Menemani makan? Itu artinya ….Menjadi tukang bersih-bersih, merangkap menjadi koki untuk Alfian, tentu saja tawaran yang menggiurkan. Bunga bisa mendapat tambahan gaji, juga bisa mengobati kerinduannya pada suasana memasak. Namun kenapa harus jadi partner makan, sih? Artinya dia akan pulang lebih lama nanti. Apa Bunga sanggup makan di depan Alfian? Kalau duduk berhadapan seperti ini saja jantungnya dag-dig-dug tak keruan.Alfian adalah orang yang sama dengan orang yang menabrak motornya dahulu. Mbuh lah …."Satu lagi," imbuh Alfian. "Ada syarat tambahan lagi. Huh, dasar! Kek, kompeni aja, Bos! Belum juga saya bagi jawaban." Sikap antipati Bunga mulai kambuh. Dia bahkan mendelik ke arah Alfian."Saya tahu, kamu kos di Jakarta ini. Saya tahu indekos di Jakarta nggak murah. Jadi, bagaimana kalau tinggal saja di rumah saya. Ada banyak kamar nganggur, tuh."Menemani makan masih bisa ditolerir. Tinggal di rumah Alfian? Alfian tampan seperti yang diceritakan Danik, bukan tampan khas mas-ma
Bunga dadah-dadah saat Alfian naik tangga. Dia buru-buru lari menuju ke belakang dapur sambil membuka maskernya. Hampir saja dia tersandung kakinya sendiri. Kenapa dia sampai lupa hal sepenting ini?Dasar, Bunga lemot! Gadis itu mengetuk-ngetuk pelipisnya sambil mengetikkan sesuatu pada mesin pencarian di ponselnya. Hukum satu rumah dengan laki-laki yang bukan mahram?Itu mudah saja, Raihana Bunga. Buat doi jadi mahram, dong! Bisik satu sisi hatinya yang liar. Ini adalah kesempatan baik untuk melepas kutukan itu. Kutukan menjadi perawan tua seumur hidup. Hust! Hust! Aku, kan, baru 18 tahun!"Kamu ngapain di situ, kok ngomong sendiri, Na?" Suara garau itu sangat dekat di belakang Bunga."Eh, Pak Bos. Saya lagi baca ayat 1000 Dinar," ucap Bunga sambil membalikkan badannya. Dia bahkan menahan napas sesudah berhadapan-hadapan dengan Alfian. Satu, dua, telu …."Kok, melongo, Bos?""Bocah!" Alfian hampir menepuk kepala Bunga tetapi, tangan itu hanya mengambang di udara. "Jadi, sudah siap
Bunga mendekap mulutnya erat-erat, seakan masker yang dia pakai tidak cukup untuk menyamakan suaranya. Meskipun semua itu sudah terlambat. Alfian sepertinya mendengar apa yang dia ucapkan barusan. Dia yang bersepeda dari kampung halamannya menuju Jakarta. "Astagfirullah, kenapa mudah sekali mulutku bocor," batinnya."Apa aku nggak salah dengar? Kamu, motoran dari Jawa ke Jakarta." Alfian tak percaya. Dia sanksi, gadis imut seperti Raihana bisa melakukan perjalanan sejauh itu. "Iya. Hmmm, biar irit.""Dengan siapa? Berani sekali kamu." Alfian masih meragukan cerita Bunga. Dia memegangi troli di bagian depan, sedangkan Bunga pada bagian pegangan. Terjadi aksi dorong mendorong. "Aku tahu kamu, minggat karena persoalan keluarga. Gak boleh kuliah, malah disuruh kawin, kan?""Jadi, Ndoro sudah tahu?" "Tahu apa? Soal kamu dipaksa nikah sama orang tuamu?"Mata Bunga pura-pura membelalak. Ternyata Alfian sudah tahu. Apakah karena itu laki-laki itu baik padanya? Merasa kasihan padanya, si bo
Ngapain, sih, Mamak Lampir eh eh eh, ke sini?!Bunga mengumpat dalam hati ketika melihat siapa yang berjalan bersama Alfian menuju dapur. Bunga yakin sekali adanya perempuan ini pasti pertanda buruk. Setidaknya mood-nya yang sedang bahagia ini bisa terjun bebas. Ndlosor seperti ular yang terkena taburan garam.Terus, ngapain dia ngeliatin aku dari atas ke bawah! Apa dia pikir aku ini nggak pakai kutang, ya? Aneh, matamu minta dijolok pakai cabe, Mbak e!"Ngapain kamu masih di sini?" tanya Gina pada Bunga, lengkap dengan sikap badan yang sok seperti menantu Sultan Dubai. Membusungkan dadanya yang besar itu. Tidak sebesar melon, sih. Hanya sebesar es kepal miow. Bunga jarang sekali membenci orang karena dia termasuk orang yang masa bodoh. Di sekolah pun dia hampir tak pernah berkonflik dengan teman-temannya. Di setiap sekolah pasti ada geng cantik, geng natural, geng agne (berisi gadis cantik tapi berjerawat). Bunga jarang ikut nimbrung ketiga geng tersebut, karena menurutnya nir faed
Tidak ada yang lebih indah selain berjumpa dengan sosok yang kita cari selama ini. Tidak heran apabila pertemuan pertama dengan seseorang begitu berkesan dan membekas di hati. Bunga ingat semuanya, pertemuan pertamanya dengan Alfian. Lelaki itu terlihat sengak, bahkan melihatnya seperti kuman. Dia selalu kegeeran dan mengatakan bahwa Bunga yang sengaja menabraknya hanya karena ingin berkenalan. Bunga bukan cewek narsis, tetapi reaksi berlebihan Alfian membuat pertahanan sebagai perempuan muncul dengan sendirinya. Ogah, dikatakan naksir pria tua seperti mas jutek. Seperti saat Alfian mengatakan Bunga ingin mengambil kesempatan dengan memeluk pinggang Alfian saat mereka mengantar motor ke bengkel. Tentu saja Bunga menyangkalnya. Bahkan dengan ketus, dia mengatakan bahwa Alfian akan naksir dirinya jika melihat profilnya beberapa bulan yang lalu—dua bulan sebelum acara minggat yang berujung tabrakan itu. Siapa yang menyangka, hari ini, tujuh bulan kemudian pijar aneh itu mulai muncul
"Ndoro ngantuk? Gitu amat matanya …." Bunga mengulangi pertanyaannya."Boleh nyender?"Huh, itu pertanyaan apa permintaan? Belum juga dijawab, kepala Alfian sudah diletakkan di atas bahu Bunga. Terdengar helaan napas panjang. Namun, lambat laun suara helaan itu menjadi teratur. Sepertinya, Alfian tidur. "Kamu tahu, Na?"Oh, belum tidur rupanya. "Nggak tahulah. Ndoro nggak kasih tau.""Kepalaku serabut. Pusing banget." "Aku nggak punya anti mabok, lho.""Aku bukan bocah kemarin sore yang mabok saat piknik ke puncak," helah Alfian. Lumayan lama laki-laki itu tak lagi bersuara. Mungkin benar-benar tidur. "Kira-kira kita sampainya berapa lama, Pak?" tanya Bunga pada sang sopir travel. "Dua jam sampai rumah Pak Alfian. Kalau kantornya, satu jam setengah."Bunga mengatur duduknya agar lebih nyaman. Memangnya gundulmu nggak berat, Ndoro? Bunga memaki dalam hati. "Percayalah, Ndoro, selama satu setengah jam ini, malaikat asyik nyatet kelancangan Anda yang nyender-nyender ….""Apa?" sahut
"Alhamdulillah, akhirnya babu sudah selesai dengan tugasnya," helah Bunga sambil memutar pinggangnya ke kiri dan ke kanan berulang kali. Jam di dinding hampir menunjukkan angka 12 ketika Bunga berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Dari mengelap, menyapu, mengepel, dan semua kegiatan cuci mencuci. Tubuh Bunga sampai bergetar karena kelelahan. "Lapar," keluhnya. "Pegal banget, mendingan istirahat bentar sambil nunggu sholat Dzuhur, ah …."Dengan sedikit sempoyongan Bunga duduk di atas sofa sambil menggaruk punggungnya dengan stik golf milik Alfian. Dia alih fungsikan benda itu untuk memijat punggungnya. Lumayan juga dipijat dengan kepala stik golf yang mirip kepalan tangan. Setelah beberapa saat, Bunga mulai mengantuk. Dia menyetel pendingin udara di angka yang lumayan rendah. Gadis itu berbaring meluruskan punggungnya mencari posisi yang nyaman. Tidak memerlukan waktu lama, terdengar irama napas Bunga mulai teratur naik turun. Namun, belum juga lima belas menit tertidur, dering
"Raihana! Rai-hana!"Sepi. Tiada jejak ART-nya di apartemen yang tidak terlalu luas itu. Alfian kelimpungan sendiri karena sudah hampir lima menit beranda di apartemen, tetapi sosok yang dicari tetap saja tak muncul. Alfian menguak pintu apartemennya, sambil tetap berusaha membuat panggilan kepada Bunga. Saat itulah terdengar dering ponsel dari meja dapur. "Kemana bocah ini?" Alfian kembali masuk ke dalam, kemudian meraih ponsel yang bergerak lincah di atas meja. Dia sedikit ternganga karena nama yang tertera di sana, "Mas Jutek"! "Serius? Perasaan gue manusia paling ramah tamah sedunia. Kenapa Raihana memberi nama, Mas Jutek?!"Alfian meraih ponsel dengan casing yang sungguh menggelikan itu. Casing boneka Teddy Bear berwujud relief timbul berjumlah tiba biji. Geleng kepala Alfian dibuatnya. Karena pemiliknya entah kemana, dia akhirnya mengantongi ponsel menggelikan berwarna pink itu. Saat hendak membuka pintu apartemennya kembali, ternyata dari arah berlawanan juga ada orang yang