"Eh, tau nggak, Na, kata Mas Faizal kemungkinan Pak Alfian nggak kena omicron, tapi nggak tahu, ya. Karena gejalanya beda, sih," ujar Danik memulai cerita. Saat ini Bunga dan Danik sedang berbicara lewat telepon. Ya, hanya cara ini yang bisa mereka lakukan untuk tetap berkomunikasi. Keduanya masih mengikuti anjuran untuk meminimalisir berada di luar rumah karena kualitas udara berada pada titik terburuk. "Pak Bos Alfian ngajak ketemu kalau hasil test-nya negatif. Aku berharap negatif, tapi kok jadi deg-degan mau ketemu dia," ujar Bunga menyuarakan ketakutannya."Deg-degan kenapa? Ketemu orang ganteng, tuh, seneng kali.""Takut aja. Selama ini, kan, aku suka nulis aneh-aneh di nota yang aku tinggalkan di rumahnya. Sedikit ngadi-ngadi. Apalagi nota yang waktu aku tempel di kasurnya dia. Siapa tahu dia ketemu aku mau bahas itu.""Negatif aja, sih, isi kepalamu. Lagian kalau dia nggak suka sama cara kamu kerja, mestinya kamu udah dipecat dari zaman alif, deh. Dari pertama kamu balas pesa
"Gimana tampangnya Mas Alfian? Ganteng, kan?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh Danik saat pertama Bunga menjawab panggilannya."Nggak jadi ketemu.""Hah? Nggak jadi?" Danik tertawa ngakak. "Aku nggak tahu, tapi dia bilang harus ke rumah sakit, jadi nggak bisa ketemu, deh. Aku juga khawatir, apakah dia merasakan sesuatu yang fatal atau apa. Tiba-tiba, nggak bisa ketemu.""Kenapa, ya?""Kayaknya emang bagus nggak usah saling lihat muka, deh, aku juga lebih nyaman kerja gini," jawab Bunga lemas. Meskipun segelas susu dan setangkup roti bakar sudah bersarang di lambungnya. "Emang kenapa, sih? Kamu malu?"Sebagian hatinya mengatakan iya. Jujur saja Bunga harusnya tidak bekerja seperti ini, tetapi karena memerlukan uang dalam rangka pelariannya, dia harus menjalani apapun pekerjaan asal halal. Tentu, dia akan meninggalkan pekerjaannya ini kalau nanti diterima kuliah. Mungkin, Bunga akan mendaftar di universitas di Bandung atau Sumatera sekalian. Biar jauh dari radar Mas Hamzah. A
Bunga baru beberapa saat yang lalu melepas mukena ketika telinganya mendengar suara keributan berasal dari luar rumah. Suara tangisan berselang-seling dengan caci maki yang memekakkan telinga berasal dari depan teras rumah kosannya. Perempuan itu langsung berlari keluar, suara tangisan itu berasal dari Azkia, anaknya Bu Irma yang sedang ditenangkan oleh tetangga dan penghuni kos lainnya. "Azkia kenapa?!" tanyanya sambil mendekati anak itu.Salah satu tetangga mereka menjawab pertanyaan Bunga. "Gelut sama Aida, anaknya Jeng Miya. Saling dorong, tuh, terus jatuh di tangga, tangannya terkilir kali.""Inalillahi!" Bunga langsung terkejut mendengarnya. Dia langsung memeriksa keadaan anak ibu kosannya itu yang terus mengadu kesakitan. "Sakit, Mbak," keluh Azkia. "Kia diserang mamahnya Aida. Padahal, Kia kagak pernah cubit Aida.""Huh, terus Mamah Aida mana?""Bawa anaknya ke rumah sakit. Hidungnya Aida berdarah tadi," lapor ibu-ibu yang berkerumun di situ. "Wah, kayaknya malah bengkak it
Azkia menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah memutar lehernya, dia melihat sosok yang berbaik hati membayar tagihan berobat dirinya. "Itu omnya." Dengan dagunya, gadis sepuluh tahun itu menunjuk ke arah lobi rumah sakit. "Itu, yang lagi ngobrol."Di sana seorang laki-laki yang Bunga taksir berusia akhir dua puluhan, mengenakan kemeja warna abu-abu muda dengan garis-garis abu tua di bagian depan sekitar kancing, tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Sepertinya orang yang tengah diajak berbincang, seorang nakes terlihat dari seragamnya. Bunga tidak mengenali laki-laki itu, lagi pula orang itu sama seperti pengunjung rumah sakit lainnya mengenakan masker."Orang itu, yang tinggi itu?" tanyanya memastikan. Bunga ikut-ikutan memutar tubuhnya, hingga pandangannya lebih leluasa ke arah yang ditunjukkan Azkia. Maklum, posisinya berlawanan dengan tempatnya duduk. Azkia mengangguk. "Kagak kenal?"Bunga tidak menjawab, tetapi matanya tidak lepas dari sosok yang ditunjukkan Azkia. Mencoba men
Bunga mengenali suara itu. Suara judes bin julid itu. Sontak perempuan itu mengangkat wajahnya. Benar dugaannya, itu suara Mak Lampir. Dan, Gina berada di kursi roda. Sakit, kah? Jadi, pagi tadi Alfian membatalkan pertemuan dengannya gara-gara laki-laki itu harus ke rumah sakit untuk menemani Gina? Oh, sungguh sweet sekali, batin Bunga."Oh, sudah boleh pulang?" tanya Alfian. "Gue, kan, bilang one day service. Lo aja yang kagak dengar," omel Gina. "Lo, mau ngantar siapa itu?"Gina melarikan pandangannya melewati mobil Alfian. Di seberang sana dia melihat sosok yang berdiri mematung tengah memegang pintu penumpang bagian depan mobil Alfian. "Oh, Raihana. Lo kenal, kan, ART, gue. Nggak sengaja jumpa di sini. Dia antar adiknya yang tangannya juga cedera.""Nggak sengaja?" Suara Gina jelas terdengar menyangsikan apa yang diucapkan Alfian. Emang nggak sengaja, batin Bunga. Apa, lo Mak Lampir! "Elo nolak untuk ngantar gue pulang, bahkan pergi saat gue masih dibawah pengaruh anestesi,
Bunga memandang handuk yang menempel di dahinya lewat pantulan cermin. Air menetes dari sela-sela jarinya sedari tadi. Alfian sudah pulang setengah jam yang lalu, tetapi Bunga masih dalam bayang-bayang laki-laki itu. Walaupun mereka berdua sama-sama mengenakan masker, tetapi melihat dari tampilan Alfian yang begitu rapi, Bunga tahu ucapan Danik tentang laki-laki itu benar. Apalagi suara laki-laki itu yang terdengar berat, suara yang membuatnya 'laki banget' menurut Bunga. Beda dengan suara Ismail tentu saja atau suara Nasir kakaknya. Bunga menggelengkan kepalanya, mengusir pikirannya yang sudah melayang-layang entah ke mana. Harusnya saat ini dia mengurus Azkia. Karena Bu Irma tadi baru saja mengirimkan pesan sedang on the way dan Bunga disuruh menunggui Azkia sampai perempuan itu datang. Akhirnya Bunga membuang es batu ke kamar mandi, dan memerah handuk yang tadi digunakan untuk mengompres. Dia lantas bergegas menuju rumah Bu Irma untuk mencari Azkia. Ternyata anak itu sedang bera
Alfian malas membaca pesan Gina. Dia bahkan sempat marah tadi pagi karena perempuan itu bersikeras ingin ke rumahnya. Gina meminta izin kepada Brian bahwa dia memilih remote pekerjaan dari rumah. Hal yang sebenarnya, perempuan itu ingin memastikan apakah Alfian positif atau negatif omicron. Gina: Gue nggak bisa nelpon. Laki gue marah saat tau sebab kaki ini harus operasi gini.Alfian tidak berupaya menjawab. Dia tentu saja tidak suka dengan kenekatan Gina. Dia sudah meminta perempuan itu untuk tinggal di rumah saja, atau ke kantor seperti biasa. Gina: Al? Lo nggak niat nengok gue?Gina: Al? Alfian Salim!Alfian: Gue juga masih recovery, Gi. Lo, juga. Beneran gue nggak enak, gara-gara mau nengok gue, lo malahan celaka. Ojol yang bawa, lo, lebih ngenes lagi nggak bisa narik beberapa hari. Mungkin minggu bahkan bulan. Jadi, gunakan waktu terbaik ini buat istirahat. Gue mau istirahat, baru pulang dari rumah Ojol itu juga. Klik!"Perempuan memang aneh," gumam Alfian. Perempuan aneh itu
Menemani makan? Itu artinya ….Menjadi tukang bersih-bersih, merangkap menjadi koki untuk Alfian, tentu saja tawaran yang menggiurkan. Bunga bisa mendapat tambahan gaji, juga bisa mengobati kerinduannya pada suasana memasak. Namun kenapa harus jadi partner makan, sih? Artinya dia akan pulang lebih lama nanti. Apa Bunga sanggup makan di depan Alfian? Kalau duduk berhadapan seperti ini saja jantungnya dag-dig-dug tak keruan.Alfian adalah orang yang sama dengan orang yang menabrak motornya dahulu. Mbuh lah …."Satu lagi," imbuh Alfian. "Ada syarat tambahan lagi. Huh, dasar! Kek, kompeni aja, Bos! Belum juga saya bagi jawaban." Sikap antipati Bunga mulai kambuh. Dia bahkan mendelik ke arah Alfian."Saya tahu, kamu kos di Jakarta ini. Saya tahu indekos di Jakarta nggak murah. Jadi, bagaimana kalau tinggal saja di rumah saya. Ada banyak kamar nganggur, tuh."Menemani makan masih bisa ditolerir. Tinggal di rumah Alfian? Alfian tampan seperti yang diceritakan Danik, bukan tampan khas mas-ma