Zeva mengerjapkan matanya, merasakan kalau matahari sudah menyapa dan menerobos masuk lewat sela - sela jendela.
Zeva menatap langit - langit, mencoba mengumpulkan nyawa dan mengingat di mana dia sekarang.
"Udah bangun, sarapan dulu." Zein menutup pintu dapur, melangkah menghampiri Zeva yang masih diam.
Zeva mengerjap polos."Badan Zeva kok sakit semua rasanya, padahalkan semalem yang di pukul - pukul alat pipisnya Zeva." terangnya dengan suara khas yang terdengar seperti anak kecil mengadu.
Zein menahan nafas sesaat sebelum berpaling untuk menyembunyikan bibirnya yang berkedut, hampir saja terbahak. Tapi maaf, terbahak bukan gayanya.
Zein kembali menatap Zeva yang tidur terlentang dengan selimut menutupi tubuh polosnya seleher.
"Sekolah di mana?" Zein mengambil topik lain, wajahnya begitu datar.
Tidak biasanya Zein bertanya bahka
Ayana dan Slavi menghampiri Zeva yang baru datang ke sekokah. Penampilan cerah dan lugu gadis itu membuat keduanya semakin ingin membuat Zeva liar seperti mereka. "Katanya dia di bawa sama cowok, pasti di apa - apain." kikik Slavi sebelum sampai di depan Zeva. "Hallo Slavi, Hallo Ayana." sapanya riang dengan senyum manis yang memabukan. Namun Slavi dan Ayana malah muak melihat senyum itu. "Hai." sapa balik Slavi sekenanya."gimana? Udah ga perawan?" tanyanya dengan memasang wajah angkuh dan meremehkan. Zeva mengangguk antusias."Udah, namanya Geo—" alisnya bertaut, dia lupa kepanjangannya. "Sip, lo berarti bisa jadi anggota kita." Ayana berseru denga
Aka menghampiri Zein, keduanya berdiri berhadap - hadapan. Ketara sekali kalau si kembar identik itu begitu berbeda dalam segi penampilan. Aka rapih dengan dasi terpasang di tempatnya, tidak miring seperti Zein. Kancing seragam Zein bahkan terbuka dua. "Apa?" Zein menekuk wajahnya muak, terlihat tidak suka dengan kehadiran Aka. "Mommy, di ruang guru." Aka berlalu melewati Zein, dia pun tidak ingin berlama - lama dengan Zein. Para manusia di sekitar terlalu ketara memandangi keduanya dan mulai menilai perbedaan di antara keduanya. Grecia yang berpapasan dengan Zein sontak berseru kesal dengan memukul lengan bisep Zein."Bang! Mommy marah banget tahu! Bolos abis itu tawuran!" omel
Zeva demam, tubuhnya lemas. Sudah tiga minggu dia pindah rumah yang cukup jauh dari sekolah. Mungkin itu alasannya."Adit mau kemana?" mata sayu Zeva mengerjap polos."Bantuin bunda, kamu istirahat aja." di usap kening Zeva lalu berlalu.Zeva menghela nafas, nafasnya jadi ikut panas. Zeva tidak suka sakit begini. Zeva tidak mau balik lagi ke rumah sakit."Demamnya turun engga?" Lamita datang, membawa satu gelas air lalu memperiksa kening dan leher Zeva."Kata Adit, turun dikit, bunda."Lamita mengangguk pelan, menyimpan gelas itu di nakas."Bunda tanggung beresin belakang dulu, bunda tinggal sebentar, Zeva tidur dulu, ya?"Zeva mengangguk."Maaf ya bunda, Zeva engga bisa bantu." sesalnya dengan sendu.***"Pindah?" Zein terdenga
Zein masih diam, hanyut dalam pemikirannya."Bang Jack, kalau hamilin anak gadis orang, apa yang bang lakuin?" tanyanya. "Kamu hamilin anak orang?" seru Jack kaget."jangan deh, karier kamu lagi bagus, tawaran film banyak, jangan aneh - aneh." cerocosnya serius. Zein diam, tatapannya kosong menatap pemandangan indah perkotaan di depannya. Rumah mewahnya jadi semakin terasa dingin, kedua orang tuanya masih marah, kini masalah baru muncul. Zein yakin, Zeva hamil anaknya karena dulu Zein sempat muntah - muntah di pagi hari, sering bermimpi soal anak, dalam perhitungan bulan kandungannya pun sesuai. "Zein, kamu ga seriuskan tanya soal itu? Kamu ga hamilin anak gadis orang?" Zein berbalik, membawa langkahnya melewati Jack dengan acuh. Zein sedang kusut. Sudah 1 minggu dari pertemuannya hari itu dengan Zeva, Zein semakin terganggu
Jack terlihat terus mondar - mandir, dengan ponsel menempel di telinganya. Jack terus menyangkal semua pemberitaan yang menerpa Zein pada beberapa wartawan yang menghubunginya. "Astaga!" erang Jack setelah sambungan berakhir, dia merasa kupingnya panas karena banyak menerima panggilan hari ini. Zein masih diam, larut dalam pikirannya. Zein terlihat acuh dengan kejengkelan, kesibukan Jack karena memang sudah tugasnya Jack menangani semua tentangnya di dunia penuh sandiwara itu. "Dalam sebulan, rumor kamu dating hampir sama 6 perempuan terkenal dengan minus 1 anak presiden." oceh Jack dengan wajah di tekuk muram, dia menyesal rasanya mengambil pekerjaan ini. Zein mengangkat bahunya acuh."Ga semua aku yang deketin bang, mereka yang nyamperin." balasnya malas - malasan. Zein meringkuk di sofa, memikirkan soal Zeva membuatnya lelah. Baru pertama kali selama dia hidup, p
Zeva merapihkan kasurnya, setelah puas melihat isi rumah Zein. Perutnya yang terhalang gaun tidur putih cukup menutupi perutnya yang buncit. "Belum tidur?" Zeva menoleh, mengerjap pelan dengan melempar senyum."Belum, Zeva masih ga ngatuk, Geo." jawabnya. Zein terlihat canggung, entahlah. Kenapa juga seorang playboy mendadak canggung hanya karena melihat perempuan manis dengan gaun tidur tipis dalam keadaan hamil di kamarnya. Ugh! Zein merasa telinganya panas. Imajinasinya tiba - tiba aktif. Bagaimana ya rasanya making love dengan wanita hamil? Zein memang brengsek, baru bertemu lagi malah ingin membuat Zeva lelah di bawahnya. "Geo?" Zeva sudah berdiri di depan Zein, mendongkak dengan menatap bingung. "Hm?" "Kok ngelamun? Zeva panggil - panggil sama tanya Geo tadi." jelasnya dengan mengerja
Dokter berusia matang itu terlihat serius memperiksa Zeva, semua peralatan medis untuk kandungan mendadak memenuhi kamar Zein. Zein yang berdiri di samping Jack terlihat bahagia, dia baru saja mendengar detak jantung anaknya. "Kandungan sudah masuk 8 bulan akhir, posisi dan keadaan keduanya baik, terus pertahankan." Zein tersenyum tipis setelah mendengarnya. Sudah 3 hari Zeva di rumahnya, dokter baru sekarang datang karena Zein melarang untuk datang sebelum dia dapat waktu luang. "Makasih, dok." Jack membungkuk sopan. "Suaminya siapa?" dokter itu memandang keduanya lalu tersenyum."kamukan?" tepuknya pada Zein. Zein tersentak pelan, Jack tampak terkejut. "Tenang, rahasia aman. Semangat shootingnya, istri saya begitu tergila - gila padamu Zein." Zein tersenyum hangat."Lain kali kita bisa makan malam bers
Red karpet membentang panjang. Para wartawan terlihat sibuk di setiap sisinya, menyiapkan semua kamera dan perlengkapan lainnya. Para bintang malam ini terlihat bergantian masuk, dari yang senior hingga Junior, dari yang terkenal hingga yang baru. Dan hingga berakhir pada bintang utama yang sedang hangat - hangatnya di perbincangkan dan di gilai. Semua tampak bersiap, para fans mulai ricuh meneriakan nama Zein. Zein melirik semuanya di balik jendela mobilnya, dia merasa tidak percaya bisa di gilai melebihi para bintang lainnya yang lebih dulu berkecimpung di dunia sandiwara. "Abang tunggu di ruang sebelahnya, jangan jawab pertanyaan yang ga sesuai sama yang kita diskusiin kemarin." Zein mengangguk, merapihkan jasnya lalu mulai membuka pintu dan turun dari mobil. Semua terlihat berlomba menjadi yang paling depan. Kedipan - kedipan kamera b