"Yey! Udah bisa jalan lagi,"Suara itu adalah seruan kegembiraan Chika setelah melepas perbannya. Gadis itu juga memasang senyuman lebarnya pada laki-laki yang selama ini selalu dia repotkan. Dan secara tiba-tiba Chika memeluknya erat, menyalurkan kebahagiaannya seperti baru saja terbebas dari kekangan."Astaga, seneng banget sih, lo," kata Dirga yang terkejut."Iyalah. Gue bisa jalan, loncat, dan semacamnya," katanya seraya berputar menggunakan satu kaki yang semua diperban.Dirga menggelengkan kepalanya disertai dengan senyuman tipis, yang mana dia turut senang dengan kebahagiaan gadis itu. Pun salah satu tangannya terarah pada pucuk kepala Chika memberikan usapan penuh afeksi pada gadis yang tengah mengerutkan hidungnya lucu. Sulit untuknya tidak ikut gemas pada ekspresi Chika.Beberapa usapan, Chika seketika menahan tangan Dirga seraya memberikan tatapan yang bulat berbinar. Dirga sampai sedikit memiringkan kepalanya dengan raut wajah itu. Chika terlihat ingin berbicara."Kita uda
Suasana yang tak terduga sama sekali, Dirga hanya tertawa sepanjang lorong sampai keduanya benar-benar kembali di motor. Begitu juga dengan Chika yang keluar dengan kedua tangan yang memegangi perutnya usai berjumpa dengan ayahnya."Demi apapun, gue nggak nyangka lo bakal ngomong kayak gitu," kata Chika.Pikirannya masih belum teralihkan dari seluruh perkataan Dirga pada sang ayah tadi. Dia sampai tercengang dan hampir tak bisa menahan tawanya. Jika saja bukan di depan sang ayah, dirinya pasti telah melempar banyak pukulan pada Dirga saking gelinya mendengar seluruh kalimat Dirga.Bukan hanya Chika, bahkan yang mengatakannya secara spontan pun turut menyadari gelenyar aneh dalam tubuhnya. Dirga memang mengatakannya dengan sungguh-sungguh, namun dia tergelitik dengan seluruh perkataannya. Ah, Dirga mendadak benci dengan dirinya yang berbicara seolah dia tengah melamar Chika di hadapan ayah gadis itu."Kenapa juga kalimat kayak gitu yang keluar?" heran Dirga. Dia sejenak menutup matanya
"Permintaan kedua gue kemarin kan batal, nah mau gue ganti," kata Chika ketika mereka baru saja tiba.Gadis itu menahan lengan Dirga yang hendak meninggalkannya. Dengan senyuman lembutnya, Chika menggunakan suara yang halus ketika melihat Dirga menatapnya cukup lekat. Sedikit mengedipkan mata guna menggoda kekasihnya itu."Gue mau nonton balapan," kata Chika.Senyuman Dirga langsung terangkat setelah mendengar permintaan tersebut. Tanpa ragu Dirga segera menganggukan kepalanya guna menuruti permintaan sang kekasih. Tentu saja itu bukan hal yang sulit untuk dikabulkan, bahkan pribadi itu juga langsung mengatakan jadwal balapan berikutnya."Sabtu sore, jam tiga," katanya.Chika terlihat begitu senang dan bahagia setelah merasa begitu yakin jika permintaan yang akan dikabulkan. Pun gadis itu sekarang melepaskan tangan kekasihnya, lantas memberikan lambaian singkat.Dia juga masuk ke dalam rumah, namun gadis itu justru mendapati sang ibu yang duduk di ruang tamu seorang diri. Namun, yang
Astaga, Dirga sampai tak menyangka jika rasa sakit Chika membuatnya menangis lama di dalam pelukannya. Wajah yang seluruhnya basah akan air mata dan keringat itu masih belum dapat dihentikan, ditambah pelukan erat gadis itu pada kekasihnya. Tak ada satu katapun yang mampu Dirga lontarkan pada Chika yang kelewat sedih sampai enggan menunjukkan wajahnya. Hanya sentuhan penuh afeksi yang bisa Dirga salurkan dari tangannya.Sedangkan presensi lainnya hanya berdiri di balik perpotongan dinding seraya mendengar tangisan Chika yang tak pernah ia dengan sedalam itu. Dimas kembali menyadari jika dirinya memang bukan seseorang yang bisa membuat Chika bisa bersandar padanya—seperti yang dilakukan Dirga saat ini. Dirinya melipat kedua tangan di depan dada, sedikit membenturkan kepala pada dinding di belakangnya dengan rasa kesal yang tak bisa dia luapkan."Maaf, karena nggak ada yang bisa gue bantu," ucap Dimas dalam hatinya.Tubuh itu melorot dengan posisi duduk dan kedua kaki tertekuk, dia mele
"Gue ikut,"Dirga menahan kepergian Chika tanpa dirinya, namun gadis itu segera melepaskan tangan sang kekasih. Dia juga menggeleng singkat sebagai penolakannya. "Jangan. Jangan nambah masalah baru, ya. Gue nggak mau lo ketangkep semisal ini gagal," kata Chika."Gue penambah masalah?"Raut wajah yang tampak serius dan suasana yang tegang itu mengisi ruang tamu rumah Dimas. Dimana terjadi perdebatan kecil diantara Chika dan Dirga ketika gadis itu hendak melaksanakan rencananya. Namun, tak semudah itu ketika Dirga bersikeras untuk tetap ikut andil dalam rencana tersebut. Menjadikan Chika bingung kepalang, lantaran tak ingin membuat laki-laki itu berada di lingkar masalah, namun juga tak ingin membuat Dirga berpikir jika dia adalah penambah masalah.Gadis itu masih belum bersuara, menatap Dirga dengan penuh keraguan dan kekhawatiran dibalik pupilnya. Dan Dimas yang berada di jarak beberapa meter dari mereka memutar maniknya jengah. Laki-laki itu merasa jika ini membuang waktu dengan perc
Dari belakang kursinya, Dimas merasakan adanya hentakan kecil yang dia yakini adalah perbuatan bocah laki-laki yang hendak memasuki usia dewasa. Dimas hanya menghela nafasnya berat dengan manik terpejam singkat. Rahangnya cukup kuat untuk menghancurkan tulang-tulang Dirga yang mungkin masih membutuhkan pertumbuhannya.Maniknya melihat pada spion tengah yang langsung menampilkan presensi Dirga menatap luar jendela. Namun, Dimas masih terus merasakan adanya hentakan dari kaki laki-laki itu."Kaki lo bisa berhenti nggak?""Kalau Chika udah balik, baru gue bisa berhenti,"Ya, dari kalimat itu sudah tercetak jelas rasa khawatir yang Dirga salurkan pada salah satu kakinya. Mengingat kekasihnya pergi seorang diri untuk melakukan hal yang bisa membahayakannya. Terlebih, dia hanya bisa menunggu sampai gadis itu kembali."Makanya, kita pantau dari sini," timpal Dimas yang mengambil laptopnya.Laki-laki itu mengakses kamera pengawas yang terdapat pada toko di sana, membuat Dirga kontan menghenti
"Bisa nggak sih, Chika aja yang ngobatin?!"Itu adalah bentuk penolakan terhadap Dirga yang tengah menyentuh wajahnya. Dengan kapas yang basah akan alkohol itu ditepuk-tepuk pada setiap goresan luka. Bahkan, desisan pertanda rasa perih sampai ragu dia udarakan di hadapan Dirga."Ngebiarin pacar gue nyentuh laki-laki lain di depan mata gue?" tanya Dirga.Wajah Dimas menjauhi kapas itu, semakin tergelitik dengan kulit mereka yang saling bersinggungan. Hanya sepersekian detik Dimas melemparkan tatapan tajamnya sebelum mengambil beberapa lembar kapas yang dituangkan alkohol guna membersihkan lukanya sendiri. Hanya dengan menggunakan kamera depan, Dimas membersihkannya secara mandiri. Sedangkan Dirga hanya menaikkan kedua bahunya singkat disertai dengan senyuman datar.Rasa penasaran Chika masih bergulir pada kejadian yang mereka dapati hari ini. Dia terdiam dengan kedua kaki yang saling bertumpu dengan ibu jari yang digigit. Mungkin memang bisa terjadi kesalahan teknis pada Dimas dan Dirg
Bebas dari sekolahnya membuat Dirga menjadi seseorang yang bermalas-malasan di atas ranjangnya dengan ponsel yang terpasang headset seraya menatap langit-langit kamar. Dia tak memiliki banyak kegiatan, namun seakan tenaganya terkuras habis hanya untuk menghembuskan setiap nafasnya. Salah satu tangannya meraih ponsel yang berada di sebelah kepala. Maniknya terbelalak saat melihat tanggal. Dengan segera Dirga membawa dirinya bangkit.Tangan meraih jaket dan kunci motor, laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan langkah yang cepat. Melewati sang ibu dan ayah yang tengah berada di ruang tamu. "Bunda, ayah, ijin pergi dulu," kata Dirga menghalau."Kemana?""Sirkuit. Tenang aja, bukan mau balapan," kata Dirga.Semenjak memutuskan untuk mengalah pada sang ayah dan menuruti kemauannya, Dirga benar-benar meninggalkan balapannya. Namun, tetap saja balapan adalah dunianya, bahkan hingga detik ini. Dia lelah jika harus memicu kemarahan, mendapat tamparan, yang selalu membuatnya berakhir kalah. Set