Kehadiran Mella, benar-benar membuat rasa tidak nyaman pada diri Darmawan. Dia merasa amat sangat terganggu. Menjauh dan kembali ke kamar adalah cara terbaik untuk menghindari wanita tersebut. Darmawan merasa anak dari rekan bisnisnya ini seperti tidak punya malu dan etika. Andai saja dia tidak dekat dengan Pak Sasmita, ayah dari Mella. Sudah dia usir mentah-mentah perempuan itu.Kembali ke ruang kerjanya, yang menyatu dengan kamar pribadinya, Darmawan berencana ingin melanjutkan pekerjaannya di situ saja. Diletakkan kembali laptopnya di atas meja kerjanya. Baru saja ingin bersiap membuat laporan, matanya malah terpaku pada sebuah pigura photo kecil di sebelah laptop yang dia letakan. Terus saja dipandangi photo tersebut, kesedihan mulai merambati hatinya. Ada rasa luka dan penyesalan di lubuk hatinya yang terdalam."Mengapa tidak kau berikan aku kesempatan untuk melanjutkan hidupku?" batinnya."Mengapa kau tidak mau pergi dari hati, rasa, dan pikiranku. Tidak relakah engkau, jika aku
Bahagia Disaat DekatTernyata, tidak perlu naik ke pohon untuk mengambil buah rambutan di samping rumah Pak Kades. Pohonnya tidak terlalu tinggi, tapi berdaun lebat dengan kulit buahnya sudah banyak yang berwarna merah. Hanya tinggal petik saja, tanpa risiko terjatuh dari atas dahan. Ternyata menyenangkan memetik buah rambutan ini, dan yang lebih menyenangkan lagi, Darmawan memetiknya dengan perempuan yang dia suka. Perempuan desa yang bahkan baru dikenalnya. Suka? Entahlah, hanya saja perasaan bahagia, nyaman, itu terasa saat dekat dengan Khalila yang tidak pernah dia rasakan dengan wanita lain. Mereka asyik memetik buah rambutan sambil saling mencuri pandang, lalu menebar senyuman, di akhiri dengan Khalila yang tersipu malu, hingga menimbulkan semburan merah di wajahnya."Kamu sudah punya kekasih?" Darmawan bertanya tanpa banyak basa-basi. Hatinya merasa yakin, jika rasa cinta di hati itu benar-benar ada. Khalila terkejut mendengar pertanyaan Darmawan, tertunduk sewaktu-waktu, lalu
Pernikahan Sederhana baru saja selesai di gelar di rumah Pak Kades. Dipimpin oleh seorang Ustad kampung sebagai penghulunya. Sebuah ikrar ikatan halal sudah terjalin antara Darmawan dan Khalila. Tangis kebahagiaan Khalila saat meminta ijin dengan emak, ibu kandungnya berlangsung haru dan menyedihkan, diiringi oleh Isak tangis kedua ibu dan anak ini."Emak ridho dan ikhlas, jika Khalila harus pergi meninggalkan emak. Jadilah istri yang baik, setia dan berbakti ya, Neng. Surgamu ada dikeridhoan suamimu sekarang," ucap emak, memeluk Khalila erat. Menetes air di pipi tuanya."Iya, Mak. Khalila akan selalu ingat dengan pesan emak." Diciumnya takjim tangan emak. Menangis terisak Khalila."Tolong jaga, si Eneng ya, Jang. (sebutan pemuda dalam bahasa Sunda) perlakukan anak emak, Khalila dengan baik," pesannya kepada Darmawan."Iya, Mak. Darmawan janji, akan memperlakukan Khalila dengan baik, dan tidak akan pernah menyakiti hati dan tubuhnya." Di ciumnya punggung tangan sang ibu mertua, tangan
Darmawan kembali melanjutkan ceritanya. "Dia bilang, jika kemari, dia serasa ada di kampung halamannya, dekat dengan emak." Mulai terdengar parau suara Darmawan. Kembali dia mengusap kedua matanya."Saat itu, aku mendapatkan peluang pekerjaan dari Perusahaan luar yang terkenal. Suatu kebanggaan bagi para mahasiswa di kampus kami apabila dapat bekerja di perusahaan bonafit tersebut, dan aku tidak mau menyia-nyiakan peluang." Darmawan mulai berdiri, tatapannya terlihat kosong."Kontrak kerja dua tahun di tengah laut samudera, tidak bisa menghubungi dan dihubungi siapapun dari dunia luar. Walaupun Khalila berat sekali menerima keputusanku, karena harus berpisah selama itu. Khalila hanya menurut saja, walaupun menangis saat kutinggalkan. Pikiranku hanya ingin membuat kehidupan masa depan kami akan menjadi lebih baik." Kembali terdiam Darmawan. Mengambil rokok, membakarnya dan mengisapnya perlahan."Saat aku pulang kembali selesai kontrak kerja, ternyata Khalila sudah lebih dulu berpulang
Guru Yang Cantik"Hanum Humayroh." Sembari tersenyum, guru les Amira memperkenalkan namanya. Menangkupkan tangan di dada saat Darmawan ingin mengajaknya bersalaman. Sebuah penolakan bersentuhan dengan cara halus dengan yang bukan mahram.Gadis berhijab, yang terlihat lembut dengan wajah cantik dan berkulit bersih ini lantas mendekati Amira dan duduk di sampingnya, berhadap-hadapan dengan posisi duduk Darmawan.Ponakan dari Bik Sumi ini lantas merangkul dan mengusap lembut pipi Amira, sepertinya Bi Sumi sudah menceritakan tentang kehidupan dan asal usul Amira."Kamu kuat dan hebat sayang, kakak senang dan bangga bisa mengenal kamu." Meremang mata Hanum, dikecupnya lembut kening Amira. Amira pun memeluk wanita cantik dan terpelajar itu, berkata dalam diam di hatinya."Tuhan telah mempertemukan aku dengan orang yang baik hati lagi.""Mbak Hanum, terima kasih telah bersedia untuk mengajarkan Amira, sampai jauh-jauh datang ke rumah ini," ucap Darmawan, memulai pembicaraan."Saya yang harus
Amira tidak menyia-nyiakan kehadiran pertama Hanum di rumah ini. Di kamarnya, yang sekarang menjadi kamar mereka berdua. Amira sudah meminta untuk dimulai pengajaran. Sepertinya, ia memang benar-benar ingin bersekolah. Tidak terlalu sulit sebenarnya untuk mengajarkan Amira. Selain memang gadis itu sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, sebagaimana yang pernah diajarkan Tante Banci kepadanya juga kepada penghuni yang lain. Tante Yusnia, atau Tante Banci sebenarnya orang yang baik kepada anak-anak dalam bersikap. Tidak pernah marah ataupun memaki-maki. Utang budinya kepada Mami Merry yang membuatnya tidak berani berbuat apa-apa. Hanya saja, si tante tidak pernah bercerita tentang hutang budi seperti apa yang dimaksud olehnya. "Biarlah itu menjadi rahasia Tante," ujarnya, waktu itu.Suara Adzan Juhur yang terdengar dari gawai Hanum, seketika menghentikan proses pengajaran hari ini, Hanum segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai itu langsung dikeluarkan mukena dari dalam
"Letakkan di atas meja itu, Ndah," ucap Bik Sumi. Tangan si bibik menunjuk ke arah meja yang dimaksud."Iya, Bik," jawab Indah, segera diletakkannya, dan kembali keluar kamar, tersenyum dan mengangguk sebentar, saat Hanum dan Amira mengucapkan terima kasih."Makan siang dulu yuk, Hanum, Non Amira," ajak Bik Sumi."Terima kasih ya, Bik. Maaf, jika Hanum jadi merepotkan, bibik.""Merepotkan apa sih,Num. Lagi pula juga, Indah yang bawa kan," ucap Bik Sumi, lalu mendekati Hanum dan Amira, yang mulai menikmati makanan yang Indah bawakan."Bik. Boleh Amira menanyakan sesuatu sama bibik?" tanya Amira, selesai makan."Boleh, Non. Non Amira mau nanya tentang apa?" "Apa benar Bik, jika wajahku mirip dengan almarhumah istri Om Darmawan?" tanya Amira pelan. Terdiam Bik Sumi mendengar pertanyaan Amira."Non Amira pernah melihat photo almarhumah?" Bik Sumi balik bertanya. Sementara Hanum hanya diam mendengarkan.Amira tidak menjawab, hanya menggeleng saja , menandakan jika dia belum pernah meliha
Jangan Mimpi Amira berlari kecil mencari Bik Sumi di dapur, untuk mengingatkan jika si bibik sudah berjanji untuk ikut menemaninya membeli mukena bersama Hanum. Dilihatnya Bik Sumi sedang merapikan piring dan gelas yang baru selesai dibersihkan."Bik...." Dipeluknya Bik Sumi dari belakang, sedikit terkaget dengan kehadiran Amira secara diam-diam."Bik Sumi, menemani Amira pergi membeli mukena?" tanya Amira, sambil terus memeluk Bik Sumi."Tetapi bibik banyak pekerjaan Non," jawab Bik Sumi, sambil sibuk merapikan piring dan gelas."Ya Bibik... Bik Sumi kan sudah janji," rajuk Amira, masih memeluk Bik Sumi."Iya, iya ... tungguin bibik Kemana, ya ... selesai ini, bibik langsung ke halaman depan," ucap Bik Sumi."Bener nih, Bik. Amira tunggu loh di depan." Sembari melepaskannya ke Bik Sumi. Bik Sumi tersenyum dan mengangguk."Ya, sudah. Amira tunggu ya Bik." Amira berbalik meninggalkan dapur, dan berjalan untuk menunggu si bibik di depan teras rumah.Sebuah sedan mini berwarna Jeruk S