"Mas butuh minum obat," saran Tsabi setelah menelisik wajah Shaka yang nampak seperti sakit betulan. "Aku tidak butuh obat," jawab Shaka terdengar angkuh. "Oke, apa maumu, adakah yang bisa aku bantu?" tanya Tsabi bersabar. Suaminya masih mode menjengkelkan. Butuh diperhatikan tetapi masih bernada datar. "Aku tidak suka diperintah. Aku mau kamu melayaniku seperti biasanya tanpa batasan.""Yakin? Apa Mas sudah mengambil keputusan untuk hubungan kita?" tanya wanita itu tetap dengan pendiriannya. Memang terkesan memenuhi dosa karena menolak ajakan makruf suaminya. Namun, Tsabi tidak bisa melakukan itu dengan hati terpaksa. "Lupakan apa pun itu, biarlah itu menjadi urusanku. Aku yang menanggung semuanya di akhirat nanti. Tak perlu kamu khawatir, tunaikan saja tugasmu sebagai istri," kata Shaka menggebu. "Maaf Mas, aku tidak bisa. Aku minta maaf," ucap Tsabi dengan penuh rasa bersalah. Namun, itulah keputusan yang sudah Tsabi ambil. Rezeki bisa dicari, jodoh bisa diganti, dengan orang y
"Terima kasih Ummi," jawab Tsabi memang terasa lapar. Hanya saja, selera makannya menghilang. "Ajak sekalian suamimu makan, Nak!" titah Ummi, membuat anak pertama Pak Kiai akhirnya melesakan tangis yang sedari tadi tersumbat. "Tsabi pulang sendiri Mi," jawabnya dengan wajah mendung. DegSeketika Ummi Shali menangkap sesuatu yang tak baik di matanya. Ada apa dengan rumah tangga putrinya. "Kamu berantem, Nak?" tanya Ummi Shali lembut. Berusaha menggali informasi tanpa melukai perasaannya. Sejak melihat kepulangannya yang muncul tiba-tiba, sudah menyiratkan tanda tanya besar di hatinya. Shali terdiam, bingung mengiyakan, tetapi nyatanya ia tetap pergi dari rumah dengan amarah. Sesuatu yang sangat ia inginkan dulu, berpisah dengan Shaka, dan kali ini benar-benar menjadi nyata. "Yang sabar, tidak ada satu pun rumah tangga tanpa ujian. Tergantung dari bagaimana kedua belah pihak menyikapinya. Kenapa meninggalkan rumah suamimu? Apakah Shaka melakukan suatu yang dzolim?" tanya Ummi Shal
Tsabi menghadang pria misterius di depannya. Menatap penuh waspada. "Maaf Nona, sepertinya saya tersesat. Permisi!" ucap pria itu beranjak tanpa merasa bersalah. Pergi begitu saja meninggalkan tempat itu. "Tunggu!" seru perempuan itu masih sangat penasaran. Namun, pria misterius itu justru melesat secepat kilat. "Siapa sih, aneh banget. Mana ada tersesat malah ngilang. Tersesat tuh bertanya baru benar," ujar wanita itu terus mengamatinya sepanjang jalanan. Tatapan itu tak beralih sedikit pun sampai pria berkemeja hitam itu menghilang dibalik kerumunan. "Ning, Ning Tsabi? Sudah beli dawetnya, Ning?" tanya Bu Jum menghampiri. Beliau sepertinya sudah selesai berbelanja. "Belum Buk, tadi udah pesan. Sebentar Tsabi ambil dulu," jawab perempuan itu lalu beranjak menghampiri pesanannya. "Ning, ngikutin ojek yang bawa belanjaan ya. Pelan-pelan saja bawa motornya," ujar Bu Jum sungkan. "Siap Buk," jawab Tsabi merasa tertantang. Rasanya seperti sudah lama sekali tidak keluar bebas sepert
Sudah dua pekan Tsabi tinggal di kediaman abinya. Waktu terasa begitu lama, mungkin karena hatinya tengah tidak baik-baik saja. "Tsabi berangkat dulu Ummi," pamit perempuan itu usai sarapan. Berbekal motor milik ibunya, Tsabi mulai memulai aktivitasnya pagi ini mengajar di sekolah menengah pertama yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Masih satu kawasan dengan komplek Al hasan. Lebih tepatnya di sebrang depan kampus yang didirikan keluarga besarnya. Perlahan tapi pasti, seiring dengan berjalannya waktu, perempuan itu mulai menata kehidupannya kembali. Tidak ingin terlalu larut dengan kegagalan rumah tangganya yang kini tengah dalam proses perpisahan. Tidak ada kabar dan ikhtikad baik dari Shaka, membuat Tsabi memberanikan diri mengambil keputusan yang sulit. Dia benar-benar ingin mengajukan perceraian. Bahkan sudah mendaftarkan ke pihak pengadilan agama. Hal yang sebenarnya sulit untuk Tsabi lakukan. Namun, berharap itu yang terbaik untuk mereka berdua. Karena kega
"Angel, ngapain di sini?" tanya Tsabi terperangah melihat adik angkat dari suaminya itu menemuinya. "Hai, Tsa, maaf, aku menunggumu di sini. Kenapa tidak mengangkat telponku?"' Angel sengaja menemui Tsabi setelah mengajar hendak pulang. " Kapan kamu menghubungi, maaf, mungkin pesannya tertimbun," ujar wanita itu menyambutnya ramah. "Sebenarnya ada yang mau aku omongin, bisa kita bicara?" pinta Angel datang secara khusus. "Ada apa Angel, katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan," ujar Tsabi tak ingin basa-basi. Energinya sudah berkurang banyak kalau siang begini, usai mengajar Tsabi ingin cepat sampai rumah. "Bisakah aku meminta waktumu?" kata perempuan itu mendesak. "Mau ngobrol di mana?" ujar Tsabi akhirnya mengiyakan. Keduanya bertolak ke sebuah kafe yang tidak begitu jauh dari sekolahan. "Maaf Tsabi, apakah kamu masih berhubungan dengan Shaka?" tanya Angel sok peduli. "Tidak, memangnya kenapa?" tanya Tsabi datar. Memang benar begitu, sejak Tsabi pulang, mereka tidak lagi
"Angel, kok berhenti? Kenapa?" tanya Tsabi saat mobil Angel tiba-tiba menepi. Gadis itu menatap wajah gusar Angel yang entah memikirkan apa. "Mm ... maaf Tsabi, sepertinya paman tidak bisa bertemu sekarang. Aku juga nggak bisa nganter kamu pulang. Nggak apa kan kalau besok saja," kata perempuan itu dadakan. "Owh gitu, ya udah nggak apa. Mumpung masih sore juga. Aku langsung pulang saja," kata Tsabi tak ada rasa curiga. Dia sebenarnya agak kurang nyaman diturunkan di pinggir jalan begini, tetapi ya sudahlah tidak mengapa. Mumpung masih sore juga, Tsabi bisa memesan taksi atau ojol untuk menjemputnya. "Sorry banget ya, hati-hati di jalan!" ucap Angel tiba-tiba berubah pikiran. Dia merasa bertentangan dengan hati nurani saat apa yang ingin dia realisasikan justru pikirannya melayang jauh tentang ibunya Tsabi yang nantinya bisa sangat terluka. Angel pulang tanpa membawa Tsabi. Hal itu tentu saja membuat paman murka. Hal yang sudah direncanakan terancam gagal total. "Maaf paman, Ange
Tsabi tak menghentikan tatapannya dari sosok tampan yang tengah fokus di jok kemudi. Walaupun wajahnya tertutup masker, dengan penutup kepala, tetapi dari suaranya saja Tsabi sudah bisa menebak pria di sampingnya. "Kencangkan sabuk pengamannya, Tsabi, aku akan menambah kecepatannya," titah Shaka begitu melihat mobil Saga mendekat. Pria itu memang sepertinya bosan hidup karena berani mengusik istrinya. Tsabi berpegangan erat sembari menahan napas. Merasakan jantungnya berpacu cepat. Batinnya tak berhenti mengucap kalimah istighfar agar selamat dari kejaran pria tak bertanggung jawab di belakangnya. Perempuan itu menoleh ke belakang dengan raut cemas. Kenapa sekarang bukan hanya satu mobil yang mengejarnya, nampak beberapa mobil berpacu di jalanan dengan kecepatan penuh. "Mas, kenapa mobil-mobil di belakang sana mengejar kita? Apa yang mereka inginkan?" tanya Tsabi gusar. Shaka menoleh, menatap beberapa detik wajah cemas istrinya. Ada banyak rindu yang belum sempat terucap, wanita d
"Bertahan, aku akan mencari bantuan," ujar Shaka kebingungan. Tidak tahu harus melakukan apa saat Tsabi mengeluh mual. Shaka bingung sendiri, ia hanya bisa menatap dengan iba saat istrinya benar-benar muntah-muntah. "Sudah?" tanya pria itu sembari memijit tengkuknya. Berusaha memberikan perhatian lebih. Tsabi terdiam dengan tubuh lemas, kepalanya kliyengan. Membuatnya seperti ingin tumbang. Shaka langsung menggendongnya, berjalan sesuai insting hatinya. Melangkah menyusuri jalanan setapak yang tidak dihinggapi rerumputan. Pria itu melihat ada sebuah gubuk dari jarak beberapa meter tempatnya berpijak. Shaka menghampiri dan langsung mendudukkan Tsabi di sana. "Mas," panggil Tsabi lemah. Merasa tubuhnya tak bertenaga. "Ya, kita akan secepatnya keluar dari sini," ujar Shaka dengan wajah gusar. Pria itu kembali menggendong Tsabi hendak melanjutkan perjalanan ketika suasana malam semakin pekat dengan rintik hujan yang tiba-tiba turun. Shaka mengurungkan niatnya, kembali merebahkan Tsab