Bentangan cakrawala sore hari ini menampilkan semburat jingga yang mampu menarik banyak orang untuk tenggelam pada perasaan tenang dan damai. Seorang laki-laki yang tampak menenteng tas selempang milik gadis terkasihnya itu tak bisa berhenti melepas senyumnya ketika menyaksikan bagaimana tenangnya wajah sang gadis yang tertutup rapat dengan seutas senyuman. Dia menikmati kehidupannya yang terasa begitu damai sembari menyerap energi baik dari lingkungannya."Ternyata begini ya, hidup tenang tanpa adanya masalah," kata sang gadis."Ketenangan dalam kehidupan itu salah satu kebahagiaan yang nggak bisa diukir maupun dibayar dengan apapun," balas sang laki-laki yang turut duduk bersebelahan dengan sang kekasih. "Cukup jalanin pagi dengan minuman hangat dan sepotong roti, menghirup udara pagi. Seperti itu salah satu ketenangan dan kedamaiannya," imbuhnya.Laki-laki itu juga tak bisa membuang pemandangan indah langit sore ini. Dia merasakan bagaimana sebelah tangannya dirangkul begitu kuat o
Mungkin Chika harus mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan perihal sikapnya yang mendadak dingin. Terlebih ketika ia ditinggal usai Dirga memarkirkan motor. Kalau tidak Chika panggil, mungkin laki-laki itu akan membiarkannya membusuk tanpa berniat membantu."Temenin jalan. Gue nggak percaya diri," kata Chika.Dengan helaan nafas terberatnya, Dirga menurut dan berdiri di belakang gadis itu dengan langkah yang begitu lambat. "Nggak bakal selesai kalau begini," ucapnya lirih.Langkah lambat yang Chika lakukan saat ini bukanlah pilihan yang dia ambil. Beruntung satu minggu memiliki waktu istirahat di rumah membuat keadaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ya, walau hari ini dia harus menggunakan kruk saat berjalan ke kelasnya sendiri. Dan masih beruntung juga, lantaran Dirga mau berangkat bersama. Hanya saja, hal yang baru dia dapati bukanlah kehendaknya.Dirga menggendongnya yang nyaris menjatuhkan kruk, membawa keduanya dengan langkah yang lebih cepat untuk tiba di tujuan. Kua
Satu hari telah dilewati oleh para murid di sekolah, dan tepat setelah adanya bel pertanda pulang, mereka berbondong-bondong untuk sekolah meninggalkan tempat mencari ilmu ini. Namun, Chika hanya bisa berdiam diri di tempat duduknya dengan rasa takut yang masih menyambangi diri.Gadis itu berhenti menggigit kuku ibu jarinya ketika bosan Dirga masih terus menempel kuat di kepala. Dia sampai mengabaikan tawaran bantuan dari teman sebangkunya."Chik," panggil Dirga.Respon gadis itu langsung kuat untuk menoleh ke arah Dirga yang berlari kecil menghampirinya. Dia juga seakan bisa mengambil banyak oksigen setelah laki-laki itu turut duduk di sebelahnya dengan raut wajah yang tak jauh berbeda. Secara kontan dia memegang tangan Dirga yang cukup untuk menghangatkan tangan dinginnya."Kita bahas di luar. Ayo, sekarang pulang, dan tolong bersikap biasa aja," perintah Dirga.Dirga menggendong Chika di belakang tubuhnya supaya mereka berdua bisa segera meninggalkan sekolah ini. Dan di belakang tu
Terdapat perubahan yang cukup jelas sejak beberapa hari lalu. Sesuatu yang hampir tidak pernah dilihat sebelumnya, seperti banyak diam dan melamun. Pun Dirga juga tak memiliki banyak keberanian untuk berbicara pada gadis itu. Belakangan ini, tugasnya memang hanya seperti mengantar-jemput Chika.Semilir angin yang menerbangkan tiap helai rambut Chika sama sekali tak mempengaruhi gadis itu untuk terus menatap danau di depannya. Ini salah satu bentuk syukur Dirga ketika gadis itu memintanya untuk diantar ke sebuah danau. Barangkali memang Chika bosan hanya melakukan kegiatan yang sama setiap harinya setelah hari itu."Dirga," panggil Chika untuk kali pertamanya. "Gimana kalau tiba-tiba gue masuk penjara?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu kontan membuat tolehan kepala Dirga terasa berat beriringan dengan rasa keterkejutan. Pandangannya langsung terarah pada pupil Chika yang terlihat adanya getaran putus asa. Dirga bertanya-tanya, jawaban apa yang ingin Chika dengar atas pertanyaannya ba
Ibu jari yang semula tampak cantik dan bersih kini berubah tidak beraturan usai digigit dengan begitu tak sabaran sembari menunggu kabar dari seseorang yang sangat dia percaya. Kedua maniknya terus diletakkan pada layar ponsel yang masih gelap. Sudah berkali-kali dia menyalakannya, barangkali Chika sempat melewatkannya. Hanya saja, sudah lebih dari dua puluh menit Dirga tak kunjung menghubunginya.Rasanya seperti kekurangan pasokan oksigen menantikan ponselnya menyala dengan sebuah pesan yang bertengger pada notifikasi. Ingin sekali dia mendatangi ruang pengawas guna menyaksikannya secara langsung."Dirga mana, sih?! Kok nggak ngehubungin gue?!"Giginya terus menggigit bibir bawahnya, salah satu kakinya terus bergerak gugup. Hingga menit ke tiga puluh, akhirnya dia mendapati pesan dari laki-laki itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Chika segera membuka pesannya, namun kedua alisnya langsung tertekuk bersamaan usai membaca pesan Dirga."Videonya kehapus? Kok bisa?"Chika terus bert
"Besok ada acara, nggak?"Adalah pertanyaan yang lolos dari mulut Dirga ketika laki-laki itu baru saja membawa motor Chika ke dalam rumah. Mendapati sosok gadis tersebut yang duduk di ruang tamu sembari memandangnya tanpa henti. Dirga memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, menanti jawaban sembari membayangkan hal yang akan dia lakukan besok.Tatapan Chika tak tampak begitu fokus, atau barangkali dia tak begitu terkesan dengan ajakan yang didapatnya. Namun, jauh dalam pikirannya saat ini, ada banyak ketakutan yang perlahan muncul ke permukaan. Menjadikannya kalut dalam perasaan tersebut.Pandangannya turun pada kakinya yang terbalut. Menarik nafasnya cukup panjang dan menyadari jika dirinya akan merepotkan andai menerima ajakan tersebut. Namun, sepersekian detik, kalimat Dirga membuatnya mengangkat wajah."Kenapa? Mau nolak karena kaki?" Dirga meletakkan kedua tangannya pada pinggang. "Lo lupa, waktu itu yang minta ke sirkuit, siapa? Yang minta dikabulin setelah gue ujian,
Seperti yang dijanjikan oleh Dimas sebelumnya, selama tiga hari dia benar-benar berhasil mengembalikan semua video yang terhapus. Laki-laki itu mencoba untuk melihat dan mengamatinya sebelum dia jelaskan pada Chika dan Dirga. Namun, yang membuatnya kesal ketika video sejak minggu lalu yang terlihat seperti rusak. Entahlah, apakah ini memang murni kerusakan kamera? Atau seseorang sengaja menyabotase.Berulang kali dia memeriksa sesuatu yang salah, namun memang sabotase adalah alasan yang masuk akal. Laki-laki itu segera menghubungi Chika guna memeriksanya secara langsung. Bahkan, Dimas sampai memeriksa keanehan videonya sembari menunggu Chika dan Dirga datang."Sebenarnya, siapa yang ngelakuin ini semua?" heran Dimas.Pandangannya cukup lama dia letakkan pada layar laptop dengan konsentrasi penuh. Bulir-bulir keringat telah memenuhi dahinya, sampai-sampai dia tak memiliki kesempatan hanya untuk mengambil segelas air mineral untuk menghilangkan kekeringan kerongkongannya.Hingga pada ak
"Kenapa sama dia?"Kedua tangan Dimas membawa minuman untuk gadis yang masih terdiam sejak sepuluh menit lalu. Tak ada satu katapun yang dia katakan tepat setelah Dirga memutuskan untuk keluar dari rumah Dimas. Pandangannya begitu kosong dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada."Nggak tau," jawab Chika.Sebenarnya, agak membingungkan jika Chika pikir lebih dalam. Dia mencoba untuk menyimpulkannya sendiri, merenungkan perbuatan dan perkataannya yang mungkin menyakiti Dirga. Terlebih laki-laki itu memilih untuk pergi dengan jalan kaki usai Chika mendapati motornya masih terparkir.Di sebelahnya, Dimas menangkap maksud dari ekspresi yang Chika tampilkan kini. Ya, terlihat tenang namun risau. Dia menumpu kaki sebelum memutar bola matanya jengah, merasakan sedikit kekesalan melihat Chika memasang kerisauannya untuk Dirga."Udahlah, biarin aja. Lagian dia juga nggak ngebantu," kata Dimas."Kita nggak akan tau kalau Adam pelakunya kalau buat Dirga yang bilang," timpal Chika.Gadis it