Lynea masih terbenam dalam pelukan Gabriel. Hati yang hancur akibat penolakan Enrico membuatnya terisak dan berderai air mata. Dalam kesedihan itu lagi-lagi sosok Gabriel datang menyediakan tempat yang sangat nyaman baginya.
“Aku mencintaimu, Gabriel!” Pelan suara Lynea terucap di antara getar suara tangis.
“Aku juga mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Kita dilahirkan untuk bersama, aku yakin itu!” balas Gabriel membelai lembut gerai rambut hitam legam Lynea.
Lorong rumah sakit menjadi tempat dua hati kembali menyatu. Keduanya yang sempat terpisah karena dualisme cinta Lynea pada Enrico dan Gabriel kini telah menemukan jalan untuk dapat memadu kasih kembali.
Belaian jemari Gabriel di rambutnya terasa begitu menenangkan. Memang pemuda satu ini selalu bisa membuainya dengan berbagai cara agar perasaannya menjadi tenang kembali.
“Ehm, Gabriel, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku memutuskan untuk meneruskan program bayi
Kepulangan Enrico kembali ke Istana De Luca membuat suasana tidak tenang bagi kehidupan Lynea. Pikirannya sedang berputar bagaimana bisa berada di kamar yang berbeda dengan Enrico. Saat ini ia sedang memilih untuk bersantai di kamar pakaian suaminya yang super besar. Dengan sebuah kasur lipat dan dua buah bantal, ia merebahkan diri. Ponsel di genggaman sudah akan menekam tombol menelepon Gabriel ketika tiba-tiba suara erangan merintih kesakitan datang dari luar kamar pakaian. Sebagai seorang perawat, ia sudah reflek untuk segera menghampiri pasien apabila mendengar suara tersebut. Langkah kakinya segera menghampiri Enrico. Ketika melihat sang lelaki sedang menahan sakit yang luar biasa, ia seketika merasa ada sesuatu yang menghunjam dada. “Kamu kenapa, Enrico?” seru Lynea mulai terdengar panik. Enrico tidak menjawab. Ia terus merintih dan memegang pinggangnya sampai kini ia sudah dalam posisi meringkuk di atas kasur. Lynea segera berteriak memanggil d
Suasana pagi menjadi rusak dan menyebalkan akibat teriakan Enrico serta kedatangan kekasihnya. Baik Enrico maupun Elena seakan memiliki cara tersendiri untuk membubarkan ketenangan.Lynea hanya diam karena malas menanggapi cibiran Elena. Ia lebih fokus kepada dua orang perawat yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk dan ekspresi penuh ketakutan. Bahkan pada wajah pucat Chris terlihat butiran keringat sebesar biji jagung.Serpihan kaca yang berasal dari gelas pecah akibat bantingan Enrico berserakkan tepat di depan kaki mereka berdua. Untuk bernapas pun rasanya mereka takut. Apalagi Enrico kini memanggil Alonzo agar mengambilkan pistol putih kecil miliknya.“M-maaf … ma-maafkan k-kami, T-tuan,” gagap Daryl tetap menunduk tidak berani menatap singa yang sedang mengamuk di hadapannya.“Kamu bodoh! Kerja tidak becus! Aku pecat saja kalian!” hardik Elena begitu angkuh juga kejam.Lynea tidak paham apa yang sebena
Lynea menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung mendengar kasur lipatnya sudah dibuang oleh Enrico. Apa-apan ini? Batinnya menjerit kesal. Belum lagi mendengar bahwa ia diharuskan tidur dengan suaminya malam ini, satu ranjang. Lebih lama dalam permainan ini, aku bisa gila! Kembali Lynea mengutuk dalam hati. Tentu saja ia tidak merasa nyaman tidur bersebelahan dengan Enrico yang telah memasang tembok tinggi di antara mereka. Bagaimana bisa terbaring kemudian terlelap dengan seseorang yang sudah mengatakan tidak ingin bersamanya? Dengan seseorang yang menikmati bibir perempuan lain persis di depan matanya? Seorang lelaki pembohong! Batin Lynea kembali mencibir. “Aku tidur di kamar tamu saja kalau begitu!” tolak Lynea cemberut. Langkah kaki jenjang miliknya bergegas mengarah ke pintu kamar. Pikiran melayang tidak karuan dengan berbagai pertanyaan mengapa Enrico melakukan ini semua? “Jangan keluar kamar! Aku bilang tidur di sini, bersamaku!” teriak
Ketika perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang, maka berbagai emosi menyertai. Bila perubahan yang terjadi adalah kebahagiaan, maka senyum dan tawa akan menghiasi hari. Namun, bila perubahan itu seperti yang dirasakan Enrico saat ini, tidak bisa berjalan lagi, entah apa yang kemudian bisa terjadi.Setiap malam ia tidak bisa tidur. Rasa nyeri yang kerap membersamai ditambah hati telah hancur berkeping membuat pikiran tidak tenang. Harga diri kini dirasa berserakkan dan sudah hilang terbawa angin senja.Di sana, dalam khayalnya, sesosok wanita gemulai sedang tersenyum manis. Rambut dan matanya berwarna hitam, namun terlihat begitu terang bercahaya. Ketika ia akan menghampiri, sosok itu menjauh dan tertawa terbahak-bahak.Kakinya yang cacat tak bisa lagi berjalan diolok-olok oleh wanita itu. Pandang merendahkan, suara yang mencibir, dan lambaian tangan mengakhiri perjumpaan mereka. Enrico hanya mampu tergeletak tanpa daya di atas lantai.Sementara itu,
Suasana di kamar Enrico semakin terasa semrawut sejak kedua perawat berhenti. Elena sebelumnya berjanji akan merawat kini hanya bisa kebingungan. “Iya, pakaikan bajunya Enrico. Lengannya belum terlalu kuat untuk memakai pakaian sendiri. Kenapa? Kamu kesulitan?” ulang Lynea. “Eh, bukan kesulitan. Aku hanya tidak tahu harus memulai dari mana?” tanggap Elena berkilah. “Dimulai dari mana? Ya, Tuhan! Kenapa jadi sulit sekali?” Lynea sungguh kesal. “Sudah! Keluar semuanya! Aku yang akan mengurus semua ini!” lanjutnya setengah berteriak. Elena segera keluar mendengar ucapan Lynea tersebut. Tanpa menunggu perintah kedua kalinya ia langsung menjadi orang pertama yang sampai di pintu kamar. “Aku bisa memakai baju sendiri! Tinggalkan aku!” ucap Enrico ketus. Ia berusaha memposisikan dirinya untuk duduk bersandar tetapi terus gagal. Kedua lengan yang masih lemah ditambah rasa nyeri area punggung membuat semuanya semakin sulit. “Tidak usah
Elena menemani Enrico fisioterapi seperti biasanya. Dalam perjalanan lelaki itu menceritakan kedatangan Charles kemarin. Keharusan muncul di perusahaan menemui para direktur, direksi, dan pemegang saham adalah sesuatu yang terlalu berat.Bagaimana mungkin mengatur perusahaan sedemikian besar bila ia tidak mampu mengatur dirinya sendiri? Memakai celana saja tidak bisa apalagi membuat strategi memenangkan pasar?Berbagai pikiran negatif ia ceritakan kepada Elena. Bersama kekasihnya ini, entah mengapa ia tidak terlalu mementingkan harga diri. Enrico merasa nyaman untuk terlihat rapuh bahkan lemah. Seakan apa pun adanya diri, wanita itu tidak akan peduli atau berubah pandang kepadanya.“Aku tidak mau ke kantor menampakkan diri dalam kondisi seperti ini. Aku malu!” seru Enrico di dalam mobil.“Kenapa malu? Kamu pemilik perusahaan. Ada yang menghinamu, pecat saja!” sahut Elena santai masih terus memainkan ponselnya.“Mereka
Pepatah jaman dahulu mengatakan, ada beberapa hal yang sebaiknya dibiarkan saja untuk tidak diketahui. Seandainya Lynea menuruti pepatah tersebut, hari ini tentu tidak akan menjadi hari terberat dan paling menyedihkan dalam hidupnya. Ketika tangannya membuka pintu mobil dengan cepat, apa yang ia lihat di dalam sana membuat jantungnya berhenti berdetak. “Aaaa!” jerit Elena ketika pintu terbuka dan mengekspos tubuh telanjangnya yang masih berada di atas pangkuan Enrico. “Enrico ka-kamu …,” gagap Lynea tak mampu berkata apa-apa lagi. Napasnya seketika itu tersengal. Pemandangan di hadapan seperti mimpi buruk dan menakutkan. Bahkan lebih mengerikan daripada orang yang disiksa ketika ia lihat di restoran. Tubuh membeku dan wajah terkejut telah berubah datar. Ekspresi benci, muak, dan mual menjadi satu terpancar dari sorot mata Lynea yang sedang beradu pandang dengan suaminya. Enrico tidak bisa berkata apa-apa ketika mata polos sang istri memandangi
Seorang lekaki “gentleman” tidak akan mengambil keuntungan dari seorang wanita yang sedang mabuk atau patah hati. Itulah yang sedang dilakukan Gabriel saat ini. Berusaha sekuat mungkin untuk menundukkan nafsunya. Sungguh, melihat dada Lynea dengan ukuran yang lebih besar dari kebanyakan wanita terpampang nyata di hadapannya membuat darah terasa berdesir lebih cepat. Perasaan panas menjalari wajah, leher, dan terus turun sampai ke benda di antara pusar dan paha. Namun, rasa sayang tidak harus ditunjukkan dengan cara bercinta seperti ini. Hati Lynea yang ia ketahui terluka -kemungkinan besar karena Enrico- sedang rapuh. Ia tidak ingin membiarkan kerapuhan itu mengarah pada tahap selanjutnya dalam percintaan mereka. “Kenapa selalu kamu kaitkan dengannya?” kesal Lynea. Hem yang masih terbuka memamerkan dada seksinya segera ia kancingkan. “Kemarilah, Lyn.” Gabriel merangkul pundak wanita cantik di sampingnya. “Aku tidak mau melakukan ini ka