"Begini, Tuan Polisi Yang Terhormat. Putri saya menyebut nama Dominic Cortez sebagai dalang dari kecelakaan yang dialami oleh putri saya. Toh, Anda juga mengenal Cortez dengan baik, kan? Tidak ada salahnya untuk kembali diselidiki dan dicurigai. Ya, kan?" Setelah Camilla menyebutkan nama Dominic Cortez, keesokan harinya, Dean segera menyambangi kantor polisi dan melaporkan kejadian kecelakaan tunggal tersebut. Sosok pria berseragam biru muda itu membenarkan letak kacamatanya. "Ehem, begini, Tuan Shawn. Bukannya kami menyangkal kebenaran kabar tersebut, tapi, sejak kasus penculikan Tuan Miller Sillas, Dominic Cortez berada dalam pengawasan kami. Segala gerak-geriknya selalu kami awasi. Jadi, rasanya tak mungkin kalau tuan Cortez melakukan hal tersebut,""Bisa saja dari kaki tangannya, kan? Ayolah, tak ada salahnya mencari tahu tentang ini, Tuan!" Dean mendesak polisi tersebut untuk mempercayai cerita anak semata wayangnya itu. Tuan polisi itu masih bergeming. Dia masih tak percaya k
Malam hari itu, Max terbangun, dan dia tidak mendapati Allora di sisi ranjangnya. Pria itu pun beranjak dari ranjang dan mengintip ke luar jendela. "Ke mana dia pergi? Kenapa perasaanku tidak enak?" batin Max. Dia berjalan ke arah nakas dan mengambil ponselnya. Cepat-cepat dia menekan tombol nomor istri mudanya itu. Namun, ponsel Allora tampaknya tidak aktif. Kesal karena tidak mendapatkan respon dari istrinya, Max kembali berbaring di ranjang dan mencoba untuk kembali tidur. Keesokan harinya, Max dibangunkan oleh suara manja yang sudah dia rindukan semalaman tadi. "Selamat pagi, Sayang. Aku merindukanmu," bisik Allora dan mengecup bibir suaminya dengan lembut. Max mencebik. Dia menghapus jejak kecupan di bibirnya. "Cih! Darimana saja kamu semalaman tidak pulang? Lupa jalan pulang atau tersesat?"Allora menyeringai. Wajahnya yang cantik, terlihat semakin cantik di pagi hari itu, membuat amarah Max perlahan mereda. "Hmmm, mungkin aku sedang tersesat, lalu, lupa jalan pulang," ka
Camilla dan Dean menoleh serentak untuk melihat siapa yang meminta Camilla untuk melompat. "Max! Kenapa kamu menyuruh anakku untuk melompat? Kamu gila, Max!" tukas Dean berang. Pria itu beranjak berdiri dan dengan terseok-seok, dia menghampiri Max, lalu mencengkeram kerah kemeja mantan menantunya. "Gara-gara kamu, Max! Karena ulahmu, anakku jadi seperti ini! Andaikan dulu aku tak pernah memberikan restuku untukmu, aku rasa putriku sudah hidup berbahagia dengan Jake!" Napas Dean terengah-engah karena menahan emosi. Max mendengus. "Loh, siapa yang memilihku? Putrimu yang memilihku!"Dengan kasar, Max mendorong pria paruh baya itu dan merapikan kembali kemejanya. Dia berjalan mendekati Camilla. "Hei, Wanita Bodoh! Lompatlah! Tidak perlu kamu sayangi dirimu sendiri! Silakan, aku tak sabar untuk menyaksikan lompatan indahmu dan bagaimana kamu mengembuskan napas terakhirmu, Milla!" Max semakin menjadi-jadi, seringainya pun semakin liar. Dean berang, dia kembali menyerang Max dari bela
Ucapan selamat datang yang diucapkan oleh Allora bukan hanya ancaman belaka. Gadis itu benar-benar membuktikan kalimatnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah Camilla. Allora pandai mencari muka di depan Dean dan terutama di depan Miller. "Miller, kamu sudah kembali?" ucap Allora suatu sore. Miller melepaskan sepatunya dan bersandar di sofa lebar dengan wajah lelah. "Bagaimana Milla hari ini?""Huft ... Seharian ini dia menolak untuk kusuapi, semua makanan yang sudah kubuatkan untuknya dibuang dan dia mengira aku memberikan racun di makanan itu." Allora menjelaskan sambil membawakan tempat sampah yang isinya penuh dengan makanan. "Nih, lihatlah!"Kepala Miller terulur sedikit untuk melongok ke arah tempat sampah kecil itu. "Jadi, dia belum makan? Apakah aku harus memakai perawat untuk mengurusnya?"Namun, Allora menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Miller. Bagaimanapun kamu pernah ada di hidupku dan Camilla tetap menjadi kakak iparku.""Aku akan terus berusaha supaya Camil
Usaha Allora untuk menjerat Miller di hatinya, tidak tanggung-tanggung. Gadis itu selalu datang dengan memakai pakaian yang dibelikan oleh mantan suaminya itu. Selain itu, Allora juga mengubah rambutnya seperti dulu dan terkadang, dia memasak makanan kesukaan Miller. Tentu saja hal itu membuat kemarahan Camilla semakin meradang. "Sayang, aku perhatikan akhir-akhir ini kamu dekat dengan Allora? Bahkan kemarin malam, kamu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang," tanya Camilla suatu malam. Miller meletakkan ponselnya. "Aku hanya berusaha baik padanya, Sayang. Dia sudah banyak membantumu."Camilla berdecih kasar. "Cih! Apanya yang membantu? Apa kamu masih tidak mempercayaiku?""Aku memasang kamera pengawas dan dia baik-baik saja padamu, Milla. Maksudku, aku tidak tau apa yang terjadi padamu. Kamu baru saja kehilangan sesuatu yang besar dan traumamu belum sepenuhnya hilang." Miller beranjak dari ranjangnya dan membuka laptop tipisnya. Pria itu memperlihatkan rekaman kamera pengawas
"Sekarang kamu sudah tidak pernah menemuiku lagi, Allora! Kamu telah berpaling atau suamimu mengetahui hubungan kita?" tanya Dominic Cortez. Pada malam Allora berciuman panas dengan Miller, Dominic menghubunginya dan meminta gadis itu untuk segera menemuinya. "Aku tidak melupakanmu, Sayang. Aku sedang mengerjakan sebuah proyek besar." Allora berdalih sambil memalingkan wajahnya. Dominic menghampiri dan memulas bibir gadis manis itu dengan jarinya. "Apa proyekmu itu membuat pewarna bibirmu memudar?"Dengan kasar, Dominic melumat benda kenyal yang menggairahkan itu. "Hmm, red wine. Dengan siapa kamu tadi? Apakah dengan suamimu?""Mantan!" Allora menyahut kesal. Dia tidak suka pria itu mulai menginterogasinya. "Dengar, Cortez! Aku bukan milikmu, jadi, berhentilah untuk bersikap seolah aku milikmu!"Dominic menjauh dan menyesap birnya. "Kamu memang milikku, Allora Sayang! Kalau kamu tidak setuju, aku akan menjebloskanmu ke dalam penjara dan apa yang telah kita lakukan selama ini, akan
Acara makan malam yang berakhir dengan gairah semu itu, berhasil membuat Miller menjadi sosok pria yang sering termenung. Tentu saja, perubahan suaminya itu tak luput dari perhatian Camilla. "Apa kamu sedang ada masalah, Sayang? Kuperhatikan akhir-akhir ini kamu sering termenung?""Oh, t-tidak ada, Sayang," jawab Miller. Kemudian, kedua maniknya tertuju pada tongkat Camilla. "Ke mana kursi rodamu?"Camilla tersenyum dengan angkuh. "Kamu terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri sampai kamu tidak sadar kalau aku sudah dapat menggerakkan kakiku sendiri.""Lalu? Bagaimana dengan Allora? Bukankah kemarin dia masih datang ke sini?" Miller bertanya dengan jantung berdegup kencang. Pria itu mengerahkan seluruh kemampuan mengingatnya. Kapan terakhir kali dia melihat Allora di sini? "Aku sudah tidak membutuhkan dia lagi. Tapi, kenapa kamu bertanya tentang dia, bukan tentangku? Apa ada yang kulewatkan?" tanya Camilla. Dengan langkah tertatih, dia berjalan menggunakan tongkatnya hanya untuk me
Penyangkalan, penolakan, serta tak percaya. Itulah yang dirasakan oleh Camilla. Rumah tangganya kembali hancur oleh karena gadis yang sama. Camilla bukanlah sosok wanita yang memiliki banyak teman. Begitu dia menikah, dia akan benar-benar mengabdikan hidupnya pada sang suami. Kini, dia tak tahu ke mana harus membagi ceritanya. Namun, tiba-tiba terlintas nama Aaron Emerson di benaknya. "Maafkan aku karena mengganggu istirahatmu," ucap Camilla sungkan. Aaron menyeringai lebar. Dia menggelengkan kepalanya. "Tak masalah. Itu tandanya, kamu sudah percaya padaku dan aku merasa sukses menjadi konsultan kamu.""Tapi, kenapa kamu ingin bertemu denganku? Apa ada yang ingin kamu ceritakan?" Aaron bertanya sambil mengambil seraup kacang dari sebuah piring datar. Sejujurnya, Camilla sedikit ragu untuk menceritakan apa yang terjadi di hidupnya. Dia menggigit bibirnya, lalu, tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku tidak ingin sendiri malam ini."Ingatan wanita itu terlempar saat pertama kali dia dan Mi