Sebenarnya ada keinginan Bunga untuk pergi liburan. Bukan liburan dalam arti sebenarnya, tetapi pergi ke kota kelahirannya untuk mengurus ijazah. Tidak perlu pulang ke rumah, takut jika Mas Hamzah memasang mata-mata di sekitar rumah. Bisa jadi, di zaman serba sulit ini, orang bisa dengan mudah menjual dirinya kepada iblis. Kurang lebih seperti itu, karena kelakuan Mas Hamzah memang mirip iblis. Dia bisa membayar tetangga Bunga untuk buka mulut atau tutup mulut.Buktinya sampai saat ini, Bunga kehilangan kontak dengan Ismail. Kemana sahabatnya itu? Apa yang dia tahu, Ismail kuliah di salah satu universitas Islam di Jogja. Namun, tidak bisa dihubungi. "Arghhh! Bagaimana ini." Bunga tidak senang duduk. Tidak senang rebahan. Tiba-tiba ada ancaman lain datang. Dari Gina. Perempuan itu mengancam akan membuat Bunga dipecat karena tidak memberitahu pihak keluarga Alfian soal kesehatan pria itu yang bermasalah. "Kan, baru suspect, belum positif. Salahnya dimana?"Lagi pula Bunga tidak mau p
Pagi ini Alfian sudah dipusingkan dengan panggilan di ponselnya yang tidak berhenti berdering. Kabar tentang dirinya yang kemungkinan tertular omicron telah menyebar hingga terdengar ke telinga neneknya. Alfian tentu tahu siapa yang memberitahu sang nenek. Sejak subuh tadi, sang nenek terus menghubungi Alfian walaupun dia sudah mengatakan kalau dirinya masih dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sang nenek terus berbicara di telepon hingga membahas masalah dirinya yang tidak ada niatan untuk pindah kerja ke Jakarta.Jakarta adalah tempat paling ideal karena lebih dekat dengan tempat neneknya tinggal."Al, tolong pertimbangan ini. Demi kebaikan kamu, Nak.""Jangan mulai, deh, Nek. Aku, kan, sudah menuruti perintah Nenek dari awal tahun ini untuk pulang pergi Jakarta-Cilegon.""Nah, kan, akhirnya kamu drop juga.""Apanya yang drop? Masalah aku sekarang suspect? Nggak ada hubungannya, Nek. Lagi pula, virus ada di mana-mana. Jakarta malah sumpek banget, kalau ketambahan aku sebagai warga
"Eh, tau nggak, Na, kata Mas Faizal kemungkinan Pak Alfian nggak kena omicron, tapi nggak tahu, ya. Karena gejalanya beda, sih," ujar Danik memulai cerita. Saat ini Bunga dan Danik sedang berbicara lewat telepon. Ya, hanya cara ini yang bisa mereka lakukan untuk tetap berkomunikasi. Keduanya masih mengikuti anjuran untuk meminimalisir berada di luar rumah karena kualitas udara berada pada titik terburuk. "Pak Bos Alfian ngajak ketemu kalau hasil test-nya negatif. Aku berharap negatif, tapi kok jadi deg-degan mau ketemu dia," ujar Bunga menyuarakan ketakutannya."Deg-degan kenapa? Ketemu orang ganteng, tuh, seneng kali.""Takut aja. Selama ini, kan, aku suka nulis aneh-aneh di nota yang aku tinggalkan di rumahnya. Sedikit ngadi-ngadi. Apalagi nota yang waktu aku tempel di kasurnya dia. Siapa tahu dia ketemu aku mau bahas itu.""Negatif aja, sih, isi kepalamu. Lagian kalau dia nggak suka sama cara kamu kerja, mestinya kamu udah dipecat dari zaman alif, deh. Dari pertama kamu balas pesa
"Gimana tampangnya Mas Alfian? Ganteng, kan?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh Danik saat pertama Bunga menjawab panggilannya."Nggak jadi ketemu.""Hah? Nggak jadi?" Danik tertawa ngakak. "Aku nggak tahu, tapi dia bilang harus ke rumah sakit, jadi nggak bisa ketemu, deh. Aku juga khawatir, apakah dia merasakan sesuatu yang fatal atau apa. Tiba-tiba, nggak bisa ketemu.""Kenapa, ya?""Kayaknya emang bagus nggak usah saling lihat muka, deh, aku juga lebih nyaman kerja gini," jawab Bunga lemas. Meskipun segelas susu dan setangkup roti bakar sudah bersarang di lambungnya. "Emang kenapa, sih? Kamu malu?"Sebagian hatinya mengatakan iya. Jujur saja Bunga harusnya tidak bekerja seperti ini, tetapi karena memerlukan uang dalam rangka pelariannya, dia harus menjalani apapun pekerjaan asal halal. Tentu, dia akan meninggalkan pekerjaannya ini kalau nanti diterima kuliah. Mungkin, Bunga akan mendaftar di universitas di Bandung atau Sumatera sekalian. Biar jauh dari radar Mas Hamzah. A
Bunga baru beberapa saat yang lalu melepas mukena ketika telinganya mendengar suara keributan berasal dari luar rumah. Suara tangisan berselang-seling dengan caci maki yang memekakkan telinga berasal dari depan teras rumah kosannya. Perempuan itu langsung berlari keluar, suara tangisan itu berasal dari Azkia, anaknya Bu Irma yang sedang ditenangkan oleh tetangga dan penghuni kos lainnya. "Azkia kenapa?!" tanyanya sambil mendekati anak itu.Salah satu tetangga mereka menjawab pertanyaan Bunga. "Gelut sama Aida, anaknya Jeng Miya. Saling dorong, tuh, terus jatuh di tangga, tangannya terkilir kali.""Inalillahi!" Bunga langsung terkejut mendengarnya. Dia langsung memeriksa keadaan anak ibu kosannya itu yang terus mengadu kesakitan. "Sakit, Mbak," keluh Azkia. "Kia diserang mamahnya Aida. Padahal, Kia kagak pernah cubit Aida.""Huh, terus Mamah Aida mana?""Bawa anaknya ke rumah sakit. Hidungnya Aida berdarah tadi," lapor ibu-ibu yang berkerumun di situ. "Wah, kayaknya malah bengkak it
Azkia menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah memutar lehernya, dia melihat sosok yang berbaik hati membayar tagihan berobat dirinya. "Itu omnya." Dengan dagunya, gadis sepuluh tahun itu menunjuk ke arah lobi rumah sakit. "Itu, yang lagi ngobrol."Di sana seorang laki-laki yang Bunga taksir berusia akhir dua puluhan, mengenakan kemeja warna abu-abu muda dengan garis-garis abu tua di bagian depan sekitar kancing, tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Sepertinya orang yang tengah diajak berbincang, seorang nakes terlihat dari seragamnya. Bunga tidak mengenali laki-laki itu, lagi pula orang itu sama seperti pengunjung rumah sakit lainnya mengenakan masker."Orang itu, yang tinggi itu?" tanyanya memastikan. Bunga ikut-ikutan memutar tubuhnya, hingga pandangannya lebih leluasa ke arah yang ditunjukkan Azkia. Maklum, posisinya berlawanan dengan tempatnya duduk. Azkia mengangguk. "Kagak kenal?"Bunga tidak menjawab, tetapi matanya tidak lepas dari sosok yang ditunjukkan Azkia. Mencoba men
Bunga mengenali suara itu. Suara judes bin julid itu. Sontak perempuan itu mengangkat wajahnya. Benar dugaannya, itu suara Mak Lampir. Dan, Gina berada di kursi roda. Sakit, kah? Jadi, pagi tadi Alfian membatalkan pertemuan dengannya gara-gara laki-laki itu harus ke rumah sakit untuk menemani Gina? Oh, sungguh sweet sekali, batin Bunga."Oh, sudah boleh pulang?" tanya Alfian. "Gue, kan, bilang one day service. Lo aja yang kagak dengar," omel Gina. "Lo, mau ngantar siapa itu?"Gina melarikan pandangannya melewati mobil Alfian. Di seberang sana dia melihat sosok yang berdiri mematung tengah memegang pintu penumpang bagian depan mobil Alfian. "Oh, Raihana. Lo kenal, kan, ART, gue. Nggak sengaja jumpa di sini. Dia antar adiknya yang tangannya juga cedera.""Nggak sengaja?" Suara Gina jelas terdengar menyangsikan apa yang diucapkan Alfian. Emang nggak sengaja, batin Bunga. Apa, lo Mak Lampir! "Elo nolak untuk ngantar gue pulang, bahkan pergi saat gue masih dibawah pengaruh anestesi,
Bunga memandang handuk yang menempel di dahinya lewat pantulan cermin. Air menetes dari sela-sela jarinya sedari tadi. Alfian sudah pulang setengah jam yang lalu, tetapi Bunga masih dalam bayang-bayang laki-laki itu. Walaupun mereka berdua sama-sama mengenakan masker, tetapi melihat dari tampilan Alfian yang begitu rapi, Bunga tahu ucapan Danik tentang laki-laki itu benar. Apalagi suara laki-laki itu yang terdengar berat, suara yang membuatnya 'laki banget' menurut Bunga. Beda dengan suara Ismail tentu saja atau suara Nasir kakaknya. Bunga menggelengkan kepalanya, mengusir pikirannya yang sudah melayang-layang entah ke mana. Harusnya saat ini dia mengurus Azkia. Karena Bu Irma tadi baru saja mengirimkan pesan sedang on the way dan Bunga disuruh menunggui Azkia sampai perempuan itu datang. Akhirnya Bunga membuang es batu ke kamar mandi, dan memerah handuk yang tadi digunakan untuk mengompres. Dia lantas bergegas menuju rumah Bu Irma untuk mencari Azkia. Ternyata anak itu sedang bera