"Terimakasih, Akiko. Aku tidak akan bisa membalas kebaikanmu," ucap Harley, Mommy Glen, pada Akiko yang baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu hanya mengangguk, lalu duduk di sebelah Glen. Tapi pria itu langsung menarik pinggulnya, sehingga dia harus duduk di pangkuan. "Kalian sangat serasi, apa kalian akan segera menikah?" pertanyaan Harley, membuat Glen menatap Akiko sejenak. Gadis itu bahkan sepertinya tidak punya perasaan lebih, dia hanya menganggap Glen sebagai Tuan. Padahal, Harley masih saja menganggap bahwa Akiko adalah kekasih Glen. "Aiko, jawablah," ujar Glen. "Menikah itu bukan hal penting," jawab Akiko seadanya. Harley paham, pasti dia trauma dengan pernikahan karena jadi korban kekerasan. Sementara Glen justru merasa kecewa, dia pikir Akiko akan memberinya sedikit harapan. "Tentang Daisy, sejak kapan dia tinggal bersama kalian?" tanya Harley agak ragu. "Baru kemarin, bawalah dia pergi jika kau bisa," titah Glen. "Tidak bisa, Glen. Kau tau Daisy adalah keluarga
"Kalian dari mana?" tanya Daisy ketika Glen dan Akiko baru saja sampai di apartemen. Jam menunjukkan pukul 11 malam, tapi gadis itu masih rela menunggu karena penasaran. "Kau tidak perlu tau," acuh Glen, ia duduk di sofa sambil menunggu Akiko agar melepaskan dasinya. Mood pria itu tampaknya sedang baik, dia bahkan tersenyum mengamati wajah Akiko dari dekat walau gadis di depannya itu sama sekali tidak peduli. "Kak, dari mana kalian? aku sangat penasaran," rengek Daisy sembari duduk di samping Glen dan memeluk lengan kekar pria itu. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Daisy akhirnya bertanya pada Akiko yang baru saja selesai melepaskan dasi milik Glen. "Hei, jawab aku. Dari mana kau pergi bersama Kak Glen sampai malam seperti ini?" tanya gadis itu mengintimidasi. Akiko menatap Glen sebentar, pria itu mengisyaratkan untuk tidak menjawab. Alhasil, Akiko beranjak dari sofa untuk melakukan hal lain. "Hei!" bentak Daisy karena merasa diabaikan. Dia menarik lengan Akiko, tangannya tera
Keberadaan Daisy memang membuat kehidupan Akiko semakin berat. Dia sering kali menyulut emosi Glen, sehingga pria itu mulai kasar dan menyiksanya lagi dengan berbagai macam cara. Mulai dari salah paham yang Daisy ciptakan, sebab dia tau titik amarah Glen yaitu jika Akiko dekat dengan pria lain. Baru 5 hari terlewat, rasanya waktu berjalan semakin lama. "Aiko," panggil Glen ketika gadis itu sedang sibuk mengerjakan tugas di layar komputer. Di bawah bibir dan pipinya, terdapat luka lebam karena pukulan Glen kemarin malam. Jujur, melihat hal tersebut tentu membuatnya merasa bersalah.Namun, emosi Glen semakin tidak bisa dikendalikan karena sampai saat ini Akiko tidak menunjukkan rasa tertarik padanya sedikit pun. Padahal, Glen rasa dia mulai jatuh cinta pada Akiko. "Kopi?" tanya Akiko, membuat lamunan Glen buyar. "Tidak, kemarilah," pinta Glen. Tapi gadis berambut pendek itu terlihat ragu dan takut mendekat, sehingga Glen harus menarik tangannya perlahan walau hal tersebut membuat Akik
Di jalanan yang sepi, Akiko tengah duduk di kursi tua sambil memeluk tubuhnya sendiri karena hawa dingin yang menusuk. Saat ini dia sedang menunggu, dia yakin Glen tidak sejahat itu sampai meninggalkannya begitu saja seperti ini. Mungkin, beberapa saat lagi dia akan kembali. Setidaknya dia ingin tau alasan apa yang membuat Glen bisa semarah ini. "Glen … padahal kau tinggal mengatakan apa yang kau inginkan dariku, aku pasti akan menurut. Tapi kenapa kau diam saja dan meninggalkan aku seperti ini?" bingung Akiko. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah sorotan lampu mobil. Dia pikir, itu adalah Glen yang datang menjemputnya. Tapi ternyata salah, 3 pria keluar dari mobil dan membawa senjata. "Ini dia gadis yang kita cari," ucapnya. "Dia sangat cantik, apa tidak sayang jika kita membiarkannya mati begitu saja?" sahut pria lain. "Ya, kita harus memanfaatkan momen ini dengan baik. Kapan lagi bisa menikmati wanita cantik secara cuma-cuma."Karena sudah tau 3 orang itu berbahaya, Akiko lang
"Apa kau yang melakukan semua itu?" pertanyaan Glen membuat lawan bicaranya meneguk saliva kasar. Tatapan tajam itu sangat menusuk, begitu mengintimidasi seolah tidak memberikan kesempatan untuk melawan. "Kau yang ingin membunuh Aiko, iya,'kan?" tanyanya lagi karena pertanyaanya tidak diindahkan. "Bu—bukan aku, aku tidak akan pernah membunuh putriku sendiri," jawab Mr. Eloise. Pria tua itu kaget saat Glen tiba-tiba datang dan mengatakan kalau Akiko hampir dibunuh oleh seorang, padahal dia sendiri saja kesusahan untuk bertemu Akiko. "Tidak perlu berbohong, aku sudah mengetahui segalanya. Kau selalu menyiksa Aiko, kau menciptakan trauma besar padanya sampai dia takut untuk disentuh," desis Glen sembari duduk di sofa dan menyalakan rokok. "Jujur saja, dulu aku memang sangat membenci Akiko. Tapi semenjak menyadari kesalahanku, aku sangat menyesal sudah memberikan dia padamu sebagai tawanan. Bahkan, jika bisa aku ingin mengambil dia kembali untuk memperbaiki hubungan kami. Aku berani be
Di sebuah taman rumah besar, Glen tengah berdiri sambil menghembuskan asap rokoknya. Di hadapannya sudah ada sang paman alias papanya Daisy, mereka saling menatap tajam seolah sedang bergelut dalam diam. "G-Glen, apa yang kau lakukan di sini?" tanya sang paman kaget karena setelah sekian lama baru bertemu Glen lagi. "Kenapa suaramu gemetaran seperti itu? kau pasti sudah tahu tujuanku datang ke rumahmu," Glen tersenyum menyeringai, membuang sisa rokok dan menginjaknya di tanah. "Di mana Daisy?" tanya Glen langsung pada inti. "Aku tidak tau, dia belum kembali sejak satu minggu yang lalu," jawab pria tua itu. "Paman tau, aku paling tidak suka orang yang pandai berbohong. Asisten pribadiku mati, gadis berhargaku terluka parah sampai tidak bisa bergerak. Kau pikir, bocah seperti Daisy bisa melakukan semua itu sendirian? kau pasti campur tangan membayar 3 orang untuk membunuh gadisku," geram Glen sambil berjalan mendekati pamannya. "Atas dasar apa kau menuduhku, Glen? aku adalah Pamanm
Pagi ini, Akiko duduk di kursi taman karena Glen membawanya untuk menghirup udara segar. Pria itu juga duduk di sampingnya sambil minum kopi, menikmati sejuknya pagi sambil terus melingkarkan tangan di pinggul Akiko posesif. "Kau suka udara di luar sini?" tanya Glen, disahuti dengan anggukan pelan Akiko. "Di apartemenku tidak ada taman, apa perlu aku beli rumah supaya kau lebih betah?" tawar Glen. "Sejak kapan kau peduli tentang hal seperti itu?" jawab Akiko sambil menatap pria di sebelahnya. Glen tersenyum, mengusap wajah gadisnya lembut karena luka di wajah sendu itu mulai sembuh. Entah kenapa, Glen merasa menyesal menerima fakta bahwa pertemuan mereka bukan berasal dari hal baik. Andai sejak awal Glen bersikap baik dan menunjukkan cintanya, pasti Akiko tidak akan menganggapnya seburuk itu. "Bolehkah aku datang ke pemakaman Hans?" tanya Akiko. "Iya, nanti malam kita akan pulang ke apartemen. Tunggu Mommy pulang dari rumah sakit," sahut Glen. Beberapa saat kemudian, suara mobil m
Satu minggu berlalu, hubungan Glen dan Akiko membaik seiring berjalannya waktu. Pria itu juga tidak pernah marah dan melakukan kekerasan lagi, bahkan sering sekali memperlakukan Akiko secara lembut. Tapi hal tersebut justru membuat hati Akiko berkecamuk, dia tidak ingin jatuh hati pada psikopat kejam itu. "Tapi … dia memberikan kehangatan yang tidak pernah aku dapat sebelumnya," benar, Akiko merasa aman dan hangat ketika Glen bersikap baik padanya. Berbeda saat pria itu sedang marah, nyawanya seolah tidak berharga lagi. Saat ini, gadis berambut pendek itu sedang menatap ke cermin yang ada di kamar mandi. Tubuhnya semakin kurus, takdirnya sangat kejam sampai harus merasa sesakit ini. Tubuhnya terus digerogoti oleh penyakit mematikan, mentalnya selalu hancur oleh orang-orang sekitar, tapi kenapa dia tak kunjung meninggal? ingin sekali rasanya menukar nyawanya dengan orang-orang yang ingin hidup. "Aiko," suara panggilan serta ketukan pintu dari Glen membuat lamunan Akiko buyar. "Kau b