Aku memang menjanjikan untuk berkunjung ke rumah ke rumah calon mertuaku pada pagi hari. Namun, tidak aku sangka Om Aarav akan menjemputku jam enam pagi. Aku melongo melihat lelaki itu sudah berdiri di dalam kamarku dengan mengenakan pakaian santai, celana pendek warna putih, senada dengan kaos yang dikenakan. Aku masih berdiri terpaku dengan hanya berbalut handuk di mana tubuhku masih basah kuyup lantaran baru saja selesai mandi. “Kau mau menggoda imanku, Sayang?” tanya Om Aarav. “Mana ada, aku baru selesai mandi, Om,” cicitku membela diri. “Sudah aku katakan, panggil aku Mas atau yang lain asal jangan Om!” pekiknya menyilangkan kedua tangan ke dada. “Mas, ngapain jam segini sudah ada di rumah aku?” Rasanya aku mual memanggil dia dengan sebutan mas, astaga. “Aku menjemputmu, sayang, mari kita ke rumah orang tuaku,” ujarnya. “Sepagi ini, Mas waras?” decakku. “Kalau aku gila aku nggak mungkin tergoda tubuh molek kamu,” seloroh Om Aar
Kami sampai di rumah Om Aarav, rumah yang sangat nyaman, aku berkeliling ketika Om Aarav bilang akan mengganti pakaian. Ada kamar yang telah dia siapkan untukku juga di sebelah kamar Om Aarav. Penasaran setelah keluar dari kamar yang akan menjadi tempatku, sekarang kaki ini malah melangkah mendekat ke kamar lelaki itu. Ragu tangan ini memegang gangang pintu. Cklek! Aku membuka pintu tersebut, kepala menyembul ke dalam ruangan. Tidak ada Om Aarav, aku mendengar gemericik air dari arah kamar mandi. Lelaki tersebut sedang mandi rupanya. Aku kemudian duduk di sudut ranjang dekat nakas. Tanpa sadar terlihat beda seperti terselip di ujung bagian ranjang, penasaran sudah pasti. Aku membungkuk, tangan ini merogoh ke bagian bawah nakas untuk meraih sesuatu yang terlihat mirip kertas saja. Benar saja, saat tangan ini meraihnya ternyata sebuah kertas. Mungkin para asisten rumah tangga kurang teliti membersihkan ruangan, aku akan mengatakan kepada Om Aarah nanti agar beliau lebih me
Kasih yang tidak sampai bisa membuat seseorang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Ragu untuk kembali mencintai, sungguh menyiksa. Dalam angan di hati Aarav kala melihat rekan yang telah menikah dan memiliki momongan. Dia pun ingin, melihat Larisa kecil, menggendong saat bayi pun Aarav menyukainya. Siapa sangka gadis cilik yang dulu sering mengompolinya sekarang malah menjadi calon istri yang tepat dia pilih. Baginya Larisa gadis muda yang masih bisa dia setir, setidaknya untuk rasa asal Aarav memberi perhatian lebih, dia pasti tidak akan berkomentar lebih menuntut untuk hati dan mencintai. Tanpa Aarav sadari kini dia yang sangat menginginkan Larisa. Walau dia tidak mengekang gadis tersebut menemui kekasihnya Emir. Akan tetapi dalam benak dia begitu sangat ingin memisahkan mereka. Aarav ingin dirinya tempat satu-satunya bagi Larisa untuk bergantung. ‘Akan aku taklukkan dirimu dan menyetirmu sesuai keinginanku, Risa,’ bisik Emir tersenyum smirk. Dia seolah mendap
Sepanjang siang itu Aarav sama sekali tidak fokus pada pekerjaannnya, pikiran dia melayang membayangkan kejadian di parkiran tadi. Melihat Larisa dicium kekasihnya dia merasa geram. Rafael yang menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. Dokumen yang seharusnya di tanda tangani diabaikan begitu saja. Malah asik melamun, Rafael berulang kali memanggil nama Aarav tapi tidak ada respon. Bujanga tersebut asik melihat langit dari balik jendela kaca di samping mejanya. ‘Apa aku harus melempar orang itu ke luar jendela, astaga ini sangat membuang waktu,’ cicit Rafael. Dia menghela napas untuk kesekian kali, “Om Aarav!” teriaknya. Aarav bangkit dari duduk saking terkejutnya, bujangan itu menoleh ke arah Rafael kemudian hendak melempar tumpukan dokumen kepada pemuda yang cekikikan menertawakan dirinya tersebut. Rafael menganggap itu sangat lucu, Aarav melonjak bangkit dari duduk, gerakan spontan yang kocak. Salah Aarav sendiri melamun. “Kau, sialan!” cebik Aarav.
Aarav benar-benar tidak habis pikir, cobaan atau sebuah godaan yang ditawarkan orang tua Larisa. Sempat berpikir jernih, dengan menghubungi kedua orang tuanya untuk menitipkan Larisa, apa yang didapat. Kedua orang tua beserta Delon pun sedang pergi keluar kota dengan dalih ada kepentingan. Setan dalam hati Aarav pun bersorak menang, mungkin khayalan dirinya merengkuh Larisa malam ini akan menjadi kenyataan, begitu Aarav tersenyum smirk. Dia penuh semangat menjemput Larisa di kampus setelah sebelumnya mengirim pesan via chat di aplikasi FastApp. Sebelumnya Aarav terlebih dahulu menyuruh para asisten rumah tangga untuk berkemas rumah sebersih mungkin, mengganti gorden juga seprei di kamar Larisa. Tidak lupa dia sendiri mandi dengan bersih menata sedemikian rupa rambutnya agar nampak klimis dan rapi. Tidak berhenti di sana, lelaki itu juga tiga kali mengganti pakaian, berawal, dari setelan jas. “Hei, aku sedang tidak menghadiri acara resmi mengapa mengenakan pakaian
Rembulan melambai-lambai terlihat menawan di atas langit sana. Larisa dan Elizabeth tertidur lelap di kamar dengan ranjang king size empuk. Berbeda dengan ruangan tengah yang masih ramai, para jantan-jantan masih mempermainkan permainan karambol, di mana si kalah akan di hias wajahnya dengan tepung. Posisi ini nampaknya bukan keberuntungan Aarav, bujangan tua tersebut kalah total, Emir dan juga Rafael puas tertawa melihat wajah gagah itu memutih semua. “Lelahnya aku tidur duluan ya,” ujar Rafael. “Lebih baik kalian memang tidur sudah larut malam,” kata Aarav. “Ini bukan berarti Om sedang menghindar lantaran kalah, kan?” ejek Emir. Aarav terkekeh, “Bukan seperti itu,” keluhnya, “aku akan membersihkan diri,” lanjutnya. “Aku mau kopi, ada yang mau?” tanya Emir. “Jika kau mau membuatkan,” sanggah Aarav. “Aku tidak, aku ngantuk, bye.” Lelaki itu berjalan keluar ruang tengah. Aarav dan juga Emir pun berpisah, Emir masuk ke dalam rua
Aarav menoleh ke arah belakang, bernapas lega melihat Rafael, beruntung bukan Larisa yang dia dapati. Jika Larisa yang keluar lalu mendengar ucapan kekasihnya, dia pasti akan merasakan sakit yang teramat sangat. Yah, membayangkan gadis tersebut menangis ketakutan membuat dirinya selalu tidak tega. Kali ini pun Aarav percaya diri akan dapat melindungi Larisa. Rafael terbengong melihat Aarav menatap intens, dia merasa ngeri. “Berhenti melihat saya dengan tatapan seperti orang terpana jatuh cinta, bikin merinding, Om,” keluh Rafael melantur. Bletak! Aw! Teriak Rafael kesakitan saat Aarav menjitak jidatnya. “Kau berhenti berpikir yang tidak-tidak,” keluh Aarav. “Apa kau mendengar apa yang dikatakan bocah itu?” tanyanya. “Maksud Om, Emir, ah dari awal aku sudah menduga dia itu aneh. Setelah mendengar apa yang dia katakan tadi, aku semakin yakin dia harusnya ke psikiater atau psikolog,” keluh Rafael. “Bagaimana pipit manisku itu berhubungan dengan lelaki macam Ars
Aarav masih berangkat ke kantor, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan termasuk merekrut sekretaris baru yang akan menggantikan Rafael. Pemuda itu dalam waktu kurang dari tiga bulan akan berhenti dari kantornya dan kembali ke Julian grup, tugasnya hampir selesai, tidak banyak hal yang bisa dilakukan lantaran Rafael cukup jenius mengurus masalah pekerjaan. Ketukan pintu empat kali berturut-turut sebagai pertanda dia adalah Rafael, itu kode yang diberitahukan untuk pembeda. Rafael menyembul masuk ke dalam. “Pak, calon yang lolos dan memenuhi kriteria sudah masuk. Silahkan Anda yang interview untuk terakhir kali, semoga dia sesuai harapan Anda,” kata Rafael. “Baiklah, suruh dia masuk,” ujar Aarav tanpa menoleh. “Saya permisi,” ucap Rafael. Pintu kembali tertutup dan terbuka dengan hadirnya parfum wanita yang menguar ke penjuru ruang. Jika itu Aarav beberapa waktu lalu pasti dia sangat menyukainya. Namun, saat ini nampaknya berbeda, Aarav merasa ris