agam. Pakaian batik telah melekat sempurna di tubuh Agam. Tubuhnya yang proporsional membuatnya terlihat bak model majalah. Karena itu juga Cia dibuat bungkam dengan pesonanya. "Tutup mulut kamu." Cia menutup mulutnya cepat. Dia mengalihkan pandangannya dari Agam. Lamunannya seketika buyar saat pria itu berbicara. Rasa malu langsung menyerangnya. Sepertinya memang lebih baik seorang Agam Mahawira tidak perlu mengeluarkan suara. "Acara mulai jam berapa?" tanya Agam melirik Cia dari cermin. "Jam empat sore." Agam mengangguk dan kembali merapikan penampilannya. Sesekali dia melirik Cia yang duduk di belakangny
Agam benar-benar mengikutinya. Cia tidak pernah membayangkan jika akan membawa pria itu untuk bertemu keluarganya. Awalnya, Cia tidak berharap banyak. Agam mengizinkan pengajuan cutinya saja dia sudah sangat senang. Namun ternyata Agam memang penuh kejutan. Tanpa memikirkan rasa lelah di tubuh serta kesibukannya di kantor, Agam mengikuti Cia hingga ke rumahnya. Di sinilah mereka, di depan rumah Nenek Cia yang begitu sederhana, tidak besar dan juga tidak kecil. Khas rumah desa yang didominasi kayu dengan halaman yang luas. "Aku deg-degan." Cia mengambil tasnya sambil menyentuh dadanya. "Kenapa?" "Aku harus bilang apa ke Ibuk tentang Kak Agam?" Cia menggigit bibirnya. "Bilang apa yang kamu mau." "Kak Agam nggak deg-degan?" Cia mengerucutkan bibirnya. Tidak mungkin jika hanya dirinya saja yang gugup. Agam yang merupakan orang baru seharusnya merasakan hal yang sama. Sayangnya Cia tidak menemukan ekspresi gugup di wajah pria itu. Agam terlihat begitu tenang seperti genanga
Wajah ceria tanpa celah itu tak pernah menghilang barang sedetik. Senyum lebar dengan memperlihatkan gigi putih masih tampak menghiasi. Gadis itu tak peduli jika giginya akan kering, karena suasana hatinya yang baik saat ini lebih penting. "Sepuluh menit lagi studio dibuka." Dika datang dengan membawa dua minuman serta satu popcorn berukuran besar. Gadis di hadapannya dengan senang hati menerimanya. "Kak Dika nggak apa-apa nonton horror?" tanya Febi. Dika mengedikan bahunya, "Nggak masalah. Bukannya kamu suka?" "Tapi Kak Dika nggak suka. Padahal ada film superhero juga." Febi mendadak merasa bersalah. Jangan pernah lupa dengan sikapnya yang hiperbola. "Kakak bisa nonton lain kali." Senyum Febi tiba-tiba kembali merekah. "Nonton sama aku aja. Gantian aku temenin. Gimana? Mau kapan? Besok? Oh, atau habis ini?" Dika tertawa mendengar antusias Febi. Dia tidak menjawab karena sudah dipastikan Febi telah membuat jadwal baru untuk mereka. Saat ini mereka berjalan beriring
Dalam waktu sekejap langit cerah berubah menjadi mendung. Membuat hati Agam yang kacau juga tampak mendukung. Perasaan bersalah membuatnya mematung. Kala mendengar kalimat-kalimat sakit yang menghunus jantung. Sampai kapan Agam harus bertahan di tempat ini? Dia lelah mendengar perbincangan dua pria paruh baya yang ia hormati, sayangnya juga ia benci untuk saat ini. Mungkin terdengar kasar di telinga. Namun itulah yang Agam rasakan saat ini. "Permainan kamu kurang bagus hari ini, Gam." Agam menatap bola yang ia pukul dan mengangguk setuju. Dia tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke mata. Kemudian ia bergerak untuk mundur. Tidak berniat menjawab karena rasa malas yang ia rasakan. "Kamu sakit?" Suara lembut itu terdengar di telinga. Agam menggeleng dan mengambil jarak selebar satu meter. Dia tidak mau dekat dengan siapa pun untuk saat ini. Jangan pernah mendekatinya jika tak ingin melihatnya kehilangan kendali. "Gimana hubungan kalian? Ada perkembangan?" Ayah Agam mul
Memang sulit jika membicarakan masalah hati. Apa lagi pada orang yang sedang tersakiti. Tak ada yang bisa membantu selain diri sendiri. Membuat semua perhatian yang ada seolah tak lagi berarti. Di meja makan itu, tidak ada yang membuka suara. Febi meringis melihat tingkah sahabatnya. Seperti kerasukan, Cia memakan baksonya dengan lahap. Bukan itu sebenarnya akar permasalahannya. Banyaknya sambal yang Cia tuang lah yang membuat Febi bergidik. Febi tahu suasana hati Cia sedang tidak baik. Oleh karena itu dia membiarkannya. Namun jika terus diam, maka Cia yang akan berakhir kesakitan. "Pelan-pelan." Febi memberi selembar tisu. "Sambelnya lo makan nggak?" tanya Cia pada Ridho. "Makan aja." Ridho memberikan sambalnya. Ya, pria itu juga ada di apartemen Cia malam ini. Menuruti permintaan temannya yang menginginkan bakso mercon. Setelah mengetahui apa yang terjadi dari mulut Febi, dia langsung meluncur. Ridho masih tidak menyangka akan aksi orang tua Febi yang secara terang-ter
Keadaan benar-benar tidak lagi memungkinkan. Dua sejoli yang saling mencintai harus menjaga jarak karena situasi yang tak aman. Memilih untuk mengalah demi keegoisan. Tak ingin jika kebencian akan semakin menekan. Cia pikir kesabarannya selama ini akan memberi sedikit keringanan. Namun malah berubah kebalikan. Masalah kompleks pun tak bisa lagi diabaikan. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain bertahan. Namun resiko yang ia tanggung adalah siksaan batin yang tak terhindarkan. "Jangan melamun," tegur Dika berbisik. Cia mengerjap dan menggeleng pelan. Dia kembali menatap laptopnya. Berusaha fokus mencatat poin penting dalam rapat siang ini. Melihat Agam dalam mode serius seperti ini membuatnya sering lupa diri. Selain mengagumi, Cia juga teringat dengan apa yang mereka lalui akhir-akhir ini. "Saya akan ikut memantau semuanya sampai akhir tahun. Setelah itu kita evaluasi. Jika penurunan berhasil ditekan maka kita lanjutkan dengan strategi yang sama. Jika tidak, saya minta tim
Agam kembali melakukan perjalanan kerja. Bedanya kali ini dia berangkat ke luar negeri, lebih tepatnya Jepang. Namun sayang, Cia tidak bisa ikut mendampingi. Kendalanya adalah dia belum memiliki passport. Jika membuatnya lebih dulu tentu akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sedangkan Agam tidak memiliki banyak waktu lagi di tengah kesibukannya. Sudah dua hari Agam pergi. Tidak sendiri, melainkan ada Dika yang menemani. Jika tidak ada pria itu, mungkin Cia tidak akan mengetahui kabar Agam. Pria itu benar-benar sibuk. Agam sedang melakukan banyak usaha untuk membuat perusahaan membaik. "Punggung gue capek banget," gumam Cia merenggangkan punggungnya. "Mau gue pijitin?" tanya Febi dari belakang. Cia menggeleng dan menekan kata sandi apartemennya. Febi juga melakukan hal yang sama. Mereka baru saja pulang dari kantor saat ini. "Feb?" panggil Cia sebelum masuk ke apartemennya. "Ya?" "Pijet, yuk?" ajak Cia dengan wajah berseri. Membayangkan tubuhnya dipijat oleh tena
Bagi Cia, lemah karena cinta adalah hal yang memalukan. Dia bisa berkata demikian karena mengalaminya sendiri. Cia memiliki kebiasaan buruk tentang cinta. Akal sehatnya seolah hilang jika sudah berurusan dengan perasaan murni itu. Jika cinta tersebut memberikan kebahagiaan, tentu akan menjadi energi yang positif. Namun bagaimana jadinya jika rasa cinta itu memberikan kesedihan? Bukan hanya akal sehat yang hilang, tetapi juga gairah hidupnya. Entah sudah berapa lama Cia duduk di sofa sambil menatap jalanan ibu kota, dia sendiri tidak tahu. Yang pasti setelah pulang dari bekerja, dia langsung duduk di sana sampai hari mulai gelap. Masih dengan pakaian kerjanya, Cia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Jangankan berganti baju, untuk menyalakan lampu saja dia sudah malas. Hatinya benar-benar tidak tenang. Namun Cia tidak menangis kali ini. Dia sudah lelah meratapi nasibnya sendiri yang menyedihkan. Dia hanya butuh Agam untuk mendukungnya. Karena Cia bertahan hingga saat ini ju