"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai.
"Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih dalam keadaan syok. Lalu, Glen menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sedangkan Akiko justru tertidur, mungkin karena tadi sempat minimal obat yang mengandung efek kantuk. Apalagi, dia merasa sangat lelah setelah seharian ini beraktivitas. Belum lagi tubuhnya penuh luka karena pukulan dari mama Ethan. Glen melirik Akiko yang sudah terlelap tidur, dengan Ethan di pangkuannya. Rahangnya mengeras emosi, entah karena apa. Dia tidak suka melihat Akiko pendiam dan menyedihkan seperti ini. "Kau tidak akan bisa menang, jika hanya diam saja."***Akiko mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Lalu, beberapa detik kemudian gadis itu refleks terbangun kaget saat menyadari bagaimana kondisinya sekarang. Apa dia sudah tidur semalaman? Akiko berjalan sempoyongan, tubuhnya terasa sakit karena tidur di alas yang tipis di lantai. Apalagi, dengan udara yang dingin tanpa penghangat ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, dia langsung terdiam. Kakinya terasa perih sekali, bahkan sampai terasa panas seperti terkena benda tajam. Saat melihat ke telapak kakinya, Akiko sontak terbelalak kaget. "Kenapa ini?" bingungnya, mengelap darah yang menetes dari goresan-goresan di telapak kaki. Kemudian, perhatiannya kembali teralihkan oleh teriakan Ethan. "Aarrgghh!" Akiko mengedarkan pandangan, mencari dari mana sumber suara teriakan itu. "Ethan…," gumam Akiko saat sadar bahwa dia masih bertanggung jawab atas Ethan. Tapi, karena tertidur dia jadi kehilangan Ethan di apartemen asing ini. Dengan menahan sakit, Akiko berlari ke arah suara. Ternyata, asalnya dari sebuah ruangan kosong nan gelap. Nafas Akiko tercekat, melihat Ethan yang diikat di sebuah kursi dengan tubuh penuh lebam dan goresan. Lalu, Akiko mengalihkan pandangan pada seorang pria yang duduk di antara kegelapan yaitu, Glen. "What are you doing?" gumam Akiko sambil mendekati Ethan yang sudah menangis sejadi-jadinya. Akiko berusaha membuka tali Ethan, tapi Glen tiba-tiba datang dan mencambuk punggungnya. Sehingga gadis itu menahan rasa perih dan panas akibat cambukan."Siapa yang memperbolehkanmu keluar dari kamar?" tanya Glen, memasang tatapan menyeringai. Lalu, kembali mencambuk Akiko beberapa kali saat gadis itu memeluk Ethan erat-erat. "Jangan lukai Kakak! Jangan lukai Ka—""Diam! Kau pikir, kau ini siapa?" bentak Glen dengan suara baritonnya, sehingga Ethan sontak terdiam. Kemudian, pria itu mengalihkan pandangan pada Akiko yang sedang meremas pakaiannya sendiri untuk menahan sakit. "Sepertinya, luka di kakimu itu tidak cukup untuk membuatmu diam, hah?" Glen mencengkram rambut pendek Akiko sampai gadis itu mendongakkan kepala. Akiko terdiam, mengetahui fakta bahwa ternyata Glen adalah orang yang telah mengiris-iris telapak kakinya. Akiko tidak menyangka kalau Glen lebih gila dari dugaannya. Hal tersebut membuat Akiko berpikir, kalau Glen pasti bukan orang normal. Bisa dilihat dari cara Glen memainkan pisau dan senjatanya. Akiko ingat betul, bagaimana ekspresi datar Glen saat membunuh mama Ethan kemarin. Raut wajahnya seolah terbiasa melakukan hal-hal keji dengan bebas. "Aiko … sebaiknya jaga sikapmu karena aku bukan orang baik-baik," geram Glen. Kemudian, dia pergi meninggalkan Akiko dan Ethan begitu saja. Sementara Akiko terdiam saat mengingat kalau di perjanjian kontrak dengan Glen, tidak ada jaminan bahwa dia akan aman. "Kakak," panggil Ethan dengan suara gemetaran. "I'm sorry … i'm sorry, Ethan," lirih Akiko, merasa begitu bersalah pada Ethan. Dia sudah disiksa oleh orang tuanya sebelum ini, ditambah oleh kekejaman Glen. Akhirnya, Akiko beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya dan Ethan. Ini bukan apartemennya, dia tidak tau di mana letak kotak obat. Jadi hanya dia bersihkan seadanya saja. "Ethan, dengarkan aku. Kau tidak boleh bersama aku, okay? apartemen ini milik Glen, dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Jadi, aku akan mengantarmu ke tempat yang lebih aman," jelas Akiko sembari menangkup wajah mungil Ethan. Anak itu mengangguk pelan, walau aslinya berat hati berpisah dengan Akiko. Tapi, mengingat bagaimana kejamnya Glen, nyalinya jadi menyusut. Apartemen ini seperti sarang monster. Ethan bisa habis kapan saja di tangan Glen. "Ayo," ajak Akiko. Kemudian, bergegas keluar dari apartemen sebelum Glen sadar. Akiko berencana menempatkan Ethan di penitipan anak saja. Jika ada keluarga besar Ethan yang merasa kehilangan, maka mereka bisa menjemput Ethan atau menghubungi Akiko lewat nomor yang dia catat. Walau dia harus mengeluarkan biaya besar untuk Ethan, tapi setidaknya dia merasa lega kalau Ethan aman. "Kakak, apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ethan, khawatir akan nasib Akiko di tangan Glen. Sementara gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum lalu memeluk Ethan sebagai salam perpisahan. Sebelum kembali ke apartemen Glen, Akiko memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit besar. Ingin menemui seseorang, yang pasti sudah menunggunya dari kemarin. Dia adalah Vian, pria berstatus Dokter itu kerap menanyakan kabar Akiko lewat pesan singkat. "Kak," panggilnya saat memasuki ruangan Vian. "Halo, bagaimana kabarmu?" tanya Vian ramah, senyum manisnya membuat Akiko merasa tenang. "Baik," jawab Akiko seadanya, walau dia sedang berbohong. "Bagaimana dengan berkas yang aku berikan? sudah kau baca semua?" tanya Vian. "Sudah, tapi … aku tidak akan ikut pengobatan ini," mendengar jawaban Akiko, tentu Vian terdiam bingung. Apalagi, pengobatan ini sangat penting bagi kondisi Akiko sekarang. "Kenapa? itu semua demi kebaikanmu, Akiko. Kau bisa memilih Radioterapi jika tidak ingin minum obat-obatan lagi," bujuk Vian. "Aku tau, Kak. Tapi, rasanya percumah saja. Cepat atau lambat aku pasti akan mati," lirih Akiko. Membuat hati Vian merasa sakit karena gadis lugu itu begitu pasrah dengan takdirnya. "Tidak ada yang percumah jika kau mau berusaha. Aku tidak ingin kau sakit lagi, Akiko…," bujuk Vian kembali. Namun, hanya ditanggapi dengan senyuman tipis dari Akiko. "Jalani Radioterapi seperti yang aku sarankan. Kau jangan pasrah seperti itu," mohon Vian. Kali ini sambil duduk di depan ranjang rumah sakit yang Akiko duduki. "Aku sudah mati rasa, aku tidak mau berusaha lagi," tegas gadis berambut pendek itu. "Akiko!" geram Vian. "Ada apa denganmu? bukankah kemarin kau menyetujui pengobatan ini? lalu kenapa berubah pikiran? apa karena masalah biaya?" papar Vian. "Biar aku yang tanggung semua biayanya, kau cukup berobat saja. Okay?" mendengar Vian yang berusaha begitu keras untuk membujuknya, Akiko jadi tersenyum manis. "Kau pria yang sangat baik, Kak. Aku harap, kau bertemu wanita yang sama-sama baik suatu hari nanti," ucap Akiko."Aku sudah menemukannya, dia ada di hadapanku sekarang," lirih Vian dalam hati, tanpa bisa mengungkapkan langsung di depan Akiko. Beberapa detik kemudian, dia memalingkan wajah memerahnya dari Akiko. "Coba, pikirkan lagi keputusanmu. Aku menunggu jawaban baik darimu, datang lagi besok," Akiko hanya mengangguk, menanggapi permintaan Vian. Kemudian, pria itu mengantarkan Akiko sampai naik taksi. Dari sana, Akiko bisa melihat tatapan penuh harap dari Vian. "Aku tidak akan datang lagi, Kak Vian.""Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b
"Pakai ini, malam nanti kita akan pergi ke suatu tempat. Jadi, pastikan pakaian ini cocok," Glen memberikan sebuah dress hitam pendek yang nampak sangat mewah. Beberapa detik kemudian, Glen terdiam karena baru sadar bahwa Akiko hanya memakai handuk saja karena baru selesai mandi. "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanya Akiko kesal karena Glen masuk ke kamarnya sembarangan. Walau apartemen ini memang milik Glen, tapi Akiko juga butuh privacy. Untung saja handuk yang Akiko pakai adalah jenis kimono sehingga tidak begitu terbuka. "Terserah aku," sahut Glen acuh sambil melemparkan dress itu kepada Akiko. "Tidak ada yang lain?" tanya Akiko setelah mengamati dress itu. "Kenapa memang?" banyak Glen balik. Padahal, dia sudah memiliki dress terbaik untuk Akiko, tapi gadis itu malah ingin yang lain. "Aku tidak suka pakaian pendek," jelas Akiko lalu memutuskan untuk membuka lemarinya. Mengeluarkan sebuah dress panjang elegan warna abu-abu. Tapi, Glen hanya diam saja saat Akiko ingin menggan
"Kau hidup seperti iblis, Glen. Ikutlah denganku, hentikan perusahaan bodohmu itu. Apa kau sadar bahwa perusahaanmu itu mendukung tindakan kriminal?" cibir Marlin, berdiri melipat kedua tangan di dada saat bicara dengan Glen. "Aku tau, tapi aku suka. Aku sudah hidup dalam kegelapan sejak dulu, aku tidak ingin membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba sok peduli padaku. Sejak dulu kau hanya ingin menjadi yang terbaik tanpa peduli pada aku," sahut Glen, menyalakan rokok dan menghisapnya santai. "Apa kau tidak punya sisi kemanusiaan sedikit pun, Glen?" tanya Marlen, berusaha membujuk adiknya itu. Tapi, kepercayaan Glen pada Marlen sudah hancur karena masa lalu. Andai saja Marlen membela Daddy–nya, pasti Glen masih menyayangi Marlen. Sayangnya, dia justru membela sang Mommy yang jelas-jelas salah karena berselingkuh pada saat itu. "Aku tau, banyak yang mati karena karya hebatku, 'kan? aku selalu menciptakan model pistol baru yang sangat cocok untuk
"Pagi," sapa Glen yang baru saja selesai mandi. Pria itu tampak lebih tampan, dengan rambutnya yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, aroma Glen mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibirnya. Akiko bahkan sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu. Padahal, Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. "Kenapa kau bangun sangat pagi? aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat bangun," tanya Glen, mengambil segelas kopi yang baru selesai Akiko buat. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko. Dia sudah menyetel alarm, tentu saja selalu bangun tepat waktu. Dia tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko. Bingung saja kenapa Glen selalu menyuruhnya memakai dress ba
Sudah dua minggu sejak Akiko pergi dari apartemen Glen, kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil. Untung saja kartu miliknya tidak dibekukan oleh Mr. Eloise. Jadi, dia bisa bertahan hidup untuk sementara waktu dengan sisa uang yang ada. Beruntung tidak beruntung, Akiko tidak pernah berselera makan sehingga engeluaran jadi lebih sedikit karena dia hanya kembali makanan Kouma yang paling penting. Akiko menatap anjingnya lama, dia bingung bagaimana nasib Kouma jika suatu hari dia tidak ada. Karena tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan lagi, Akiko memutuskan untuk segera bersiap. Kontrakan ini hanya berisi ruang tidur, dapur yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar mandi dan juga ruang tamu. Benar-benar pas untuk Akiko yang tinggal sendirian. "Akiko!" teriak seorang pria, sambil melambaikan tangan semangat."Kak Vian," sapa Akiko balik, mendekati pria yang sudah duduk di bangku taman. Semenjak berpisah dengan Glen, Akiko jadi lebih bebas pergi kemanapun. Bahkan, Vian juga sering