Hai, makasih ya yang udah kasih gem untuk cerita ini. Yang masih punya gem dan gak dikasih untuk Dinis dan Resmi, aku akan terus menagihnya wkwkwkwwkk .... Pokoknya ceita ini akan semakin seru. So, kalian harus selalu support dengan memberikan komentar dan gem. Matur nuwun ....
Part 18 Sampai rumah, Dinis sudah menyiapkan mie instan rebus di atas meja. "Aku dapat upah karena bantu bu guru tadi. Aku buat beli mie biar ibu gak capek makan," katanya. Kupandang anak perempuan yang memakai celana pendek lusuh dengan perasaan tercabik-cabik. "Mbak mau hidup bahagia?" tanyaku pada dia. "Yang penting bisa hidup sama ibu," jawabnya polos. "Kalau ibu ajak pergi, apa Mbak mau?" "Asalkan sama ibu, aku akan mau kemana saja." Brak! Pintu dibuka paksa. Mbak Darmi berdiri dengan wajah yang menahan amarah. “Kamu habis dari mana lagi, Resmi? Kamu dari rumah Harno? Iya? Jawab!” hardiknya tanpa memperhatikan perasaan Dinis. “Kemana aku pergi, itu bukan urusan mbak Darmi. Dinis, pergi keluar, ajak adikmu! Mbak, jika mau bicara tunggu anakku keluar.” “Biar saja mereka tahu kelakuan kamu yang tidak tahu malu.” “Dinis, cepat ajak Hasbi keluar. Jangan dekat-dekat sama Fariha. Ibu takut kamu akan dianiaya.” “Resmi! Jaga bicara kamu!” “Mbak Darmi yang harus mendidik Fari
Part 19 Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih, duduk di atas kursi roda memandang jendela yang ada di hadapan. “Pak, saya sudah membawa orang yang akan menggantikan saya,” ucap Sumi hati-hati. Lelaki itu tidak menoleh. Membuat jantungku berdebar kencang. Takut kalau reaksi yang tidak terduga ia berikan terhadapku. “Dia seperti kamu atau tidak?” “Insya Allah iya, Pak. Silakan kalau bapak mau kenalan,” jawab Sumi dengan tenang. Pria itu berbalik. Bukan seorang yang tampan, tidak juga jelek, sedang-sedang saja. Namun begitu, wajahnya cukup teduh dipandang. Lelaki dengan sorot mata tajam itu menatapku lekat. “Aku sedang mencari orang yang merawatku sampai aku sembuh. Hanya sampai sembuh saja. Setelah itu, kamu boleh pergi. Tetapi, aku tidak tahu kapan akan sembuh. Maka dari itu, aku berharap, Sumi adalah orang terakhir yang meninggalkanku. Jika kamu bersedia untuk merawatku sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka aku akan menerimamu. Tetapi jika tidak, sebelu
Part 20Aku duduk termenung di dalam bus yang kami tumpangi. Menyaksikan pemandangan yang terlewati. Sawah seolah berlari melewatiku. Perasaan yang bercampur membaur menjadi satu. Antara lega akan mendapatkan tempat baru, sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiran, risau dengan tanah warisan yang ku tinggalkan, dan juga sakit hati karena dikhianati.“Setelah ini, kamu berangkat pakai uang sendiri ya, resmi. Aku sudah tidak menanggung ongkos kamu lagi,” kata Sumi membuat lamunanku buyar.Aku menoleh dan tersenyum pada wanita di sampingku sambil mengangguk pelan.“Aku senang sebenarnya bekerja dengan pak Harun dan bu Normi. Tetapi anak-anakku sudah tidak mau ditinggal. Suamiku juga sudah mulai merintis jualan bubur ayam di Jakarta, jadi aku diminta untuk di rumah saja,” kata Sumi.Aku menanggapi tetap dengan senyuman. Dia orang yang beruntung menurutku. Masih memiliki orang tua dan punya suami yang setia.Kami sampai di terminal terakhir yang menyediakan angkutan ke desa pukul sepu
Part 21 Lelaki yang sudah membuatku sakit hati itu duduk dengan santainya, lalu menyulut rokok dan menyesap perlahan. Tubuhnya disandarkan pada kursi, memandang langit-langit atap rumah. “Buatkan kopi,” perintahnya tanpa merasa bersalah sama sekali. Dinis tiba-tiba menyusul dan memegang erat lenganku. “Resmi, buatkan kopi!” Perintah itu diucapkannya sekali lagi. Tidak seperti orang yang sedang marah. Aku jadi curiga. “Aku tidak punya kopi. Kamu sudah tahu, jika kamu tidak ada, bahkan gula saja jarang sekali membeli,” jawabku dingin. “Dinis, belikan bapak kopi!” ucapnya sambil melempar selembar uang ke atas meja. Dinis bergeming, malah semakin mempererat pegangan di lenganku. “Dinis!” mas Harno memanggil dengan nada tinggi. “Kamu mau memarahi dia lagi? Siapa yang menyuruh kamu datang? Tidak ada. Bukankah kamu sudah bahagia bersama dengan keluarga kamu? Kenapa kembali kesini? Di sini tidak ada kopi. Di rumahmu banyak sekali kenikmatan makanan, jadi jangan mencari di rumah orang
Part 22 POV Harno Saat hendak menikahi Resmi, tentu saja aku mencari silsilah dari gadis yang menurutku sudah perawan tua itu. Resmi, sosok perempuan tangguh yang kukenal saat bekerja merantau ke Jakarta dulu kala. Dia memiliki sikap yang dewasa dan penyabar. Dalam kamus hidupku, mencari istri sama dengan mencari pelayan untuk keluarga. Dia harus mau disuruh-suruh oleh saudara serta emak. Pun dalam hal harta, aku tentu saja berharap, sosok pendamping hidup harus rela berkorban apapun demi mereka yang sangat ku sayangi. Terlebih ketika mengenalkan perawan tua itu pada bapak. Ternyata, dia adalah perempuan yang berasal dari keluarga terpandang. Namun sayang, kenyataan tak seindah khayalan. Resmi tak lebih dari seorang anak yang terbuang. Harta ayahnya di bawah kuasa ibu tiri. Kakak-kakaknya hidup dengan keegoisan masing-masing. Mungkin karena ibu mereka telah tiada, sehingga ikatan batin antar saudara seperti hilang. Saat membawa Resmi berkunjung ke rumah orang tua, ia memang bisa m
Part 23 “Kenapa kamu mau pulang ke rumah Resmi?” tanya mbak Siti sangat keberatan. “Kamu sudah bahagia lho, Harno sama Marni. Dia juga benar-benar bisa menyatu dengan keluarga ini,” lanjutnya lagi. Bapak dan emak duduk berdampingan sambil terdiam. Marni sudah ku antar pulang sampai terminal kota tadi siang. “Marni tidak boleh membuat rumah di sini sebelum aku bercerai dari Resmi. Sementara bapak sudah terlanjur memberi uang muka tanah,” jawabku jujur. “Aku akan kesana untuk meminta Resmi menjual warisan.” “Kamu akan kembali pada Resmi dan melepaskan Marni?” tanya mbak Siti sangat tidak suka. “Harno hanya akan meminta tanah Resmi. Nanti bisa diatur. Kita di sini sudah sangat menyukai Marni. Emak juga tidak akan rela kalau Harno tidak jadi sama Marni,” jelas emak. Sejujurnya sangat berat melangkahkan kaki menuju tempat dimana orang-orang yang masih berstatus sebagai istri dan anakku tinggal. Akan tetapi, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keadaan. Sedangkan proyek baru akan di
Part 24 Saat disuguhkan dengan banyak hal yang menyakitkan, rasa sayang itu lenyap berganti dengan kebencian yang teramat dalam *Dinis* Aku terbangun kaget saat mendengar ibu berteriak. Hasbi yang menangis tidak ku pedulikan. Tubuh kecilku berlari menuju dapur yang ternyata di sana ada ibu dalam keadaan disiksa bapak. Posisi tubuh mereka membelakangiku. Tangan ini mengepal, mata memanas. Tidak pikir panjang, saat pandangan menatap sebuah kayu yang teronggok di pojok ruangan, pikiran langsung menuntun untuk mengambilnya. Bugh! Aku memukul punggung bapak dengan tenaga terbesar yang ku miliki. “Jangan jahat sama orang tua, itu dosa. Nanti kamu masuk neraka.” Ucapan pak Ustadz terngiang di kepala, tetapi ada nyawa ibu yang harus diselamatkan. Bapak terhuyung menahan sakit, lalu terjatuh. Ibu memeluk dan mengajakku keluar dari rumah. Di depan sana sudah banyak orang yang hanya menonton saja. Tak ketinggalan, musuh bebuyutanku mbak Fariha juga berdiri dan memandang kami bertiga. Mere
Part 25 Memeluk luka seorang diri, berkawan dengan air mata, bertempur dengan derita yang entah kapan akan enyah dari hidupku *Resmi* Bismillah, mulai menapaki kehidupan baru. Hati hanya berdoa semoga kedua majikan menerima dengan ikhlas keberadaan dua anak yang kubawa ke rumah ini, maka bagaimanapun caranya, aku harus memanjakan mereka sebagai balas budi atas kebaikan yang diberikan. Meski pak Harun mengatakan aku harus harus istirahat, tetapi hati tetap merasa tidak enak. Beginikah rasanya menumpang? Setelah memberikan pengarahan pada Dinis untuk mengajak Hasbi bermain di dalam kamar, aku gegas keluar untuk memeriksa keadaan dapur. Ada beberapa piring bekas yang belum dicuci, sisa makanan yang sedikit bau dan juga sampah yang belum dibersihkan. Sejak kecil aku sudah diharuskan mandiri, hanya membersihkan rumah di saat lelah, itu bukan hal yang memberatkan. Selesai merapikan dapur, menyapu, lalu aku mencoba mengetuk kamar pak Harun. Tak berapa lama lelaki itu keluar kamar. “Ada