"Kontrakan? Kenapa harus ngontrak sih, Dek. Mubazir namanya. Adek gak tau lagi mau bawa duit, ya? Kan buang-buang uang namanya." Aku baca lagi pesan masuk dari Mas Rama yang sangat menyebalkan itu. Dasar lelaki egois. Bosan lama-lama menghadapi lelaki model Mas Rama."Kalau Mas gak mengijinkan Adek ngontrak, ya udah gak apa-apa. Kami mau menempati rumah guru saja. Gratis kok." Sebenarnya di komplek sekolah tempat aku mengajar ada dua rumah dan satu pintu yang masih kosong. Rumah itu diperuntukkan untuk tenaga kebersihan dan juga petugas keamanan. Tetapi karena petugas kebersihan sudah memiliki rumah sendiri, jadi rumah tersebut kosong.Kemaren aku sudah menelpon ibu Kepala Sekolah untuk minta ijin menempati rumah tersebut.Sekolah tempat aku mengajar tidak terlalu jauh dari rumah mertua. Tak apalah yang penting aku bisa pisah tidak seatap lagi dengan keluarga toxic itu."Ya udahlah. Terserah kamu ajalah. Tapi maaf ya, Mas tidak bisa tinggal di rumah sempit kayak gitu. Jadi Mas tetap m
"Tante Sinta sama nenek sangat jahat terhadap Niken, Ma. Sedikit saja Niken berbuat kesalahan, mereka berdua sudah mencak-mencak. Sering sekali Niken dijewer. Dicubit. Sakit banget rasanya.""Hari itu mereka pernah marahi Niken, saat Niken makan ayam goreng. Niken gak tau kalau ayam goreng tersebut punya tante Sinta. Kaki Niken dipukul memakai sapu, Ma. Sakit banget karena kena tulang kering." Niken menunjukkan biru hampir pudar tapi masih nampak sisa lebam bekas pukulan. Hatiku teriirs mendengarnya, sangat sakit."Sabar ya, sayang. Mungkin tante Sinta lagi banyak pikiran jadinya gampang marah." ujarku berusaha menghibur anak semata wayang kami. Walaupun sakit hati ini tetapi aku tidak ingin anakku mengatakan hal-hal jelek tentang adik dari ayahnya tersebut.'Akan aku balas perbuatan kalian. Lihat saja pembalasanku, Sinta. Kamu lihat saja, akan kubuat hidupmu tidak akan tenang.' gumamku geram seraya menggepal tangan. 'Kalian lihat saja pembalasanku. Dan kau Rama. Tidak akan kuberikan
Pasti perbuatan Mas Rama yang mengambil sendiri uang aku tanpa meminta izin dahulu."Mas ... Mas." Teriak aku dengan suara lantang. Tidak perduli mau didengar tetangga atau siapapun. Selama ini aku sudah terlalu bersabar tetapi tidak ada gunanya dimata mereka."Mas ... " teriak aku memanggil lelaki yang telah mengucapkan ijab kabul didepan penghulu delapan tahun yang lalu."Ada apa, sih. Suaramu itu loh. Kayak orang gak berpendidikan saja." Mas Rama dengan santai masuk ke kamar tanpa merasa bersalah sedikitpun."Mas yang ambil uang Adek dalam dompet ini?" Kutunjukkan dompet yang kosong sebagai bukti bahwa tas aku ada yang geledah barusan."Mana Mas tau. Dompet 'kan kamu sendiri yang pegang kok malah menuduh Mas sih, Dek?" jawab Mas Rama santai. Biasanya kalau aku kehilangan uang dia sangat sibuk mencari kesana kemari dan mengeluarkan kata-kata makian tetapi hari ini dia santai saja, membuat aku semakin yakin jika dialah pelakunya."Mas, jujur saja. Kemana uang aku, kamu bawa? Kamu sud
"Kamu sudah mulai kurang ajar, ya! Pergi kau dari sini. Aku sudah gak berniat lagi terhadapmu, Nes. Silahkan keluar kalau mau mengambil jalanmu sendiri." Teriak Mas Rama dengan wajah merah padam karena sudah dikuasai oleh emosi. Mas Rama telah berani mengusir aku. Heran ya ... yang salah dia karena sudah lancang mengambil uang aku tetapi malah dia pula yang marah-marah."Gak usah kamu usir aku, Mas. Aku akan keluar sendiri dari rumah ini. Mas pikir aku betah tinggal disini?" Segera saja aku berlalu ke kamar untuk mengambil barang yang akan aku bawa ke rumah baru.Sekilas aku lihat ibu mertua senyum-senyum. Mungkin beliau lagi bahagia karena sudah berhasil membuat aku diusir oleh Mas Rama. Tidak masalah. Kita lihat saja nanti, apa mereka akan lebih bahagia tanpa kehadiranku disampingnya?'Dan ingat ya Mas. Akan ku buat perhitungan dengan kamu dan keluargamu. Aku seorang istri yang kamu zholimi. Semoga saja kalian mendapat balasan setimpal atas perbuatan yang telah kalian perbuat terhad
"Silahkan masuk, Bu Agnes. Rumahnya sudah saya bersihkan. Tinggal susun barangnya aja," ujar petugas kebersihan ramah. Beliau bersama sang istrinya dengan sukarela membersihkan rumah yang akan kami tempati."Waduh ... kenapa Bapak bersihkan. Saya jadi gak enak jadinya," ujarku seraya masuk ke dalam rumah sambil meletakkan tas yang berisikan baju kami berdua."Gak apa-apa, Bu. Dibikin santai saja." timpal Bu Ijah istri dari petugas kebersihan seraya meletakkan gelas berisikan teh hangat diatas tikar yang sudah digelar sebelum kami sampai tadi."Diminum, Bu. Dibelakang ada ceret dan udah saya isikan air juga. Nanti kalau ada waktu baru ibu bisa beli dispenser. Sebelum Ibu beli dispenser ambil saja air dirumah." Pak Ahmad dan istrinya sangat baik terhadap kami berdua."Dan didapur juga ada makanan seadanya buat ibu dan Niken. Sudah saya simpan dibawah tudung saji, ya, Bu. Saya mohon Ibu jangan tersinggung. Saya lakukan ini karena saya takut ibu gak sempat beli makanan," ucap Bu Ijah.Aku
"Nak, kawani Mama belanja ke pasar, ya? Mama mau membeli tempat tidur dan lemari," ujarku mengalihkan pembicaraan."Boleh juga, Ma," ujar anakku dengan wajah sendu seakan tidak bersemangat."Nanti Niken minta beliin apa, Nak? Mama lagi banyak uang nih. Baru dapat uang sertifikasi," ujarku menghibur. Sebenarnya uang hanya cukup sampai beberapa hari kedepan tetapi melihat anakku sedih begitu, ingin rasanya kuberikan apa saja yang aku punya yang penting anakku kembali ceria lagi."Gak usah, Ma. Takutnya nanti kita gak makan karena kehabisan uang,""Gak habis, Nak. Ayo, kita jalan-jalan sekalian belanja." Aku berusaha tersenyum didepan Niken seraya menunjukkan isi dompetku yang penuh sesak. Padahal karena uang receh sehingga nampak banyak."Ayo!" Ujar Niken antusias.Setelah mengganti baju akhirnya kami berangkat ke pasar dengan naik becak yang sudah dipesan oleh pak Ahmad.Seketika wajah Niken kembali ceria. Dia bercerita panjang lebar."Besok kalau Niken mau ke sekolah enak ya, Ma. Deka
Sepulang dari pasar, aku begitu terkejut melihat Mas Rama sudah berada di halaman rumah dan berbincang-bincang dengan pak Ahmad. Entah angin apa yang telah membawanya kemari."Assalamualaikum." Sapaku tetapi tidak dengan Niken dia langsung berlalu saja dari hadapan papanya seakan tidak pernah mengenali sama sekali."Wa alaikum salam. Niken gak kenal lagi sama Papa ya, Nak?" Tanya Mas Rama yang sedang berdiri di halaman rumah dan menatap nanar kepada anak gadis semata wayang kami."Saya tinggal dulu, Pak Rama." Pak Ahmad permisi pulang karena orang yang ditunggu Mas Rama sudah datang."Oh ya ya, Pak. Terima kasih teh manis dan gorenganya." Ucap Mas Rama sumringah. Iyalah Mas Rama bahagia karena sudah mendapat teh manis dan gorengan gratis. Kalau beli mana mau dia membelinya. Suamiku kan makhluk paling pelit sedunia. Jangankan untuk orang lain untuk dirinya sendiri aja pelitnya minta ampun.Setelah kepergian Pak Ahmad, nampaknya Mas Rama ingin mengajak Niken berbicara. Mungkin dia sudah
"Oh iya. Kenalin dong selingkuhan kamu sama aku." Setelah menyakiti dan mengkhianati masih berani juga lelaki berkaos biru itu menjumpai kami lagi. "Apa maksudmu, Dek?" "Saranku ya? Mas! Lebih baik kamu itu nikahin aja dia dan ceraikan aku. Dia itu nampaknya cocok jadi istri dan menantu ibu, dibandingkan aku hanya perempuan desa yang tidak ada kerennya sedikitpun. Wanita yang hanya bisa dikuras uangnya saja. Tetapi malu untuk diajak bertemu kawan atau kerabat." Sindir aku. "Kamu apa-apaan sih." Lelaki yang masih berstatus suamiku itu tetap tidak mengakui kesalahannya. Lelaki sok suci dan tidak tahu malu. "Mas, Aku ini bukan wanita yang bisa menghabiskan uang untuk beli skincare dan baju-baju mahal. Lagian bagaimana mau keren jika uang dari hasil aku bekerja habis buat membiayai keluarga suamiku. Ups!" Aku berpura-pura keceplosan dengan menutup mulutku dengan telapan tangan. "Selingkuhan apa sih, kamu jangan menuduh Mas macam-macam. Mas itu gak pernah selingkuh. Atau kamu itu seng