Manik biru Miller terpancar dalam kegelapan seolah memeriksa gadis yang sedang memohon yang ada dihadapannya itu. Sedetik kemudian, dia mengeluarkan gelak tawanya. "Hahaha! Hentikan leluconmu, Allora! Aku tidak bisa meladeni kegilaanmu lebih lama lagi. Max sudah menunggumu dengan benderanya yang siap kamu kibarkan kembali.""Nah, selamat malam," ucap Miller melambaikan tangannya.Namun, Allora menahan pergelangan tangan bekas suaminya itu. "Miller, pikirkan baik-baik permintaanku. Kumohon,"Miller menyentak tangan kecil itu dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada dalam benak pria itu untuk menerima kembali cinta gadis yang pernah ada dihatinya tersebut. Malam berganti dengan pagi. Dinginnya bulan setengah itu berganti dengan hangatnya sinar mentari dsn membangunkan sepasang suami istri yang tertidur sambil berpelukan erat. Sang wanita terbangun lebih dulu dan mengerjapkan kedua matanya. Dengan lembut dia mengecup kening calon suami resminya. "Selamat pagi, Sayang,"Jemarinya menyelu
Setelah acara pernikahan yang cukup mengejutkan semua orang itu, keadaan rumah Camilla menjadi ramai. "Kenapa kamu tetap pindah, Miller? Aku sudah menikah dan kita bisa ... Kamu tau maksudku, kan?" Allora bertanya pada pria yang sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper besar. Pria itu tidak mengindahkan ucapan Allora. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya seolah Allora sebuah alunan musik yang menemani kesibukannya malam itu. "Hei, Miller! Jawab aku! Aku ingin bersamamu dan aku menyesal karena aku menikahi saudara kembarmu! Miller, hei!" Allora terus mengoceh tanpa henti. Malam itu, Camilla mengungkapkan keinginan mereka untuk pindah kepada pelayan di rumah itu. Sayangnya, Allora mendengar apa yang kakak iparnya itu katakan. Gadis itu menunggu sampai Camilla tertidur dan menghampiri Miller di kamar bawah. Dia terus meminta mantan suaminya itu untuk kembali padanya. "Miller, aku rindu padamu. Kumohon, kembalilah padaku!" pinta Allora dalam usahanya yang terakhir. Akhirnya, Mi
Gemericik suara air mancur menemani pertemuan dua orang malam hari itu. Seorang gadis dengan rambut ikal panjang menjuntai di punggungnya menatap seorang pria besar tanpa ada rasa takut di kedua matanya. "Ada kepentingan apa sampai Anda menemuiku di malam yang dingin ini, Nona?" tanya pria itu menyeringai lebar. Gadis itu duduk tegak lurus, wajahnya terlihat tegas, dan keras. "Aku tau layar belakangmu, Tuan Dominic Cortez.""Tapi, kedatanganku ke sini bukan untuk meminta pengampunan atas apa yang terjadi dengan Anda dan suamiku. Justru, sebaliknya. Aku ingin menawarkan kerja sama," kata gadis itu dengan berani. Seketika itu juga, pria yang sebenarnya tampan itu bertepuk tangan serta melakukan standing applause. "Hahahaha! Wow! Tak kusangka, salah satu nyonya besar memiliki sifat seperti ini!""Lalu, apa yang Anda tawarkan, Nyonya Sillas?" Cortez bertanya lagi. Senyum belum hilang dari wajahnya. "Allora saja, boleh?"Gadis itu menggerakkan kepalanya sedikit, tanda dia tak peduli ora
Setelah menghabiskan malam yang penuh gairah berdua, Allora pun kembali ke rumah Camilla. Dia menemukan Max di ruangan kerjanya. "Darimana saja kamu?" tanya Max tajam. Malam itu, di malam yang sama, Max mendapatkan tanda merah di pipinya. "Pergi dari rumahku, Max, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" tukas Camilla malam itu sesudah Max menciumnya. Pedih. Itulah yang dirasakan oleh Max. Setelah itu, dia kembali ke rumah dan menemukan ruangan kerjanya berantakan. Selain itu, dia tidak menemukan Allora di rumah itu. Wajar saja, jika pagi ini, Max sangat marah kepada istrinya tersebut. "Ke mana riasanmu? Dengan siapa kamu tidur tadi malam dan mengapa ruangan kerjaku seperti kapal pecah?"Dihujani pertanyaan seperti itu, Allora memasang wajah sedih. "A-aku hanya ingin ...,""Ah, baiklah! Aku bertemu dengan seseorang dan seseorang itu ada kaitannya denganmu. Jadi, aku mencarinya di sini dan tadaaaa! Aku menemukannya!" ujar Allora meninggalkan kepalsuannya. Max mengerenyit. "Si
Suara alat pacu jantung berbunyi memenuhi sebuah ruangan yang didominasi warna putih itu. Selang oksigen serta selang infusan melintang di sekujur tubuh seorang wanita. Dua orang pria yang menunggu di luar terlihat cemas. Sesekali mereka duduk, lalu berdiri, kemudian duduk kembali. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya pria yang lebih muda sambil mengusap kasar wajahnya. Pria yang lebih tua menggeleng lemah. "Dia ingin ke kantor. Milla sempat berkata kepadaku kalau hari ini dia gelisah dan cemas,"Miller, nama pria muda itu. Dia beranjak dari kursinya dan kembali melihat kondisi wanita yang sedang terbaring itu dari jendela kaca. "Dia melarangku bekerja hari ini dan dia bertanya apakah aku akan tetap mencintai dia dalam kondisi apa pun. Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku akan tetap menyayangi dia!" Miller menunduk dan mulai menitikkan air matanya. "Bodoh sekali kamu, Milla!" tukas pria itu lagi. Pria yang lain menghampiri Miller dan merangkulnya. "Kita berdoa saja semoga Camilla cep
"Begini, Tuan Polisi Yang Terhormat. Putri saya menyebut nama Dominic Cortez sebagai dalang dari kecelakaan yang dialami oleh putri saya. Toh, Anda juga mengenal Cortez dengan baik, kan? Tidak ada salahnya untuk kembali diselidiki dan dicurigai. Ya, kan?" Setelah Camilla menyebutkan nama Dominic Cortez, keesokan harinya, Dean segera menyambangi kantor polisi dan melaporkan kejadian kecelakaan tunggal tersebut. Sosok pria berseragam biru muda itu membenarkan letak kacamatanya. "Ehem, begini, Tuan Shawn. Bukannya kami menyangkal kebenaran kabar tersebut, tapi, sejak kasus penculikan Tuan Miller Sillas, Dominic Cortez berada dalam pengawasan kami. Segala gerak-geriknya selalu kami awasi. Jadi, rasanya tak mungkin kalau tuan Cortez melakukan hal tersebut,""Bisa saja dari kaki tangannya, kan? Ayolah, tak ada salahnya mencari tahu tentang ini, Tuan!" Dean mendesak polisi tersebut untuk mempercayai cerita anak semata wayangnya itu. Tuan polisi itu masih bergeming. Dia masih tak percaya k
Malam hari itu, Max terbangun, dan dia tidak mendapati Allora di sisi ranjangnya. Pria itu pun beranjak dari ranjang dan mengintip ke luar jendela. "Ke mana dia pergi? Kenapa perasaanku tidak enak?" batin Max. Dia berjalan ke arah nakas dan mengambil ponselnya. Cepat-cepat dia menekan tombol nomor istri mudanya itu. Namun, ponsel Allora tampaknya tidak aktif. Kesal karena tidak mendapatkan respon dari istrinya, Max kembali berbaring di ranjang dan mencoba untuk kembali tidur. Keesokan harinya, Max dibangunkan oleh suara manja yang sudah dia rindukan semalaman tadi. "Selamat pagi, Sayang. Aku merindukanmu," bisik Allora dan mengecup bibir suaminya dengan lembut. Max mencebik. Dia menghapus jejak kecupan di bibirnya. "Cih! Darimana saja kamu semalaman tidak pulang? Lupa jalan pulang atau tersesat?"Allora menyeringai. Wajahnya yang cantik, terlihat semakin cantik di pagi hari itu, membuat amarah Max perlahan mereda. "Hmmm, mungkin aku sedang tersesat, lalu, lupa jalan pulang," ka
Camilla dan Dean menoleh serentak untuk melihat siapa yang meminta Camilla untuk melompat. "Max! Kenapa kamu menyuruh anakku untuk melompat? Kamu gila, Max!" tukas Dean berang. Pria itu beranjak berdiri dan dengan terseok-seok, dia menghampiri Max, lalu mencengkeram kerah kemeja mantan menantunya. "Gara-gara kamu, Max! Karena ulahmu, anakku jadi seperti ini! Andaikan dulu aku tak pernah memberikan restuku untukmu, aku rasa putriku sudah hidup berbahagia dengan Jake!" Napas Dean terengah-engah karena menahan emosi. Max mendengus. "Loh, siapa yang memilihku? Putrimu yang memilihku!"Dengan kasar, Max mendorong pria paruh baya itu dan merapikan kembali kemejanya. Dia berjalan mendekati Camilla. "Hei, Wanita Bodoh! Lompatlah! Tidak perlu kamu sayangi dirimu sendiri! Silakan, aku tak sabar untuk menyaksikan lompatan indahmu dan bagaimana kamu mengembuskan napas terakhirmu, Milla!" Max semakin menjadi-jadi, seringainya pun semakin liar. Dean berang, dia kembali menyerang Max dari bela