Share

Gadis Milik Tuan Mafia [Bab 8]

"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. 

"Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. 

"Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. 

"Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. 

"Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. 

"Sorry," lirih Akiko masih dalam keadaan syok. Lalu, Glen menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. 

Sedangkan Akiko justru tertidur, mungkin karena tadi sempat minimal obat yang mengandung efek kantuk. Apalagi, dia merasa sangat lelah setelah seharian ini beraktivitas. Belum lagi tubuhnya penuh luka karena pukulan dari mama Ethan. 

Glen melirik Akiko yang sudah terlelap tidur, dengan Ethan di pangkuannya. Rahangnya mengeras emosi, entah karena apa. Dia tidak suka melihat Akiko pendiam dan menyedihkan seperti ini. 

"Kau tidak akan bisa menang, jika hanya diam saja."

***

Akiko mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Lalu, beberapa detik kemudian gadis itu refleks terbangun kaget saat menyadari bagaimana kondisinya sekarang. Apa dia sudah tidur semalaman? 

Akiko berjalan sempoyongan, tubuhnya terasa sakit karena tidur di alas yang tipis di lantai. Apalagi, dengan udara yang dingin tanpa penghangat ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, dia langsung terdiam. Kakinya terasa perih sekali, bahkan sampai terasa panas seperti terkena benda tajam. Saat melihat ke telapak kakinya, Akiko sontak terbelalak kaget. 

"Kenapa ini?" bingungnya, mengelap darah yang menetes dari goresan-goresan di telapak kaki. Kemudian, perhatiannya kembali teralihkan oleh teriakan Ethan. 

"Aarrgghh!" Akiko mengedarkan pandangan, mencari dari mana sumber suara teriakan itu. 

"Ethan…," gumam Akiko saat sadar bahwa dia masih bertanggung jawab atas Ethan. Tapi, karena tertidur dia jadi kehilangan Ethan di apartemen asing ini. Dengan menahan sakit, Akiko berlari ke arah suara. Ternyata, asalnya dari sebuah ruangan kosong nan gelap. 

Nafas Akiko tercekat, melihat Ethan yang diikat di sebuah kursi dengan tubuh penuh lebam dan goresan. Lalu, Akiko mengalihkan pandangan pada seorang pria yang duduk di antara kegelapan yaitu, Glen. 

"What are you doing?" gumam Akiko sambil mendekati Ethan yang sudah menangis sejadi-jadinya. Akiko berusaha membuka tali Ethan, tapi Glen tiba-tiba datang dan mencambuk punggungnya. Sehingga gadis itu menahan rasa perih dan panas akibat cambukan.

"Siapa yang memperbolehkanmu keluar dari kamar?" tanya Glen, memasang tatapan menyeringai. Lalu, kembali mencambuk Akiko beberapa kali saat gadis itu memeluk Ethan erat-erat. 

"Jangan lukai Kakak! Jangan lukai Ka—"

"Diam! Kau pikir, kau ini siapa?" bentak Glen dengan suara baritonnya, sehingga Ethan sontak terdiam. Kemudian, pria itu mengalihkan pandangan pada Akiko yang sedang meremas pakaiannya sendiri untuk menahan sakit. 

"Sepertinya, luka di kakimu itu tidak cukup untuk membuatmu diam, hah?" Glen mencengkram rambut pendek Akiko sampai gadis itu mendongakkan kepala. 

Akiko terdiam, mengetahui fakta bahwa ternyata Glen adalah orang yang telah mengiris-iris telapak kakinya. Akiko tidak menyangka kalau Glen lebih gila dari dugaannya. Hal tersebut membuat Akiko berpikir, kalau Glen pasti bukan orang normal. 

Bisa dilihat dari cara Glen memainkan pisau dan senjatanya. Akiko ingat betul, bagaimana ekspresi datar Glen saat membunuh mama Ethan kemarin. Raut wajahnya seolah terbiasa melakukan hal-hal keji dengan bebas.  

"Aiko … sebaiknya jaga sikapmu karena aku bukan orang baik-baik," geram Glen. Kemudian, dia pergi meninggalkan Akiko dan Ethan begitu saja. Sementara Akiko terdiam saat mengingat kalau di perjanjian kontrak dengan Glen, tidak ada jaminan bahwa dia akan aman. 

"Kakak," panggil Ethan dengan suara gemetaran. 

"I'm sorry … i'm sorry, Ethan," lirih Akiko, merasa begitu bersalah pada Ethan. Dia sudah disiksa oleh orang tuanya sebelum ini, ditambah oleh kekejaman Glen. 

Akhirnya, Akiko beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya dan Ethan. Ini bukan apartemennya, dia tidak tau di mana letak kotak obat. Jadi hanya dia bersihkan seadanya saja. 

"Ethan, dengarkan aku. Kau tidak boleh bersama aku, okay? apartemen ini milik Glen, dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Jadi, aku akan mengantarmu ke tempat yang lebih aman," jelas Akiko sembari menangkup wajah mungil Ethan. 

Anak itu mengangguk pelan, walau aslinya berat hati berpisah dengan Akiko. Tapi, mengingat bagaimana kejamnya Glen, nyalinya jadi menyusut. Apartemen ini seperti sarang monster. Ethan bisa habis kapan saja di tangan Glen. 

"Ayo," ajak Akiko. Kemudian, bergegas keluar dari apartemen sebelum Glen sadar. 

Akiko berencana menempatkan Ethan di penitipan anak saja. Jika ada keluarga besar Ethan yang merasa kehilangan, maka mereka bisa menjemput Ethan atau menghubungi Akiko lewat nomor yang dia catat. Walau dia harus mengeluarkan biaya besar untuk Ethan, tapi setidaknya dia merasa lega kalau Ethan aman. 

"Kakak, apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ethan, khawatir akan nasib Akiko di tangan Glen. Sementara gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum lalu memeluk Ethan sebagai salam perpisahan. 

Sebelum kembali ke apartemen Glen, Akiko memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit besar. Ingin menemui seseorang, yang pasti sudah menunggunya dari kemarin. Dia adalah Vian, pria berstatus Dokter itu kerap menanyakan kabar Akiko lewat pesan singkat. 

"Kak," panggilnya saat memasuki ruangan Vian. 

"Halo, bagaimana kabarmu?" tanya Vian ramah, senyum manisnya membuat Akiko merasa tenang. 

"Baik," jawab Akiko seadanya, walau dia sedang berbohong. 

"Bagaimana dengan berkas yang aku berikan? sudah kau baca semua?" tanya Vian. 

"Sudah, tapi … aku tidak akan ikut pengobatan ini," mendengar jawaban Akiko, tentu Vian terdiam bingung. Apalagi, pengobatan ini sangat penting bagi kondisi Akiko sekarang. 

"Kenapa? itu semua demi kebaikanmu, Akiko. Kau bisa memilih Radioterapi jika tidak ingin minum obat-obatan lagi," bujuk Vian. 

"Aku tau, Kak. Tapi, rasanya percumah saja. Cepat atau lambat aku pasti akan mati," lirih Akiko. Membuat hati Vian merasa sakit karena gadis lugu itu begitu pasrah dengan takdirnya. 

"Tidak ada yang percumah jika kau mau berusaha. Aku tidak ingin kau sakit lagi, Akiko…," bujuk Vian kembali. Namun, hanya ditanggapi dengan senyuman tipis dari Akiko. 

"Jalani Radioterapi seperti yang aku sarankan. Kau jangan pasrah seperti itu," mohon Vian. Kali ini sambil duduk di depan ranjang rumah sakit yang Akiko duduki. 

"Aku sudah mati rasa, aku tidak mau berusaha lagi," tegas gadis berambut pendek itu. 

"Akiko!" geram Vian. 

"Ada apa denganmu? bukankah kemarin kau menyetujui pengobatan ini? lalu kenapa berubah pikiran? apa karena masalah biaya?" papar Vian. 

"Biar aku yang tanggung semua biayanya, kau cukup berobat saja. Okay?" mendengar Vian yang berusaha begitu keras untuk membujuknya, Akiko jadi tersenyum manis. 

"Kau pria yang sangat baik, Kak. Aku harap, kau bertemu wanita yang sama-sama baik suatu hari nanti," ucap Akiko.

"Aku sudah menemukannya, dia ada di hadapanku sekarang," lirih Vian dalam hati, tanpa bisa mengungkapkan langsung di depan Akiko. Beberapa detik kemudian, dia memalingkan wajah memerahnya dari Akiko. 

"Coba, pikirkan lagi keputusanmu. Aku menunggu jawaban baik darimu, datang lagi besok," Akiko hanya mengangguk, menanggapi permintaan Vian. Kemudian, pria itu mengantarkan Akiko sampai naik taksi. Dari sana, Akiko bisa melihat tatapan penuh harap dari Vian. 

"Aku tidak akan datang lagi, Kak Vian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status