Brakkkk! "Pak, tolong jangan tangkap mereka. Kita selesaikan dengan cara baik–baik. Zaskia dan Erlangga memang akan meni–!" Kalimat Ratna menggantung. Matanya membelalak saat melihat Aldo yang tidur bersama Zaskia dan bukannya Erlangga. Dia datang bersama beberapa satpol PP. Di ikuti Fredy dan juga Santoso. "Bangun! Ikut kami ke kantor satpol PP jika tidak punya buku nikah!" teriak salah satu petugas itu hingga membuat Aldo dan Zaskia yang tidur saling berpelukan terkejut. Sebenarnya… Beberapa jam sebelum kejadian panas–panasan. "Tante punya rencana lain!" Ratna berbisik pada Zaskia, "Tante juga akan menjebak wanita kampungan itu. Tetapi dengan temannya Erlangga. Itu si Aldo. Sementara wanita itu dengan Aldo, kamu dengan Erlangga." Zaskia tersenyum licik mendengarnya. "Bagaimana? Bagus 'kan rencana Tante?" Zaskia hanya mengangguk tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui." Setelah itu, Ratna mengambil segelas lagi dan memberikannya p
Siapa lagi kalau bukan Ratna. Dengan wajah yang masam, dia melewati Sumi dan Sabrina begitu saja setelah mengatakan itu. "Sabar, Neng. Semenjak Neng Sabrina pergi waktu itu, sikap Nyonya berubah menjadi dingin dan ketus." Sabrina hanya mengangguk meskipun muncul pertanyaan di benaknya. Setelah makanan sudah tinggal dihidangkan, Sabrina memanggil suami dan anaknya di kamar Bulan. Pintu tidak terkunci, Sabrina bisa melihat sedikit keadaan di dalam kamar. Sudut bibirnya terangkat ke atas saat melihat Erlangga dan kedua putrinya bercanda dan tertawa lepas. Baru saja kaki kanan Sabrina masuk ke dalam, tangannya di tarik oleh Ratna. "Tunggu!" Sabrina kembali mundur dua langkah. "Ada apa, Ma?" "Ma?! Haha, tidak masalah," cibir Ratna lalu tersenyum sinis. "Saya kemari hanya ingin memperingatkan kamu. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan kalian. Walaupun harus menggunakan kejahatan. Dunia akhirat saya benar-benar tidak ridho anak saya menikah dengan anak dari penghianat
"Surprise!" teriak Bela, Luna dan Ilham. Luna dan Ilham membawa spanduk yang bertuliskan 'surpise' dan Bela menunjuk spanduk itu dengan kedua tangannya. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Sabrina adalah, pemandangan di depannya. Pagar toko yang merupakan bagian tempat tunggu dan pembayaran sudah berubah dekorasinya. Letak perabotnya masih sama, tapi seluruh perabotannya sudah terganti dengan yang baru. Wallpaper dinding juga berubah. Yang semula berwarna biru, kini berwarna hijau segar gambar dedaunan. Meja kasir dan sofa juga baru dengan warna yang senada. Ruangan itu sekarang terlihat lebih elegant. "Bagaimana, Bia, kamu suka?" tanya Erlangga. Sabrina tak mampu berucap, jadi dia hanya mengangguk sembari menahan air matanya yang tergenang di pelupuk mata. Tangan kirinya terangkat dan mengusap air mata yang hendak jatuh. Lalu dia berbalik menatap Erlangga. "Terima kasih, Mas!" Mereka saling berbahagia dan Erlangga mengajak semua makan–makan. Sembari membahas kapan toko akan di
"Hah!" "Kenapa? Kamu kaget karena Mami tahu isi hatimu?" Sembari mengunyah apel, Sekar melirik putranya tajam. Lalu dia melanjutkan menggigit apelnya dan berkata, "Anggap saja Mamimu ini keturunan cenayang. Sudahlah, Mami mau pergi. Pokoknya dalam seminggu kedepan, kamu harus sudah memberi jawaban ke Mami!" Sekar melenggang keluar, membuat Aldo menghembuskan napasnya dan langsung bersandar pada sofa. Seketika dia merasa lega. Namun kalimat akhir yang di ucapkan Sekar kembali membuatnya pusing. Tangan kirinya memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Setelah beberapa lama dalam posisi itu, matamya yang semula sayu tiba–tiba menyipit dan seukir senyuman terlintas di wajahnya. "Bukankah PT Masapin menanam saham pada PT ELJI Grup? Bagaimana kalau aku menggunakan cara itu untuk membuat Zaskia mematuhi ucapan ku?" ***Hari ini, Erlangga mengajak keluarga kecilnya kembali berlibur ke pantai. Tiga karyawannya sudah dipulangkan. Ombak bergulung kecil. Tari dan Bulan bermain kejar–kejar
Saat ini, hati Ratna terasa ditikam belati yang sangat tajam. Air mata wanita itu meluncur tanpa aba–aba. Semantara Fredy pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Rasa iba di hatinya sudah dikalahkan oleh rasa muak karena tingkah Ratna sendiri. "Hancur sudah semua! Hancur!" Ratna berteriak bak orang kesetanan. Dia memukul dirinya sendiri lalu menjambak rambutnya hingga berantakan. Sumi yang menyaksikan dari balik dinding dapur merasa iba. Sebagai sesama perempuan, dia bisa merasakan sakit hati yang di alami Ratna. Terlebih itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Sekitar beberapa menit, Ratna bangun dari posisinya yang sekarang. Namun, dia melihat Fredy yang kembali keluar dengan wajah segar seperti habis mandi. Baru saja hendak buka suara, Fredy sudah berkata terlebih dulu. "Tidak usah menungguku! Mungkin aku akan pulang dua hari lagi." Ratna menanggapinya dengan tersenyum. Dia menjadi enggan berbicara lagi.Fredy pun hanya meliriknya sekilas lalu pergi. Tentu saja ke ruma
Matahari telah keluar dari peraduannya dan kini menampilkan sinar jingga yang indah dan menyejukkan. Sabrina menyibak tirai kamar mertuanya, hingga membuat Rana terbangun karena silau. "Mama sudah bangun? Ayo Bia bantu ke kamar mandi. Setelah itu kita sarapan." Sabrina mengulurkan tangannya. Ratna yang kini sudah pada posisi duduk menatap tangan Sabrina cukup lama. Sabrina mengira kalau Ratna akan menepisnya, tapi Ratna justru meraih tangan yang menggantung udara itu. Ibu anak kembar itu tercengang tak percaya saat mertuanya menerima uluran tangannya. "Ayo." Sabrina tersadar dan langsung bersemangat menggandeng mertuanya ke kamar mandi. Dia setia menunggu Ratna sampai selesai. Bukan hanya itu, tapi tadi malam dia bergantian begadang dengan Erlangga untuk menunggu Ratna. Ratna tak sengaja terjaga, dia melihat Sabrina yang tertidur sembari duduk menunggu dirinya. Saat itu Erlangga terbaring di sofa dalam kamar Ratna dekat jendela. Hatinya tersentuh melihat pemandangan itu. Dia
"Jaga bicaramu!" bentak Fredy karena merasa ucapan Ratna menginanya juga istri barunya yang tak lain adalah Dewi. Si sekretarisnya. Raut wajahnya menjadi merah padam. Sementara raut wajah Dewi pucat pasi. "Jaga dari apa, Pa? Kurasa ucapanku tidak salah. Bagian mana yang salah? Saat aku mengucapkan selamat? Saat mengucapkan pelakor? Atau saat mengucapkan perbuatan haram kalian?" "Kamu…" Fredy melayangkan tamparan untuk Ratna, tapi Erlangga dengan sigap menangkap tangan Fredy sebelum mengenai pipi Ratna. "Jangan coba–coba menyakiti Mama! Tergores sedikitpun kulit Mama jika itu adalah perbuatanmu, maka siap–siap hidupmu akan hancur. Aku akan melupakan kalau kau adalah Papaku." ***Di rumah Ratna dan Fredy. Kelima orang yang terlibat adu debat di rumah sakit tengah duduk di sofa bentuk leter u dengan suasana yang senyap. Mereka saling menunduk dan sesekali melirik ke arah yang lain. Sampai Sumi datang dan menyajikan lima minuman untuk mereka. Baru setelah itu, Fredy membuka suara
Di sebuah aula hotel yang sangat megah, dua sosok pria dan wanita masuk dengan bergandengan tangan. Dengan percaya diri, Erlangga dan Sabrina melangkah ke dalam. Banyak oraparazi yang mengabadikan kejadian itu. Meskipun bukan sosok artis, Erlangga menjadi terkenal karena perusahaan yang di dirikannya sendiri telah mendunia. Keduanya melihat Farhan dan Susi duduk di kursi barisan agak jauh dari panggung. "Kita duduk disana ya, Mas." "Ayo." Kursi tamu berkonsep seperti di sebuah kafe maupun restoran. Yaitu, meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. "Wahh, kalian awal banget datangnya," ujar Sabrina yang membuat Susi dan Farhan menoleh. "Ehh, kalian sudah datang!" seru Susi uang langsung berdiri dan memeluk Sabrina. Sementara kedua wanita itu berpelukan melepas rindu, Erlangga dan Farhan berjabat tangan versi mereka. "Apa kabar kalian?" tanya Farhan setelah mereka duduk. "Seperti yang kalian lihat." "Kembar tidak ikut ya? Sayang sekali, aku sangat merindukan Tari.