Tubuh Tsabi terasa sakit semua. Bahkan hari ini Tsabi tidak keluar kamar sama sekali. Hanya makan beberapa suapan saja karena dipaksa Shaka, walaupun hasilnya Tsabi hampir mengeluarkan isi perutnya. "Aku nggak mau makan Mas, rasanya hambar," ujar perempuan itu merasa cita makanan itu sudah tidak begitu terasa. Bahkan Tsabi merasa mulutnya pahit kalau menyentuh makanan. Tsabi benar-benar sakit. "Kalau tidak ada yang masuk, dari mana kamu punya tenaga," bujuk Shaka lembut. Ada rasa iba, apalagi wajahnya menjadi murung seharian gegara semalam. Shaka tidak membahas lagi, takut istrinya tidak nyaman. Hanya saja ia masih kesal, siapa yang tega memberikan obat perangsang itu ke minuman Tsabi. Apa motifnya? "Jangan memaksa ku Mas, aku beneran ingin muntah." Tsabi membungkam mulutnya seraya beranjak dari ranjang. Perempuan itu merasa perutnya begitu bergejolak. Beruntung masih bisa tahan, hingga sesaat setelah ia berjalan tiba-tiba semuanya terasa gelap. Tsabi pingsan begitu saja. Membuat S
Tsabi melangkah dengan ragu, dia perlahan membuka pintu berwarna coklat itu dengan rasa penasaran yang menggebu. Walaupun dinilai telah lancang, tetapi ia tak bisa membendung lagi jiwa keponya yang akut. Perempuan itu membuka pelan, netra lentiknya terpana dengan apa yang dilihatnya di depan mata. Ia terdiam tanpa bisa berkata-kata. "Bos," panggil seseorang menginterupsi Shaka dengan wajah terkejut. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan siapa yang datang. "Kenapa Jon?" tanya Shaka di kursi singgasananya. Tengah memantau sederetan angka yang masuk dan siap diputar untuk di share ke sepenjuru global. "Nona Tsabi," kata pria itu sembari mematau satu server di depannya. "Hah, Tsabi?" jawab Shaka belum ngeh juga. Pria itu baru menoleh saat wajah Jon nampak pucat. "Tsabi? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Shaka mendekat. Dia terlihat salah tingkah mempersiapkan sejuta alasan di otaknya. "Jadi gini pekerjaan kamu kalau malam Mas. Kamu selama ini kasih nafkah aku dengan uang haram?" tan
"Jangan membuat pilihan yang aku sendiri bahkan tidak tahu harus memilih yang mana," jawab Shaka nampak bingung. "Kalau kamu tidak bisa memutuskan dalam waktu tiga hari ini, aku anggap kamu mengiyakan apa pun keputusanku. Selama tiga hari ini aku ingin kita tidur terpisah," kata Tsabi membuat keputusan. Dia memang tidak seharusnya bersikap kejam seperti itu dengan suaminya. Tetapi apa yang dihadapinya sekarang terlampaui serius. Bahkan menyangkut aqidah yang akan dipertanggungjawabkannya nanti di akhirat. Seumur hidup itu terlalu lama jika dihabiskan dengan orang yang tidak mau diajak dalam kebaikan. "Kamu tidak berhak mengambil keputusan itu sendiri. Bagaimanapun kamu istriku, dan kamu tidak boleh lalai dengan tanggung jawabmu.""Aku ingat kok Mas, jangan khawatir. Setiap pagi, aku akan tetap menyiapkan keperluanmu dan juga menyajikan minum serta makananmu. Pakaianmu, dan memastikan kamar ini selalu rapih dan bersih. Tapi aku tidak bisa memenuhimu satu hal," ucap Tsabi serius, dan
Pria itu baru bisa lelap setelah menemukan guling hidupnya, entahlah, kamar serasa begitu hampa tanpa istrinya. Shaka sengaja menghidupkan alarm di ponselnya. Dia harus bangun lebih pagi dari Tsabi. Keesokan paginya, benar saja pria itu terjaga lebih dulu. Sebenarnya mata itu masih mengantuk, tetapi demi ketentraman jiwanya melakukan kerepotan sendiri di pagi hari. Pria itu perlahan menggendong Tsabi, lalu mengembalikan ke kamar sebelah lagi. Dia masih bingung untuk menentukan hatinya. Dengan hati-hati Shaka menurunkan istrinya dari gendongan. Perlahan merapatkan selimutnya agar tidurnya kembali pulas. Pria itu tersenyum tenang kembali ke kamarnya. Dia tidak tidur lagi, entahlah hatinya tergerak untuk bersuci. Hal yang tidak pernah Shaka lakukan. Tiba-tiba seperti ada dorongan untuk melaksanakan sunah dua rakaat. Ada jiwa yang tenang di tengah rasa hambar. Ada hati yang damai di tengah banyaknya guncangan. Semua mengalir malam itu begitu saja. Selama ini memang Shaka mempunyai kekua
"Mas butuh minum obat," saran Tsabi setelah menelisik wajah Shaka yang nampak seperti sakit betulan. "Aku tidak butuh obat," jawab Shaka terdengar angkuh. "Oke, apa maumu, adakah yang bisa aku bantu?" tanya Tsabi bersabar. Suaminya masih mode menjengkelkan. Butuh diperhatikan tetapi masih bernada datar. "Aku tidak suka diperintah. Aku mau kamu melayaniku seperti biasanya tanpa batasan.""Yakin? Apa Mas sudah mengambil keputusan untuk hubungan kita?" tanya wanita itu tetap dengan pendiriannya. Memang terkesan memenuhi dosa karena menolak ajakan makruf suaminya. Namun, Tsabi tidak bisa melakukan itu dengan hati terpaksa. "Lupakan apa pun itu, biarlah itu menjadi urusanku. Aku yang menanggung semuanya di akhirat nanti. Tak perlu kamu khawatir, tunaikan saja tugasmu sebagai istri," kata Shaka menggebu. "Maaf Mas, aku tidak bisa. Aku minta maaf," ucap Tsabi dengan penuh rasa bersalah. Namun, itulah keputusan yang sudah Tsabi ambil. Rezeki bisa dicari, jodoh bisa diganti, dengan orang y
"Terima kasih Ummi," jawab Tsabi memang terasa lapar. Hanya saja, selera makannya menghilang. "Ajak sekalian suamimu makan, Nak!" titah Ummi, membuat anak pertama Pak Kiai akhirnya melesakan tangis yang sedari tadi tersumbat. "Tsabi pulang sendiri Mi," jawabnya dengan wajah mendung. DegSeketika Ummi Shali menangkap sesuatu yang tak baik di matanya. Ada apa dengan rumah tangga putrinya. "Kamu berantem, Nak?" tanya Ummi Shali lembut. Berusaha menggali informasi tanpa melukai perasaannya. Sejak melihat kepulangannya yang muncul tiba-tiba, sudah menyiratkan tanda tanya besar di hatinya. Shali terdiam, bingung mengiyakan, tetapi nyatanya ia tetap pergi dari rumah dengan amarah. Sesuatu yang sangat ia inginkan dulu, berpisah dengan Shaka, dan kali ini benar-benar menjadi nyata. "Yang sabar, tidak ada satu pun rumah tangga tanpa ujian. Tergantung dari bagaimana kedua belah pihak menyikapinya. Kenapa meninggalkan rumah suamimu? Apakah Shaka melakukan suatu yang dzolim?" tanya Ummi Shal
Tsabi menghadang pria misterius di depannya. Menatap penuh waspada. "Maaf Nona, sepertinya saya tersesat. Permisi!" ucap pria itu beranjak tanpa merasa bersalah. Pergi begitu saja meninggalkan tempat itu. "Tunggu!" seru perempuan itu masih sangat penasaran. Namun, pria misterius itu justru melesat secepat kilat. "Siapa sih, aneh banget. Mana ada tersesat malah ngilang. Tersesat tuh bertanya baru benar," ujar wanita itu terus mengamatinya sepanjang jalanan. Tatapan itu tak beralih sedikit pun sampai pria berkemeja hitam itu menghilang dibalik kerumunan. "Ning, Ning Tsabi? Sudah beli dawetnya, Ning?" tanya Bu Jum menghampiri. Beliau sepertinya sudah selesai berbelanja. "Belum Buk, tadi udah pesan. Sebentar Tsabi ambil dulu," jawab perempuan itu lalu beranjak menghampiri pesanannya. "Ning, ngikutin ojek yang bawa belanjaan ya. Pelan-pelan saja bawa motornya," ujar Bu Jum sungkan. "Siap Buk," jawab Tsabi merasa tertantang. Rasanya seperti sudah lama sekali tidak keluar bebas sepert
Sudah dua pekan Tsabi tinggal di kediaman abinya. Waktu terasa begitu lama, mungkin karena hatinya tengah tidak baik-baik saja. "Tsabi berangkat dulu Ummi," pamit perempuan itu usai sarapan. Berbekal motor milik ibunya, Tsabi mulai memulai aktivitasnya pagi ini mengajar di sekolah menengah pertama yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Masih satu kawasan dengan komplek Al hasan. Lebih tepatnya di sebrang depan kampus yang didirikan keluarga besarnya. Perlahan tapi pasti, seiring dengan berjalannya waktu, perempuan itu mulai menata kehidupannya kembali. Tidak ingin terlalu larut dengan kegagalan rumah tangganya yang kini tengah dalam proses perpisahan. Tidak ada kabar dan ikhtikad baik dari Shaka, membuat Tsabi memberanikan diri mengambil keputusan yang sulit. Dia benar-benar ingin mengajukan perceraian. Bahkan sudah mendaftarkan ke pihak pengadilan agama. Hal yang sebenarnya sulit untuk Tsabi lakukan. Namun, berharap itu yang terbaik untuk mereka berdua. Karena kega