"Tidak ada. Aku hanya asal bicara.""Wanita sepertimu memang tidak bisa di percaya. Berani kamu adukan ini pada Ayah, aku juga akan adukan kelakuan kamu di depan orang tuamu. Biar kita sama, sama-sama hancur.""Terserah kamu saja, kamu bermain wanita? Aku juga bisa bermain dengan banyak pria. Jangan larang aku dan urus aku, kita bersatu dalam rumah dan status tapi tidak dengan hubungan. Urus diri sendiri, urus urusan masing-masing, kita hanya orang asing."Flara menatap Rania sesaat sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu. Air matanya luruh seketika saat dirinya berjalan menjauh dari suami dan juga gundiknya. "Kuat Flara kuat. Bertahanlah demi orang tuamu. Zaki tidak pernah main-main dengan ucapannya. Begitupun juga Denan. Ya Tuhan apa salahku? Kenapa aku terjebak dalam dua manusia yang kau bekali mereka hati, tapi tidak mereka gunakan." Flara bergumam seraya menyeka air matanya. Memang tak mudah menjadi Flara. Ia ingin membongkar semuanya di hadapan Zaki mengenai masa lalu kedua
Flara kembali hampir terjatuh saat membuka pintu. Kepalanya masih terasa pening dan seperti berputar-putar. "Fla, kasih ke aku kuncinya." Denan berusaha merebut kunci yang berada di tangan Flara. Sementara tangannya yang lain memegang tubuh Flara yang sudah nampak terkulai lemas. Setelah pintu terbuka, tubuh Flara tiba-tiba tersungkur ke lantai. Ia benar-benar pingsan kali ini. Dengan panik Denan membawa Flara ke dalam gendongannya dan berlari secepat kilat ke dalam rumah. Meletakkan Flara di sofa ruang tamu dan berusaha membuat wanita itu tersadar. Sungguh ada rasa penyesalan yang menyelimuti hati Denan. Melihat mantan kekasihnya yang nampak terpuruk dengan situasi yang menimpanya membuat Denan sedikit meluluhkan hatinya. "Fla, kamu sudah sadar? Minum dulu!" Denan memberikan segelas air putih. Flara masih bingung dan menatap sekeliling. Sejurus kemudian ia teringat seluruh kejadian sebelum ia jatuh pingsan. "Ngapain kamu masih di sini? Jangan pedulikan aku, sudah tidak berguna.
Di hari yang masih pagi, gerimis sudah hadir membasahi bumi. Entah kapan mentari akan menyinari bumi di hari yang kelabu ini. Meskipun keadaan di luar sedang mendung, hal itu tak menyurutkan semangat Zaki untuk bekerja. Apalagi semalam ia sudah di hadiahi Rania sebuah surga dunia yang sudah lama yang ia rindukan. Mata Zaki tak sengaja menatap meja makan ketika sedang melewatinya. Kosong, tak seperti biasanya yang penuh jejal dengan makanan meski ia tak pernah menyentuh makanan tersebut. Ingatan Zaki membawanya ke momen semalam yang telinganya dengan jelas mendengar suara Flara memuntahkan sesuatu. "Mungkin dia sedang tidak enak badan. Ah, biarkan saja. Nanti juga sehat dengan sendirinya," ujar Zaki acuh lalu pergi dari rumah. Flara yang mendengar suara deru mobil melaju membuka mata dengan perlahan. Suasana mendung disertai gerimis di pagi hari membuatnya semakin nyaman tenggelam dalam selimut. Di tambah lagi dirinya semalam kurang bisa tidur karena terus menerus mual dan merasa p
"Ada apa, Sayang? Kenapa kau terihat tergesa-gesa?" tanya Rania heran melihat tingkah kekasih barunya yang nampak begitu panik. "Flara pingsan. Bukan Flara yang aku khawatirkan, tapi kedua orang tuanya. Apa yang akau aku katakan nanti jika mereka bertanya kenapa aku meninggalkan Flara dalam keadaan sakit." "Sayang, tenanglah! Kau bisa berpikir jernih ketika kau tenang. Pergilah sekarang, tenangkan pikiranmu. Semua akan baik-baik saja, urusan kerjaan aku yang handle.""Terima kasih, i love you." Zaki mengecup singkat kening kekasihnya dan berlalu dari sana. Sejak malam itu, malam di mana mereka bercengkrama bersama di sebuah kamar mewah di salah satu hotel ternama, membuat mereka meresmikan hubungan menjadi sepasang kekasih. Namun, sejak menjadi kekasih Zaki. Rania nampak terbawa perasaan. Sikap Zaki yang benar-benar romantis saat bersamanya membuat Rania merasa nyaman. Padahal baru semalam mereka meresmikan hubungan. Contoh kecilnya baru saja terjadi, kecupan singkat, tapi entah
"Ke mana Zaki?" tanya Pak Burhan berjalan mendekat meja Rania. "Sedang pulang, Pak. Beliau diberi kabar Ibu mertuanya katanya istrinya pingsan."Pak Burhan hanya manggut-manggut. Ia berjalan mendekati kursi Rania lalu membungkukkan badannya sedikit. "Beberapa hari tak melihatmu membuatmu semakin cantik, Rania. Kau tidak merindukan aku? Kau tidak rindu menggodaku?" Rania berdiri dan memeluk pria itu. Sungguh jijik sekali rasanya ia bertingkah begini. Ingin rasanya ia mengeluarkan seluruh isi dalam perutnya karena merasa jijik dengan apa yang ia lakukan. Untuk pertama kalinya ia memeluk pria tua bangka seperti ini. Denan benar-benar membuatnya dalam kesulitan. "Sudah, kan? Ini yang Bapak inginkan? Sekarang Bapak harus membayar utuk pelukan ini!" Rania meraba dada datar Pak Burhan dan mengelus-elusnya.""Akan segera aku kirim."Ceklek. Pintu yang mengayun ke dalam membuat mereka segera melepas pagutan tubuh itu. "Ayah, ngapain di sini?"Pak Burhan berjalan menuju pintu, di mana ana
Melihat pemandangan yang berada di depan mata membuat ingatan Flara terlempar pada beberapa bulan lalu. Pada masa Denan menceritakan soal Pak Burhan dengan gamblang dan jelas. Ingin rasanya tak percaya saat itu, tapi bukti nyata kini ada di depan mata. 'Lingerie? Beli lingerie sama Rania? Sejauh itu hubungan mereka? Kenapa aku heran? Seharusnya aku bersikap biasa saja. Memang dari dulu ayah mertuaku itu nggak bener, kan? Bukti nyatanya adalah Denan. Dan hingga sekarang ternyata nggak berubah? Aku nggak bisa bayangin bagaimana hancurnya Zaki kalau tahu soal ini. Orang tua yang dia junjung dan dia jaga harga dirinya, ternyata lebih bejat dari seorang penjahat.'Flara melipir pergi dari sana. Lebih baik ia pura-pura buta dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia takut jika bertindak sesuatu, nasibnya akan sama dengan ibu Denan. Menyebut nama Denan membuat ia ingat dengan pria itu. Pria yang pernah mengisi relung hatinya itu rupanya memiliki kisah hidup yang malang. Ia sampai melakukan kej
Flara berlari menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi. Suara barang pecah membuat ia lupa bahwasanya ia sedang hamil muda. Ia memekik tertahan begitu sampai sana. "Astaga, Mas kamu nggak apa-apa, kan? Minggir jangan dibereskan, tangan kamu melepuh." Flara menggeret tangan Zaki menuju wastafel dan menyiram tangan suaminya yang tersiram air panas. Mengelapnya dengan handuk kecil dengan orang seraya meniupnya pelan-pelan. Nampak Flara memperlakukan suaminya itu dengan telaten, sabar dan sangat lembut. Entah kenapa kali ini Zaki tak banyak bicara apalagi melarang Flara menyentuhnya, ia diam seribu bahasa seakan Flara menghipnotis Zaki dan memintanya untuk diam. Wanita itu begitu cekatan memberikan pertolongan pertama pada tangan suaminya yang tersiram air panas. Zaki hanya menatap dalam diam wanita yang sejak tadi panik dan sibuk sendiri karena tangannya. "Kamu mau apa? Kenapa nggak minta tolong aku aja? Kalau kamu anggap aku orang asing, nggak seharusnya kamu mendiamkan aku, oran
Denan mendengar ada suara yang sangat ia kenal. Suara seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup hingga detik ini. Tapi tunggu! Bagaimana bisa suara itu ada di luar kamar? Bukankah? "Ibu." Denan seketika berlari ke lantai dua. Di mana ibunya duduk di kursi roda dengan perawatnya berada di belakang. "Ini Ibu, kan? Ibu aku seneng banget melihat Ibu yang begini." Ya, selama belasan tahun Bu Salma hanya berbaring saja bukan tanpa alasan. Beliau masih bisa duduk, tapi lebih memilih untuk tetap di kamar tanpa tahu dunia luar. Beliau ingat betul, waktu itu suaminya mengatakan agar tak ada satupun orang yang tahu bahwa dirinya masih hidup, atau kejadian yang lalu akan terulang kembali. Kejadian di mana seseorang berniat melenyapkan keduanya. Karena beliau ingin tetap hidup untuk Denan, akhirnya beliau merelakan tubuhnya hanya berbaring di atas tempat tidur. "Jangan bicara seperti itu pada Ayah, Nak. Nggak boleh berteriak di depan orang yang lebih tua. Berangkat kerja sana sekarang,