Mata Enrico mendelik sangat lebar melihat pesan singkat yang masuk. Ia hanya bisa membaca sebagian dari pesan tersebut. Masih ada kalimat lain di belakangnya yang tidak bisa ia lihat tanpa membuka kunci ponsel Lynea yang dikunci.
Ingin ia melempar ponsel itu ke dinding karena marah dan cemburu. Baru dua malam dilalui bersama Lynea, apakah harus kehilangan lagi wanita tang telah merubah banyak warna dalam hidupnya. Batinnya menangis perih.
Bila diri adalah Enrico yang dulu, tentu detik itu juga akan ia bangunkan lalu maki-maki istrinya sampai puas. Hati yang keras akan melakukan itu semua tanpa peduli apakah ia menyakiti Lynea atau tidak.
Luar biasa memang, bagaimana rasa cinta bisa mengubah seseorang. Kegelisahan semakin melanda. Bila ia meminta kejelasan, rasanya tidak punya hak untuk itu. Bila didiamkan, sungguh mengusik ketenangan.
Ditimang-timang ponsel Lynea di telapak tangannya. Sorot mata tajam menatap sang istri sedang terlelap. Ponsel bergeta
“Enrico membutuhkan aku. Dia baru saja ingin bunuh diri,” racau Lynea membenarkan tindakannya. “Lalu? Biarkan dia mati. Orang sejahat itu tidak pantas hidup! Lagipula, kamu sudah berjanji akan menceraikan dia, bukan?” kejar Gabriel terus berusaha agar kekasihnya itu kembali padanya. “Kamu itu dokter, lho! Bisa-bisanya kamu menyumpahi orang agar mati saja?” decak Lynea mencibir. Kekesalan semakin memuncak dan ia merasa sudah tidak mengenali lagi orang di depannya. Gabriel terhenyak dengan sindiran Lynea. Rasa frustasi akan kehilangan kekasihnya membuat bibir berucap hal-hal buruk. Sedemikian dahsyat cinta merusak seseorang. “Kamu tidak akan kembali padaku? Berterus teranglah, Lyn,” pintanya lirih. “Aku kecewa denganmu, Gabriel. Maafkan aku bila belum bisa lagi mempercayaimu. Aku butuh waktu untuk melupakan ini semua,” jawab Lynea mengalihkan pandang pada jendela café. Jatuh cinta itu mudah. Berpisah itu sulit. Melangkah pergi hampir tid
Kesempatan kedua ada bagi mereka yang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki keadaan. Bila kini hati menjadi mudah menyatu, maka sudah seharusnya dijaga dengan perasaan yang paling tulus.Seperti halnya Lynea dan Enrico yang malam ini saling meluapkan rasa rindu setelah setengah tahun memendam rasa masing-masing. Cinta memang tidak pernah berhenti meninggalkan keduanya. Terbukti dengan bagaimana berdebarnya mereka saat merasakan bibir satu sama lain.“Seandainya sejak dulu aku tahu, dicintai olehmu akan sedemikian menenangkan, pasti akan aku nikahi kamu begitu pertama kali kita bertemu,” desah Enrico tersenyum di sela-sela ciuman mereka.“Memang kamu ingat bagaimana kita bertemu? Kamu tidak pernah menoleh padaku!” tawa Lynea mengingat bagaimana angkuhnya pria itu.“Bodohnya aku, Lyn. Semua yang aku butuhkan di dunia ada di hadapan. Tapi aku terlalu dungu untuk melihatnya.”Enrico menarik kembali wajah istrinya dan
“Tidak sedang apa-apa. Cuma lihat-lihat media sosial saja,” kilah Lynea memencet tombol kunci layar. “Buka lagi ponselmu. Aku mau lihat!” Enrico menatap tajam. Wajahnya dibakar api cemburu. “Enrico, ada apa? Kenapa kamu begini?” “Karena aku melihat sekilas, dan bukan media sosial yang kamu buka. Kamu sedang chat dengan siapa?” “Dengan teman,” jawab Lynea berusaha tenang. “Lynea!” bentak Enrico sudah hilang kesabaran. “Iya, iya! Aku chat dengan Gabriel!” Lynea akhirnya mengakui. Bibirnya cemberut kesal karena Enrico memaksa melihat isi ponsel dan apa yang ia obrolkan dengan mantannya itu. “Tidak sopan melihat-lihat ponsel orang,” tolak Lynea masih tidak mau membuka ponselnya. Ia khawatir suaminya cemburu kemudian memerintahkan sesuatu yang bisa merugikan Gabriel. Bila sebelumnya ia berani memberikan ponsel pada Enrico adalah karena mereka belum kembali intim seperti sekarang. Namun, setelah mereka rujuk, Lynea ta
Enrico segera menutup laptop di atas meja. Tanpa dikomando Alonzo pun melanjutkan dengan membawa benda kotak itu dalam tentengan tangannya. Sementara Bryant, pura-pura ingin ke toilet. Pemuda itu melewati Lynea tanpa berani memandang wajah kakaknya. “Ada apa ini? Kenapa kalian semua berwajah aneh?” selidik Lynea curiga. Ia memicingkan mata. Bergantian menatap Enrico dan Alonzo. “Saya harus mengecek dulu kondisi restoran. Permisi, Nyonya,” pamit Alonzo buru-buru melangkahkan kaki keluar ruangan. “Apa yang kalian tonton barusan?” selidik Lynea masih curiga. “Bukan apa-apa. Hanya sebuah film lucu,” jawab Enrico. Sedetik kemudian, ia merasa jawabannya sangat bodoh. “Oh ya? Apa judulnya?” “Aku lupa!” tukas Enrico menekan tombol di kursi rodanya. “Jadi, kamu sampai menghentikan sesi terapi di kolam arus hanya untuk menonton film lucu?” Lynea memposisikan diri di depan pintu sehingga Enrico tidak bisa keluar. “Lyn, apa
Enrico bersama Alonzo menatap sebuah makam. Tertulis di nisan David Moretti terbaring dengan tenang bersama Tuhan. Napas Enrico terasa sesak. Ia terkenang momen kebersamaan dengan pengawal paling berani bernama David. Sesuai janjinya dulu. Apabila ia berhasil kembali berjalan dengan normal, maka tempat pertama yang akan ia datangi adalah makam David, sang bodyguard kebanggaannya. “Dia rela kehilangan nyawa demi aku,” lirih Enrico. Suaranya tergetar. Kenangan terakhir sebelum ia pingsan adalah bagaimana David tersungkur di sampingnya. Peluru yang ditembakkan Maddy untuknya justru bersarang di tubuh sang bodyguard. “Kamu masih terus mengirim uang untuk ibu dan adiknya?” tanya Enrico menahan isak. “Masih, Tuan. Sudah otomatis transfer dari bank.” Alonzo melepas kacamata dan menyeka bulir kesedihan. “Baguslah. Naikkan jumlahnya setiap satu tahun sekali.” “Baik, Tuan.” Keduanya kembali terdiam. Suara tawa David terngiang di telinga
Racauan dari Lynea membuat Enrico menggila. Ia tidak menyangka istrinya akan seliar ini di atas ranjang. Penampilan serta perilaku Lynea selama ini terlihat kalem, tenang, dan kadang pemalu. Siapa menduga ia bisa berteriak dan mendesah seperti sekarang.Enrico berhenti sejenak menikmati dada istrinya. Ia memeta wajah merona Lynea yang sedang terpejam dengan napas semakin memburu. Tubuh seakan bergerak dengan sendirinya menggelinjang tanpa bisa ia tahan dan kontrol.“Mmmh …,” desah Lynea tanpa jeda.Menyadari sang suami berhenti mencumbu, ia membuka mata dan mendapati wajah Enrico yang sedang terpana.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Lynea khawatir.Ia menjadi salah tingkah dan berusaha menutupi dada telanjangnya dengan selimut.“Yang salah adalah … aku telah menyia-nyiakan cintamu padaku selama ini,” jawab Enrico mengecup kening sang istri.“Maafkan aku, Lynea. Aku janji, mulai se
Pagi hari di kota Paris. Udara dingin merebas, menambah nikmat kehangatan yang tercipta dalam dekapan Enrico De Luca. Mata Lynea masih terpejam dengan damai, sementara sang suami sudah terbangun lebih dulu dan mengecek berbagai hal lewat ponselnya.Nama Alonzo muncul di layar yang bergetar.“Ya?” jawab Enrico.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Ada informasi tentang perusahaan di San Angelo. Maximo Corporation baru saja mengumumkan akan bekerja sama dengan San Angelo’s Wealth Future Corporation.” Alonzo menjelaskan situasi terkini.Enrico menghela napas kasar. Perlahan ia menarik tangan dari pundak Lynea. Meninggalkan tempat tidur lalu menuju balkon. Ia tidak ingin percakapan dengan Alonzo membangunkan istrinya.“Viery sudah mengumumkan secara resmi?” tanya Enrico. Ia berdiri di balkon hanya dengan memakai jubah tidur satin berlabel inisial hotel.“Internal perusahaan sudah mendapat pengumumannya, Tu
Rombongan Enrico sudah bersiap untuk menikmati keindahan kota Paris hari ini. Sebenarnya untuk Enrico dan Alonzo sendiri, kota Paris bukan lokasi yang asing. Sudah tidak terhitung berapa kali ia mengunjunginya. Selain itu, banyak foto model di sana yang merupakan teman kencan satu malam Tuan Muda De Luca, pada jaman dahulu kala.Mereka menaiki Menara Eiffel sampai tingkat paling tinggi dan menikmati pemandangan kota Paris tanpa terhalang apa pun.“Benar-benar indah pemandangan dari atas sini,” gumam Lynea tak berkedip.“Hmm, apakah menjadi lebih indah lagi karena menikmatinya bersamaku?” rayu Enrico memeluk Lynea dari belakang dan langsung mengecup pipi istrinya.Lynea menoleh hingga bibir mereka bertemu. Keduanya berciuman, seolah dunia hanya milik berdua.“Ayo, kita turun sekarang. Masih banyak tempat lain yang bisa kita datangi. Kalian para wanita tidak ingin berbelanja?” ajak Enrico menggandeng tangan Lynea m