Darmawan bungkam saja, tidak menghiraukan. Malah langsung berdiri meninggalkan Mella, seolah menganggap Mella adalah parasit yang harus dihindari.Jengkel sekali Mella diperlakukan seperti itu oleh Darmawan, terlihat kesal sekali wajahnya, sambil sesekali dihentak-hentakkan kakinya."Kamu dingin sekali sih Bang! Macam es balok saja!" Teriaknya, tangannya memukul-mukul meja di depannya. Watak aslinya mulai terlihat.Tante Sonya mendekati Mella, dan ikut duduk di sampingnya, mencoba menghibur."Sabar, Mell. Lama-lama juga hatinya akan luluh, kamu tetap jangan mundur, pokoknya Tante akan selalu mendukung," ujar Tante Sonya, membesarkan hati Mella. Gadis sosialita itu diam saja, wajahnya masih menunjukkan mimik cemberut."Tidak pernah ada laki-laki yang menghinakan aku seperti ini." Geram hatinya. Diperlakukan seperti itu oleh Darmawan. Wajahnya menggambarkan kegusaran. Indah dan Munah, dua staf pembantu yang lain selain Bik Sumi, sedang sibuk menyiapkan meja makan untuk santap malam, da
Part 12Rasa Yang MenyelinapAmira dan Bi Sumi mengikuti Darmawan ke arah teras depan rumah. Entah mau di ajak kemana, mereka sendiri tidak tahu.Sebuah mobil masuk ke halaman rumah, saat mereka baru saja ingin naik ke dalam sedan mewah Darmawan. Diaz, segera turun dari kendaraannya dan bergerak menghampiri."Mau pada kemana, Mas?" sembari Diaz mencium tangan Darmawan."Ada sesuatu yang ingin di beli," ucap Darmawan, sambil membuka pintu mobilnya."Nggak pakai Sopir, Mas?" "Ngga usahlah, dekat ini.""Itu siapa, Mas?" tanya Diaz, tatapannya tertuju kepada Amira, yang berada di sisi yang berbeda. Sementara Amira hanya menunduk saja."Dia anggota baru keluarga kita," jawab Darmawan. Lalu mulai masuk kendaraan, di ikuti Bi Sumi dan Amira.Sementara Diaz, masih diam berdiri memperhatikan, sampai kendaraan Darmawan tidak terlihat lagi.Sebuah pusat perbelanjaan berkelas, yang tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan mereka tinggal, menjadi tujuan Darmawan.Terpikirkan olehnya, jika Ami
Pertemuan Yang Tak TerdugaAsmah langsung memeluk Amira dengan penuh kebahagiaan juga kesedihan. Dua rasa yang berlawanan menyatu dalam satu momen dan waktu yang bersamaan.Bahagia karena bisa bertemu Amira, walaupun baru dua hari Amira pergi meninggalkan tempat penampungan. Rasa sedih, karena Amira tidak akan bersamanya lagi di sana, dan mungkin bisa selamanya Asmah tidak akan bertemu Amira lagi.Walaupun baru hitungan hari mereka tidak bertemu, tetapi rasa kebersamaan, penderitaan, senasib sepenanggungan yang dialami bersama, menyatukan sebuah ikatan hubungan yang bisa saja melebihi sebuah hubungan kekerabatan. Dua anak manusia yang tidak mengenali asal muasal mereka. Takdir yang mempertemukan mereka, takdir juga sepertinya yang memilih mereka menjalani kehidupan yang berbeda ke depannya.Ada sebuah rencana yang sudah diatur di luar kuasa mereka."Kamu sehat-sehat saja kan, Ra?" linang air mata sudah lebih mendahului pertanyaan Asmah. Amira hanya mengangguk, berat mulutnya untuk be
Seolah Putri Raja"Kau! Jangan berlaku seolah-olah putri raja di sini." Tatapan matanya terasa menikam dan membuat takut Amira. Persis seperti mata Mami Merry. Mata yang selalu menyimpan kemarahan dan kepongahan. Mata yang ingin menunjukkan bahwa kekuasaan ada pada dirinya. Selalu memandang rendah pada siapapun yang dianggap tidak sepadan.Amira tidak mampu berkata apa-apa, dia terlalu takut untuk berbicara, apalagi untuk menyangkal. Amira paham, seperti apa posisinya di rumah ini. Yang dia lakukan hanyalah diam dan menunduk saja."Jangan mentang-mentang Darmawan peduli padamu, lalu kau bisa bersikap semaumu." Ancaman dan tekanan terus dilontarkan dari Mulut Tante Sonya. Gemetar tubuh Amira. Lemas rasanya.Tante Sonya segera berbalik pergi meninggalkan Amira, yang masih terdiam terpaku di depan pintu kamarnya.*****"Non! Non Amira, bangun non, Den Darmawan sudah menunggu enon untuk diajak sarapan pagi." Suara Bi Sumi terdengar dari luar kamar Amira berada. Berniat untuk membangunkann
Di saat Tante Sonya sedang berpikir keras tentang siapa Amira yang sebenarnya, sembari menunggu kedatangan Mella. "Mah." Suara teguran sempat sedikit mengagetkannya. Ternyata Diaz putra semata wayangnya."Itu, ada gadis kecil tapi cantik. Siapa Mah?" pertanyaan seorang playboy kampus terhadap mamanya."Ngga tau, tuh. Si Darmawan mungut di mana," jawabnya, bernada sinis."Ko, mungut sih, Mah. Sadis amat." Tertawa tergelak Diaz, mendengar jawaban mamahnya."Memang mungut. Ngga jelas asal-usulnya gitu." Masih bernada sinis ucapan nya. Wajahnya seolah-olah jijik saat berucap seperti itu. " Tetapi cantik loh, Mah," ujar si playboy, masih terus tertawa."Gembel itu, tidak pantas buat kamu. Lagi pula, mamah masih penasaran tentang asal-usulnya. Kenapa tau-tau bisa kenal dengan Darmawan. Di mana si Darmawan bisa kenal dengan gembel itu." Matanya terlihat sedang mencari-cari cara, untuk mendapatkan informasi tentang Amira."Diaz mau ke ruang makan dulu ya, Mah. Terdengar tadi ada suara gadis
Mella belum menyerah, masih terus berusaha mencoba menaklukkan duda kaya dan tampan yang ada di dekatnya itu. "Jika begitu, kita jalan-jalan saja yuk, Bang? Nyari udara segar," ajaknya lagi, sambil terus merajuk dan bermanja-manja. Perempuan yang terlihat tidak tahu malu itu terus saja memaksa dan merajuk terhadap Darmawan. Berharap keinginannya dapat dipenuhi. "Dari tadi, udara di sini sudah segar. Pas ada kamu saja udara jadi terasa panas!" Sentaknya, langsung mematikan dan menutup layar laptop nya. Berdiri dan segera menjauh dari Mella untuk menuju kamarnya. Kehadiran Mella benar-benar membuatnya tidak suka, dan menghancurkan moodnya.Terkejut dan terpana Mella dibuatnya. Dia benar-benar seperti dianggap sampah, yang harus dijauhi dan dihindari. Darmawan benar-benar menjatuhkan dan merendahkan harga dirinya. Seperti perempuan yang tidak di anggap keberadaannya. Dan perempuan angkuh itu terluka hati, karena Darmawan sering sekali mengacuhkannya, tetapi karena cinta yang berbalut a
Kehadiran Mella, benar-benar membuat rasa tidak nyaman pada diri Darmawan. Dia merasa amat sangat terganggu. Menjauh dan kembali ke kamar adalah cara terbaik untuk menghindari wanita tersebut. Darmawan merasa anak dari rekan bisnisnya ini seperti tidak punya malu dan etika. Andai saja dia tidak dekat dengan Pak Sasmita, ayah dari Mella. Sudah dia usir mentah-mentah perempuan itu.Kembali ke ruang kerjanya, yang menyatu dengan kamar pribadinya, Darmawan berencana ingin melanjutkan pekerjaannya di situ saja. Diletakkan kembali laptopnya di atas meja kerjanya. Baru saja ingin bersiap membuat laporan, matanya malah terpaku pada sebuah pigura photo kecil di sebelah laptop yang dia letakan. Terus saja dipandangi photo tersebut, kesedihan mulai merambati hatinya. Ada rasa luka dan penyesalan di lubuk hatinya yang terdalam."Mengapa tidak kau berikan aku kesempatan untuk melanjutkan hidupku?" batinnya."Mengapa kau tidak mau pergi dari hati, rasa, dan pikiranku. Tidak relakah engkau, jika aku
Bahagia Disaat DekatTernyata, tidak perlu naik ke pohon untuk mengambil buah rambutan di samping rumah Pak Kades. Pohonnya tidak terlalu tinggi, tapi berdaun lebat dengan kulit buahnya sudah banyak yang berwarna merah. Hanya tinggal petik saja, tanpa risiko terjatuh dari atas dahan. Ternyata menyenangkan memetik buah rambutan ini, dan yang lebih menyenangkan lagi, Darmawan memetiknya dengan perempuan yang dia suka. Perempuan desa yang bahkan baru dikenalnya. Suka? Entahlah, hanya saja perasaan bahagia, nyaman, itu terasa saat dekat dengan Khalila yang tidak pernah dia rasakan dengan wanita lain. Mereka asyik memetik buah rambutan sambil saling mencuri pandang, lalu menebar senyuman, di akhiri dengan Khalila yang tersipu malu, hingga menimbulkan semburan merah di wajahnya."Kamu sudah punya kekasih?" Darmawan bertanya tanpa banyak basa-basi. Hatinya merasa yakin, jika rasa cinta di hati itu benar-benar ada. Khalila terkejut mendengar pertanyaan Darmawan, tertunduk sewaktu-waktu, lalu